Penulis: Trinity
Penerbit: BFirst (PT Bentang Pustaka)
Tebal: 250 halaman
Ukuran: 13 x 20,5 cm
Para penggemar jalan-jalan biasanya sudah tak asing
lagi dengan serial Naked Traveler karya Trinity. Topik yang variatif serta gaya tulisan
yang ceplas-ceplos memang jadi ciri khas tersendiri bagi serial bergenre
catatan perjalanan ini.
Serial Naked Traveler punya ciri lain
berupa sampul yang warni-warni dan cerah. Namun,
ada yang beda dengan buku
kedelapan ini. Kalau biasanya buku-buku Naked Traveler punya kaver serupa warna
pelangi, kali ini warnanya hitam. Ada apa gerangan, kenapa beda banget dengan
sebelumnya?
Ternyata … ini adalah buku terakhir
serial Naked Traveler ☹ Trinity berkata di bagian pembuka
bahwa buku kedelapan ini adalah buku penutup. Sebetulnya sudah kelihatan juga
dari judulnya, ‘The Farewell’.
Apa, sih, isi bukunya?
Seperti buku Naked Traveler lainnya,
buku ini bercerita tentang pengalaman Trinity melancong ke berbagai sudut
Indonesia dan belahan dunia. Ada pengalaman menyenangkan, menyesakkan, serta
tips dan trik travelling aman dan asyik.
Trinity menggolongkan kisah-kisahnya
dalam beberapa bab berdasarkan kemiripan tema. Misalnya bab ‘Tidak Biasa’ yang
berkisah tentang tempat-tempat yang tidak terlalu ramai tapi tak kalah kece
dibandingkan destinasi wisata mainstream. Atau, bab ‘Opini’ yang isinya
pengalaman dan perspektif Trinity soal beberapa anggapan dan stereotipe seputar
pariwisata. Ada 10 bab di buku ini dan tiap bab berisi 4-6 artikel. Jadi, tiap
artikel nggak terlalu panjang sehingga bisa selesai dibaca dalam sekali duduk.
Jangan bayangkan kalau isinya bakal
berupa itinerary detail, deskripsi lokasi, atau tips & trik berupa
poin-poin yang membosankan. Enggak. Penulis meramu pengalamannya lebih
ke bentuk cerita. Memang ada deskripsi pemandangan dan sebagainya yang umum
kita temui dalam catatan perjalanan, tapi modelnya bukan seperti brosur pariwisata
yang kaku banget. Malah, Trinity mengemasnya dalam bentuk narasi yang santai.
Jadi berasa baca curhatan sobat atau diri sendiri.
Jadi, gaya menulisnya bukan bak travel
guide, tapi seperti tulisan memoar sehingga lebih mengalir dan lebih santai
dibaca. Style menulis khas Trinity yang jujur, terus terang, dan
ceplas-ceplos (kalau penginapan/lokasinya emang busuk ya dibilang busuk) jadi
seperti angin segar. Sebab, biasanya banyak tulisan tentang travelling yang
hanya mengulas hal-hal yang indah-indah saja tapi jarang yang turut menulis
cerita nggak enaknya.
Namun, pembaca, kan, perlu tahu bahwa
jalan-jalan nggak melulu enak. Bisa saja ada kendala bahasa, imigrasi, ditipu,
atau ‘sesimpel’ toilet yang tipe dan tingkat kebersihannya beda-beda (di Asia
Tengah mayoritas kotor, di satu kota kecil Eropa bersih tapi di kompleks stasiun-kafe
cuma ada satu biji dan dikunci lagi! Dan sebagainya …). Trinity berani
mengangkat topik ini, bahkan beberapa topik sensitif, dan membawakannya dengan
cukup objektif.
Dari semua bab, yang paling saya tunggu-tunggu
untuk baca (karena saya nggak bisa baca lompat-lompat, hehe) adalah bab Negara “Stan”.
Artinya, negara-negara Asia Tengah seperti Tajikistan, Kazakstan, dll. Kenapa? Sebab
orang kita sedikit yang berminat melancong ke sini. Buku-buku catatan
perjalanan dari Indonesia juga sepertinya jaraaang sekali membahas
negara-negara ini saking sedikitnya orang kita yang berwisata ke sana. Rata-rata
buku lebih membahas jalan-jalan di Eropa, Amerika Serikat, Asia Timur, atau
negara lainnya yang maju atau memang tujuan turis.
Buku catatan perjalanan yang banyak
membahas negeri-negeri pecahan Uni Soviet ini—setidaknya yang saya temukan—hanya
tulisan Agustinus Wibowo. Namun, itu adalah kisah perjalanan di era sekitar tahun
2000-an lebih sedikit. Bagaimana kondisi di sana pada tahun 2015 ke atas?
Hal itu diceritakan di buku ini.
Apalagi, Trinity dan kedua kawannya melakukan road trip bareng sepanjang
beberapa negara -Stan. Yang namanya road trip biasanya lebih menantang sehingga
ada lebih banyak cerita. Selain itu, road trip juga berarti bisa
mengamati keadaan real di luar wahana atau spot pariwisata yang
biasanya dikelola dengan lebih baik. Oh ya, selain kisah petualangan mereka, di
sini juga ditulis apa saja yang harus disiapkan kalau-kalau ada yang berminat
berlibur ke sana .
Jadi, bagaimana negara-negara -Stan
ini? Supaya lebih jelas, baca aja bukunya, hehe. Sedikit bocoran: panoramanya
nggak kalah cantik dengan pegunungan-pegunungan destinasi favorit turis.
Nggak sesuram yang diberitakan meski ada beberapa sisi buruknya juga (tiap
negara pasti punya kan). Dan, tempat-tempat tersebut jauh lebih sepi.
Salah satu kelebihan Naked Traveler 8
ini adalah ada gambar/fotonya. Ada banyak pula. Yesss! Di buku ini ada
foto-foto pemandangan dan orang-orang selama perjalanan. Jadi pembaca
bisa tahu seperti apa pegunungan, danau, atau kastil (atau toilet 😁) yang
dikunjungi. Ada ilustrasi juga sehingga pembaca bisa membayangkan mimik dan
ekspresi Trinity waktu diberhentikan polisi atau happy nukar uang di money
changer.
Sebagai penggemar buku warna-warni dan
bergambar, ini poin plus banget. Jarang-jarang, kan, ada buku untuk orang dewasa yang
bergambar.
Selain petualangan yang kadang menyentuh,
kadang inspiratif, dan lebih sering terasa kocak, buku kedelapan ini juga menyajikan kisah
beberapa pembaca yang jadi berani jalan-jalan sendirian setelah baca Naked
Traveller.
Apa buku kedelapan ini ada
kekurangannya?
Hm … apa ya …. Saya, sih, nggak nemu. Walaupun
penulis cukup blak-blakan dalam membahas beberapa stereotipe dan sisi negatif
sesuatu (dan beberapa hal yang debatable), tapi pembahasannya cukup
objektif meski nggak begitu dalam. Itu wajar, sebab buku ini memang bukan tipe buku
travel story yang banyak refleksinya atau kudu mikir/merenung banget. Tak
ada pula bagian yang menjelek-jelekkan, tapi memang kondisinya begitu sepengamatan
penulis. Namun, karena ini pendapat personal, maka mungkin banget kalau saya
juga bias.
Karena buku ini gayanya santai dan
ringan, maka bisa banget jadi teman bersantai selagi ngopi atau ngeteh di akhir
pekan. Tiap artikel juga nggak terlalu panjang, jadi bisa dinikmati selagi
nunggu angkutan umum atau abang G-food. Bagi yang baru coba-coba atau memulai
lagi kebiasaan membaca, buku ini juga recommended karena itu tadi: artikelnya pendek. Cukup lah buat melatih fokus membaca beberapa menit.
Akhir kata, selamat membaca dan berjalan-jalan
dalam kepala!
Tidak ada komentar: