Gimana cara mengusir kebosanan di-rumah-aja karena pandemi? Ada banyak cara; dari melakoni hobi hingga iseng ikut tren macam bikin dalgona dan puding. Tapi gimana kalau hobinya jalan-jalan? Well, ini sih memang harus ditahan dulu.
Namun, kalau kita termasuk orang yang bisa menahan diri nggak mampir-mampir, jalan-jalan tipis dalam kota masih mungkin dilakukan. Bener-bener cuma jalan atau nyetir kendaraan tanpa berhenti. Paling cuma singgah sebentar buat isi bensin atau beli makanan/jajan yang bungkus bawa pulang.
Sejak sebelum pandemi, saya emang udah
doyan muter-muter tanpa berhenti buat cuci mata. Nggak jauh, di dalam kota aja. Ngelihat gedung tua, sawah atau tegalan
yang hijau, atau sekadar nyobain rute jalan yang jarang dilewatin. Literally
nggak ngapa-ngapain; cuma naik kendaraan tanpa berhenti sambil lihat pemandangan
kanan-kiri doang. Kadang disambi hunting foto kalau ada panorama bagus
dan memungkinkan buat berhenti.
Bahasa umumnya: sight-seeing.
Bahasa jowonya: mblakrak.
Sejak pandemi dan nggak bisa travelling
beneran, ini jadi cara alternatif saya kalau lagi pengin jalan-jalan. Nggak
sering, seminggu sekali belum tentu.
Kalau di kota/kabupaten yang nggak terlalu ramai, pemandangan ijo
royo-royo relatif gampang didapat karena masih banyak sawah, lahan, sungai
yang lumayan bersih, plus dekat lembah & gunung. Gimana kalau di kota, apa
yang mau dilihat? Surabaya, misalnya?
Kalau di Surabaya, saya beralih ke gedung tua. September lalu (kalau nggak salah), saya sempat motret beberapa gedung lawas dari balik jendela mobil, waktu kebetulan melintas di depannya (God bless penemu autofokus!)
Berikut beberapa landmark yang terlewati dari rute Surabaya utara ke selatan…
(NB: dibuat berdasar cerita mulut-ke-mulut, jadi besar kemungkinan ada yang bias atau nggak valid. Untuk yang lebih tepat, harap cari sumber lain yang lebih otentik).
1. TUGU PAHLAWAN
Tugu Pahlawan (kiri), bendera, dan kantor gubernur Jatim (kanan) Gambar diambil dari area dalam Tugu Pahlawan, 2015 (foto yg dijepret sambil jalan ternyata burik, jadi pake ini aja) |
Monumen juang untuk memperingati
keberanian arek-arek Suroboyo (yang hingga kini masih suka bondo
nekat) mengusir penjajah. Selain tugu yang menjulang bak pena tembus ke
langit, juga ada museumnya. Bentuk bangunan museum ini agak mirip dengan kubah
piramid Museum Louvre, Perancis.
Di sini juga ada lapangan luas. Dulu pada zaman
kerajaan-kerajaan, saat Surabaya masih berupa kadipaten independen, di sinilah
letak alun-alun kota. Keraton Surabaya, yang sekarang tak ada jejaknya,
terletak tak jauh dari sini. Perkampungan dan ruko yang ada saat ini, dulu
adalah perkampungan abdi dalem dan para pekerja kadipaten.
Konon, nama-nama jalan di sekitar sini dibuat
berdasar jenis perkampungan di masa lalu. Misalnya, Jl. Jagalan yang ditengarai
sebagai pusat jagal ternak di waktu itu. Btw kalau nggak salah di sekitar sini juga ada kampung yang di sana ditemukan sumur kuno zaman Majapahit. Tapi saya lupa tepatnya di mana.
2. KALISOSOK
Nama ‘Kalisosok’ adalah nama penjara
legendaris di Surabaya. Puing bangunan ini masih terletak di kota tuanya
Surabaya.
Dulu, waktu eyang-eyang pejuang
kemerdekaan masih banyak yang hidup, nama bui ini sering disebut dan
diceritakan ke kami yang masih kecil-kecil.
“Kalisosok ya … Dulu pernah dipenjara di
situ.”
“Kenapa, Mbah?”
“Biasa … ditangkap Belanda.”
In frame: bukan Kalisosok, tapi gedung-gedung
lawas di sekitarnya. Nuansa kota tua terlihat dari bentuk bangunan dan jendela
yang besar-besar khas gaya kolonial. Masih berpenghuni.
3. KALIMAS DAN MATARAM
Salah satu sungai besar dan penting di
Surabaya yang merupakan sempalan Sungai Brantas. Sungai ini sudah jadi jalur
transportasi air sejak zaman Majapahit (untuk masuk ke Mojokerto) dan zaman kolonial.
Masih ingat cerita penaklukan dunia oleh
tentara Mongol khususnya dinasti Khan? Pertempuran Raden Wijaya, sang pendiri
Majapahit, dengan pasukan Mongol utusan Kubilai Khan terjadi di sekitar sungai
ini.
Kalimas yang membelah Surabaya (maafkeun garis animasinya nggak terlalu pas, ngedit di HP) |
Nama ‘Kalimas’ punya arti ‘sungai (kali)
yang berwarna kuning/keemasan’. Nama ini didapatkan ketika Kadipaten Surabaya
sedang berperang dengan Mataram Islam. Saat itu, Mataram Islam yang dipimpin
Sultan Agung sedang meluaskan ekspansinya ke Jawa Timur.
Pasukan Mataram kesulitan menaklukkan
Surabaya karena selain kuat, keraton Surabaya (daerah sekitar Tugu Pahlawan
tadi) dikelilingi sungai dan rawa. Mereka pun bersiasat dengan membuang banyak
kotoran, termasuk feses manusia, ke Kalimas sehingga airnya kotor dan berwarna
kekuningan. Akibatnya, sungai tersebut tercemar sehingga menyebabkan penyakit
bagi prajurit dan penduduk setempat.
Taktik oldies bioweaponry ini
berhasil. Surabaya menyerah.
Setelah ditaklukkan dan jadi bagian dari Mataram,
beberapa pemimpin Surabaya pun dikirim ke Yogya, pusat Mataram Islam. Salah
satunya adalah Pangeran Pekik. Beliau dinikahkandengan adik Sultan Agung dan
ikut terlibat aktif dalam pemerintahan sultan.
Pangeran Pekik hidup di Yogya sampai
meninggal. Beliau dimakamkan di kompleks makam Banyusumurup yang terletak di
Imogiri, Kab. Bantul, D. I. Yogyakarta. Tak jauh dari kompleks makam raja-raja.
Lokasinya tak jauh dari pertigaan utama ke arah Kebun Buah Mangunan.
4. JEMBATAN MERAH
Pagar jembatan yang dicat merah tampak di bagian paling kiri dan kanan foto |
Selain sebagai penyeberangan melintasi
Kalimas, jembatan ini juga dijadikan batas pemisah oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Bagian barat jembatan merupakan area untuk orang Eropa dan Belanda, sedangkan
sebelah timur untuk Tionghoa, Arab, dan Melayu.
Makanya bila diperhatikan, gedung-gedung
di Jl. Rajawali dan sekitarnya (barat) punya gaya arsitektur ala Eropa,
sedangkan area Kyakya dan sekitarnya punya bangunan bernuansa Timur Jauh.
Jembatan ini juga jadi saksi penting sejarah
perang kemerdekaan ketika Sekutu (Allied Forces) masuk ke Indonesia.
Brigjend Mallaby disebut tewas di sekitar sini menjelang pertempuran 10
November.
Aaanyway, Jembatan Merah punya lagu yang dibuat oleh Gesang. Keroncong gitu. Liriknya
sedih bener, ngegambarin situasi zaman mbah-mbah kita yang ditinggal perang orang
terkasih. Coba simak potongannya berikut ini:
Biar jembatan merah
Andainya patah aku pun bersumpah
Akan kunanti dia di sini
Bertemu lagi~
5. KYAKYA/KEMBANG JEPUN
Pecinannya Surabaya. Nuansa bisnisnya
terasa. Banyak toko dengan pintu folding-gate berteralis berjajar di
kanan-kiri.
‘Kyakaya’ berarti ‘jalan-jalan’ dalam
salah satu dialek Tionghoa (Hokkian, kalau nggak salah *cmiiw). Artinya, tempat
ini biasa jadi jujugan untuk jalan-jalan.
Namun, ada pendapat lain yang berkata
bahwa ‘kyakya’ berarti ‘jalan, jalan!’. Dulu, tempat ini sangat ramai hingga
manusia pun berjalan umpel-umpelan. Maka banyak orang berseru, “Kya! Kya!”
dengan maksud menyuruh orang di depannya supaya berjalan lebih cepat.
Nama ‘Kembang Jepun’ muncul ketika pasukan
Jepang datang dan mereka menjadikan tempat ini sebagai jujugan mencari ‘kembang’
*iykwim
6. HOTEL ARCADIA
Dulu bernama Hotel Ibis. Dulunya lagi, bekas gedung perusahaan Geo Wehry & Co. Ini perusahaan termasuk Big Five di Hindia Belanda pada masanya. Geo Wehry & Co juga punya gedung di kota-kota besar lain, seperti Jakarta dan Padang.
7. SIOLA DAN TP (TUNJUNGAN PLAZA)
Tunjungan adalah pusat jalan-jalan sejak
zaman dulu kala, bahkan sebelum ada plaza-plaza yang menjulang tinggi dan
sering bikin orang nyasar itu. Demikian juga Siola.
Banyak toko; dulu dan kini. Hotel Majapahit/ex-Yamato/ex-Oranje
tempat insiden penyobekan bendera Belanda juga terletak di ruas ini. Dengar-dengar,
pemkot bakal bikin area ini jadi semacam sentra jalan-jalan.
Sama seperti Jembatan Merah, Tunjungan
juga punya lagu.
Rek, ayo, Rek, mlaku-mlaku nang Tunjungan
Rek, ayo, Rek, rame-rame bebarengan
Cak, ayo, Cak, sopo gelem melu aku~
8. BALAI PEMUDA
Dekat balai kota. Sering jadi tempat pameran dan rute pawai. Dekat situs sejarah patung Joko Dolog juga. Konon disebut 'Balai Pemuda' karena dulu dijadikan tempat kumpul-kumpul para jongens (pemuda/lelaki Belanda). Macam gentleman clubhouse gitu lah.
9. WISMILAK
Menuju selatan, di persimpangan Jl. Dr.
Soetomo dan Jl. Polisi Istimewa, ada hiasan jalan berupa rangkaian kandang
burung (tanpa burung) yang dihiasi lampu warna-warni. Di selatan ada gedung
yang jelas mencolok karena gayanya yang lebih oldies dibandingkan yang
lain. Itulah Grha Wismilak.
Sebelum masa kemerdekaan, bangunan ini
menjadi toko elit bagi warga Belanda. Kemudian, disewa menjadi Toko Yan. Ketika
Jepang masuk, mereka menjadikannya asrama Pasukan Polisi Istimewa (Tokubetsu
Keisatsu-tai, sekarang istilahnya Brimob). Ketika Sekutu datang pada ’45,
para pejuang diultimatum dan diminta menyerahkan senjata ke sini.
Setelah Indonesia merdeka, gedung ini
pernah jadi kantor polisi RI. Sekarang, gedung ini menjadi milik PT. Wismilak
(sumber: Grha Wismilak | Wismilak Group)
10. PINTU AIR JAGIR
Pintu air untuk mengatur volume air. Termasuk cagar budaya karena dibangun (selesai) pada 1917 (sumber: Pintu Air Jagir - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)
11. GRAHA PENA
Now the modern time it is!
Salah satu gedung di Surabaya yang ikonik
karena bentuk menaranya yang mirip pena. Nggak heran, karena gedung ini milik
perusahaan surat kabar Jawa Pos. Tapi, di dalamnya ada beberapa kantor, nggak
cuma Jawa Pos aja.
Di depan Graha Pena terdapat gedung ‘anak
mudanya Surabaya’: DBL Arena. Gedung ini dipakai anak-anak SMP & SMA untuk
tanding basket dan suporteran. Biasanya sepulang suporteran anak-anak sekolah
ini bakal mampir ke KFC di sebelahnya. Sekarang sih, kayaknya tempat nongkrongnya
makin beragam.
==========
Sekian.
Cerita-cerita didapat dari obrolan, kisah orang-orang tua, virtual tour, dan baca dari beberapa buku dan webpage (yang, maaf, lupa apa aja--bakal ditambahkan kalo udah nemu). Foto dan takarirnya pernah saya jadiin instastory beberapa bulan lalu. Awalnya saya pikir karena cerita tiap tempat (yang saya tahu) sedikit, ngapain ditulis di blog? Tapi akhirnya, "Ya udah nggak apa-apa buat pemanasan nulis lagi", hehe.
Selamat malam. Semoga bisa menikmati Surabaya yang kini sedang dibalut hujan (dan kenangan (?)
Tidak ada komentar: