Penulis : Dewi Lestari (Dee)
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun terbit: 2018 (cetakan 1), 2021 (cetakan 7)
Tebal: 702 halaman
Ukuran: ±13,5 x 19,5 cm
==============================
==============================
Novel ini diawali dengan cerita salah satu tokoh utama, Raras Prayagung, ketika remaja. Raras dekat dengan sang nenek, Janirah, yang suka mendongenginya. Saat akan meninggal, Janirah membuka satu rahasia besar: Puspa Karsa yang selama ini ia dongengkan itu betulan ada. Kembang inilah yang mengubah kehidupan Janirah dari anak seorang abdi dalem keraton Yogya menjadi CEO perusahaan top di Indonesia. Janirah juga memberi Raras satu misi penting yaitu menemukan Puspa Karsa yang asli; yang hanya bisa ‘dibaui’ lewat ‘aromanya’.
Cerita berputar haluan dan membuka bab
tentang Jati, pemuda yang tumbuh besar di TPU Bantar Gebang. Hidung Jati ini
luar biasa. Dia bisa membaui aroma-aroma spesifik dan membedahnya satu-satu hingga
terperinci. Saking hebatnya, Jati bisa menemukan mayat usia beberapa
hari yang sudah terpendam dalam bukit sampah TPU hanya dengan membedakan baunya
(padahal kalau kita ya bau sampah ya bau aja, mana bisa bedain satu-satu, ya
nggak?). Karena itulah Jati dijuluki ‘Si Hidung Tikus’.
Satu peristiwa mengantar Jati bertemu
Raras dan menjadikannya karyawan di perusahaan wanita itu. Ketika peristiwa ini
terjadi, Raras sudah bukan remaja lagi. Ia sudah jadi wanita berusia menjelang
senja sekaligus lumpuh separuh badan. Raras juga sudah jadi CEO Kemara (perusahaan
warisan Janirah) dan ibu dari satu anak seumuran Jati, Tanaya Suma.
Pengangkatan Jati menjadi karyawan dan
perlakuan khusus Raras padanya membuat Suma tak menyukai pemuda tegap itu.
Meski keduanya punya kemampuan olfaktori yang sama hebat, banyak cekcok di
antara mereka sebab Suma menganggap hanya dirinyalah yang mampu menemukan Puspa
Karsa. Suma makin sebal saat Arya, kekasih Suma, justru seperti membela pemuda
itu.
Bab-bab selanjutnya diisi dengan persiapan
keberangkatan ekspedisi mencari Puspa Karsa ke Gunung Lawu, Jawa Timur. Mengumpulkan
personel, penjabaran bukti arkeologi, sekaligus ‘membuka’ satu per satu misteri
yang menyelubungi Puspa Karsa. Siapa sangka bahwa ternyata ia lebih dari
sekadar bunga langka, tapi juga penghubung kisah-kisah hidup orang-orang yang
terlibat dalam ekspedisi?
Bahwa masa lalu dan orang tua Jati
ternyata seperti itu. Bahwa kehebatan indra penciuman Jati dan Suma
ternyata karena itu. Bahwa ada selimut-selimut rahasia dan masa lalu,
bahkan sejak era kerajaan, yang membungkus Puspa Karsa dan membelit perjalanan
hidup orang-orang yang mencarinya.
==============================
Waktu buku ini terbit, jujur nggak ada
keinginan buat beli/baca karena mikir, “Oh, paling mirip sama serial
Supernova”. Tapi nggak tahu deh, akhir-akhir ini kayaknya adaaa aja post tentang
Aroma Karsa yang berseliweran. Entah ngomongin ceritanya yang memikat, risetnya
yang dalem banget, atau penulisannya yang detail tapi tetap bisa bikin enjoy
pas dibaca. Etc etc.
Akhirnya saya goyah juga, hahaha. Padahal kalau
dipikir-pikir, serial Supernova (dan karya-karya Dee lain yg pernah saya baca)
pun memikat, risetnya dalam, dan detail, tapi asik dibaca. Mungkin, yang bikin
saya goyah adalah perbedaan universe antara keduanya. Saya penasaran
gimana Dee mengawinkan dunia nyata ala kita dengan mitos kuno yang kemudian dibumbui
dunia fantasi.
“Lah kan fantasi, mirip kayak Supernova?”
Beda.
Bila universe Supernova dibangun
atas desain imajinasi penulis + berbagai folklore/kepercayaan di dunia, maka semesta fantasi Aroma Karsa punya titik berat berupa cerita rakyat/mitos sebagai salah satu fondasinya.
Dalam serial Supernova memang ada sisipan
cerita rakyat, mitos, dan fakta ilmiah, seperti legenda suku Batak, ayahuasca, jamur
psilocybe, dll. Namun, detail-detail itu bukan ‘fondasi utama’ dunia fantasi
Asko; pelengkap detail aja. Nah, di Aroma Karsa, mitos-mitos itu termasuk salah
satu fondasi utama dunia fantasinya. Mitos awal mula orang Jawa, mistisisme Gunung
Lawu, dan cerita salah seorang raja yang ‘ngilang’ di Lawu turut membangun universe/semesta
fantasi di dalamnya.
Sederhananya, kalau mitos/cerita rakyat
ini dihilangkan atau diganti, maka dunia fantasi Aroma Karsa nggak bakal ada dan
cerita akan berubah signifikan.
Dee menghubungkan benang merah antara mitos
dan cerita rakyat masyarakat Jawa dengan dunia imajinasinya. Kisah-kisah ini
misalnya:
-
Gunung Lawu
yang mistis:
kenyataannya emang mistis,
hehe. Teman-teman yang ‘bisa ngelihat’ bilang emang terasa banget. Lawu masih jadi
jujugan orang-orang melakukan ritual doa dan ziarah sampai sekarang. Dulu waktu
naik Lawu sering papasan dengan peziarah, padahal naiknya di hari biasa. Apalagi
kalau hari istimewa macam Malam Satu Suro.
-
Mahisa Guning
yang bersembunyi di Lawu:
Diceritakan kalau raja satu
ini lenyap dan nggak dicatat dalam sejarah karena suatu sebab. Beliau kemudian
minggir ke Lawu bersama orang-orangnya dan mendirikan perkampungan tersembunyi.
Cerita ini agak mirip dengan kisah
Brawijaya V, raja Majapahit terakhir. Menjelang keruntuhan Majapahit, Brawijaya
dan orang-orangnya juga menyepi ke Gunung Lawu kemudian moksa (meninggal dan
menghilang) di Hargo Dalem, salah satu puncak Lawu. Ada sebuah bangunan di
Hargo Dalem yang biasa digunakan peziarah untuk sowan. Tapi, Mahisa Guning bukan Brawijaya; ia sepenuhnya tokoh fiktif.
-
Gagak hitam
di Lawu:
Emang ada. Pernah lihat waktu hiking.
Konon, mereka adalah penunjuk arah ke rute yang benar. Dalam sejarah, salah satu
pengikut Brawijaya V ada yang bernama Kyai Jalak. Kalau di Aroma Karsa, diceritakan bahwa gagak hitam ini adalah jelmaan warga Dwarapala.
Dari segi penceritaan, sejak dulu Dee udah
ngalir banget. Jadi enjoy banget dibaca. Tiap bab selalu bikin tambah
penasaran meski di tiap bab itu juga Dee ngasih petunjuk sedikit demi sedikit. Ya
ini yang bikin nggak kerasa, pengin lanjut baca terus sampai nggak sadar udah
baca berbab-bab, hehe. Aroma Karsa inilah yang ‘berhasil’ bikin saya ngabisin 500+ halaman
dalam sehari lagi, kayak dulu waktu masih getol ngelahap buku (sekarang pace-nya
udah berkurang huhu).
Aroma Karsa ini misterinya banyak. Namun, Dee juga adil dengan membuka keping demi keping pelan-pelan. Jadi, rahasianya nggak ujug-ujug terbongkar. Di halaman-halaman akhir memang dijelaskan semua, tapi pertandanya sudah diberi di bab-bab depan sehingga pembaca nggak kaget dan terjejali informasi. Jadi lebih ke ngerasa, “Ooh ternyata gini toh. Pantesan di halaman x dia kayak gini”.
Semua misteri di sini juga saling terhubung benang merah dan ending misterinya plot twist banget. Semacam 'kirain gini, ternyata sebetulnya gitu' dan ini haluuus banget 'penyamarannya'. Jadi sebagai pembaca ngerasa kecele, tapi kecele yang asik dan justru enjoy karena emang itu daya tariknya.
Backstory tokoh-tokohnya juga keren. Lengkap dan menariknya bisa ditarik benang merah yang berkelindan di antara takdir-takdir mereka. Ini menarik karena banyak novel yang lebih fokus ke plot dan alur di masa depan (yang menuju ending) daripada masa lalu dan background story tokoh-tokohnya.
Oh ya, meski setting lokasinya banyak di Jabodetabek, aroma Jawa di novel ini kerasa banget.
Mulai dari pemilihan nama tokoh sampai penjelasan setting dan
detail-detail lain. Satu hal yang saya suka adalah nama Raras, Suma, dan Arya
yang ‘Jawa banget’ tapi lux.
Kenapa, kan cuma nama doang?
Tiga orang ini tokoh utama sekaligus
orang-orang dengan strata sosial high class. Raras bahkan CEO, yang
artinya Suma adalah calon CEO. Sering, penulis ngasih nama ala Barat buat
tokoh-tokoh kayak gini. Mulai dari yang umum macam Alexander sampai nama Barat
yang dibuat-buat sendiri (dan susah dilafalkan) dengan nempelin banyak huruf e, h,
x, atau y.
Satu hal yang menurut saya bikin Aroma
Karsa agak beda dengan novel-novel Dee yang lain adalah penggunaan katanya. Di
sini, banyak kosakata bahasa Indonesia yang nggak umum dipakai. Antara lain:
saru (kirain ini bahasa Jawa, ternyata udah masuk KBBI), mencureng (ini juga),
gegep, menjeluak, membalam, dsb. Jadi nambah kosakata juga buat pembaca.
“Wah, kudu buka kamus, dong?”
Enggak. Bagusnya, Dee meramu kata-kata yang
asing didengar itu sedemikian rupa sehingga dengan ngerti konteksnya aja kita
bisa paham apa maksud/arti kata itu. Mirip-miriplah kayak kalau kita baca teks
berbahasa Inggris terus nggak tahu artinya tapi tetap lanjut baca kemudian
tetap paham maksudnya apa. Istilahnya ‘context clues’.
Context clues ini juga berlaku waktu Dee menulis soal dunia bebauan dan parfum
(karena Jati kerja di toko parfum dan salah satu produk Kemara adalah parfum). Banyak
istilah soal aroma, perfumery, bahkan kompos dan sampah yang dideskripsikan.
Tapi saya sebagai pembaca tetap ngerasa ceritanya ngalir aja, nggak kayak baca
laporan.
Namun, penjelasan-penjelasan itu emang
bisa jadi bumerang tersendiri kalau tekniknya nggak pas atau porsinya
kebanyakan. Ini saya temukan juga di Aroma Karsa.
Mungkin untuk menekankan suasana dan tema,
jadi banyak paragraf tentang aroma. Tapi … banyak banget dan paragrafnya
panjang. Deskripsi satu aroma disebutkan rinci satu per satu penyusunnya. Not atas,
tengah, akhir, ditulis berkali-kali untuk aroma yang berbeda.
Awalnya memang asik. Terasa banget tema olfaktorinya
plus nambah pengetahuan juga soal beberapa komponen penyusun aroma tertentu. Dan,
tujuannya bagus yaitu supaya pembaca bisa ngebayangin wanginya. Namun
lama-kelamaan jadi agak jemu. Berasa disebut-sebut terus. Akhirnya beberapa
paragraf yang seperti ini saya baca skimming aja.
Selain itu, ada kosakata ilmiah yang diulang-ulang.
Terutama kata yang berhubungan dengan ilmu Kimia (ya karena ngebahas
bau-bauan). Keton, benzen, dsb. Buat orang yang nggak familiar dengan istilah
ini tapi kerap dimunculkan, jadinya monoton. Saya yang paham dan emang sering
berkutat sama Kimia aja ngerasa bosan.
Hal lain yang bikin saya kurang sreg
dengan Aroma Karsa adalah pace-nya. Entah ya, meski ceritanya tetap
ngalir, tapi serasa ngalirnya lambat. Berasa beda aja sama serial Supernova
atau Perahu Kertas yang timing-nya terasa pas.
Dua per tiga bagian novel menceritakan
soal perfumery, persiapan, pertentangan anggota (terutama Jati dan
Suma), backstory, dsb. Sampai ngebatin, ini ekspedisinya kapan? Nyari
Puspa Karsanya kapan? Di sepertiga
akhir, barulah masuk ke bab-bab petualangan di lapangan. Awalnya, saya kira titik
beratnya adalah di pencarian Puspa Karsa a.k.a ekspedisinya.
Selain plot yang relatif lebih lambat, eksekusi
turning point-nya juga lebih pelan. Sederhananya, adegan ‘jeng-jeng-jeng’nya
(istilahnya yang bener apa yak, wkwk) kurang memicu adrenalin. Kalau di
Supernova, jeng-jeng-jengnya bisa sampai bikin deg-degan dan ngejerit dalam
hati, “OMG!!! Ternyata giniii!”. Di Aroma Karsa ini serasa pembaca dibuat
lebih sabar dan menahan emosi meski ada rahasia besar yang terungkap, hehe. Kayak
ada perasaan yang ditekan gitu.
Termasuk saat rahasia dan keberadaan Puspa Karsa ‘terbuka’. Tetap tegang,
tetap mencekam, tapi nggak sampai bikin spaneng.
Kalau soal ending, ini relatif. Menurut saya
cukup memuaskan karena semua misteri akhirnya terbuka jelas. Episode Puspa
Karsa dan tokoh-tokoh yang terlibat pun sudah ‘selesai’. Yang agak janggal mungkin soal nasib Raras yang berasa, “Hah, gitu aja?” padahal dia salah satu
tokoh sentral.
Hal yang kurang memuaskan mungkin adalah
tipe endingnya. Saya penyuka segala ending, tapi yang satu ini rasa-rasanya bukan
tipe gantung atau open ending. Kayak ada satu episode yang belum selesai;
ada satu pertanyaan sangat penting yang emang baru muncul di ending dan belum
terjawab.
Jadi bukan ending gantung yang sudah
selesai, tapi gantung yang memang belum ada penyelesaiannya. Jelas tapi
belum tuntas. Mungkin ada niat mau dibuat sekuel atau supaya mudah kalau
mau lanjut sekuel, nggak tahu juga.
Itu hal-hal yang cuma kurang sreg. Tapi, apa ada hal-hal yang nggak disukai di
Aroma Karsa?
Ada.
Satu hal doang, sih. Hal yang sebetulnya
memang penting buat plot cerita, tapi saya nggak nyaman.
Hal itu adalah
~SPOILER STARTS here~
hubungan Jati dan Suma. Dari awal
saya udah feeling kalau dua orang ini akan bersama. No problem. Yang
jadi masalah adalah ternyata Suma waktu itu masih punya kekasih, Arya. Belum putus.
Hubungan Suma-Arya yang childhood friends turned to
lovers ini baik-baik aja dan Arya orangnya juga baik. Bahkan dia suka
belain Jati waktu Suma benci setengah mati. Laki-laki ini juga ngingetin Suma supaya
berpikir jernih dan nggak segitunya benci sama Jati.
Sejak tahu Suma punya pacar, saya makin
was-was. Kenapa?
Kita tahu ini memang novel untuk orang dewasa. Dan, temanya adalah indra
penciuman. Jati bahkan bisa mencium perubahan hormon seseorang. Dalam hubungan
asmara, ada satu hormon yang paling berefek: feromon. Feromon adalah hormon
kawin.
Dan, yang jelas bisa mendeteksi aromanya
adalah Jati dan Suma. Padahal, posisi Suma udah punya pasangan. Kalau udah putus mah nggak apa.
Hewan-hewan biasa menguarkan feromon saat
sudah musim kawin untuk menarik hewan lain sebagai pasangannya. Manusia, meski
punya akal, juga punya hormon ini. Apa jadinya kalau Jati dan Suma sama-sama
bisa mengidentifikasi aroma tubuh dan feromon masing-masing? Ya, intercourse.
Mereka melakukan ‘itu’ bukan semata karena
pengaruh feromon, sih. It was stated that they have a deeper connection than
that. Diceritakan kalau mereka saling tertarik karena punya kemampuan penciuman
yang mirip sehingga mereka saling mengerti. Juga karena cerita masa lalu yang
ternyata berhubungan erat, trauma olfaktori, dsb. Semacam match made in myth
gitu lah.
Arya, betapa pun pengertiannya, nggak punya kemampuan olfaktori ini sehingga dia kurang connect dengan Suma dibandingkan Suma dengan Jati, meski lelaki ini sudah sangat pengertian dan suportif. Padahal, dulunya Arya adalah sahabat Suma. Tapi, ditikung orang-orang yang ia percayai.
(So sad… I'm with you, Arya ☹)
"Namanya jodoh, kan, nggak ada yang tahu."
Tapi tetap aja itu selingkuh.
Meski akhirnya Suma terus terang ke Arya, lalu Arya merelakan, rasanya … hmmm. Berasa gemas pengin bilang, “Suma, kamu kok gini,
sih?!” Jati juga. Udah tahu Suma punya pasangan, tapi kenapa dia membuka celah duluan? Arya bahkan termasuk salah satu orang yang pertama bantuin kamu!
Seenggaknya Suma putus dulu lah biar Arya
nggak dikhianati. Atau mereka tahan diri apa gimana. Kasihan sama Arya. Serius. Kebayang
sosok Arya yang lunglai begitu tahu soal mereka berdua tapi berusaha tegar dan ikhlas melepaskan.
Cinta memang butuh pengorbanan. Dan kadang,
berkorban itu sakit. Tapi berkorban karena dikhianati rasanya lebih menyakitkan.
Penggambaran adegan intim Jati dan Suma memang nggak digambarkan secara vulgar. Yes, ada kalimat yang menjurus ke bahasa dewasa. Kalimat/paragraf ini nggak deskriptif harfiah, tapi dibalut metafora. Beberapa reviewer lain menyebutnya sensual. Namun ini nggak dipanjang-panjangkan; ‘seperlunya’ aja. Beberapa untuk menekankan betapa erat keterkaitan bakat olfaktori Jati-Suma hingga mereka punya deeper connection.
~SPOILER ENDS here~
Ada satu hal menarik. Pasangan yang saling menyukai bau pasangannya (bau alami yak, bukan parfum dsb) bisa memiliki anak dengan ketahanan imun yang lebih tinggi. Ini betulan. Ada penelitiannya juga. Mungkin karena unsur kimiawi tubuh mereka emang cocok, jadi kalau punya anak maka kualitas/ketahanan hidupnya lebih baik karena ortunya chemically klop.
Over all, Aroma Karsa sangat bagus. Plotnya apik, ngalir, bahasanya praktis tapi
puitis. Terlepas dari beberapa hal yang personally saya rasa belum
tuntas, misteri dan rahasianya sudah diterangkan jelas. Buat penghobi baca,
bisa lah dibaca selesai dalam sekali duduk karena isinya hypnotic.
==============================
Review novelnya sendiri udah selesai sampai di atas. Tapi ada beberapa hal
yang saya pengin highlight dan bahas lebih lanjut. Nggak terlalu berhubungan
dengan novelnya, kok, jadi mangga kalau mau skip.
Hal itu adalah … jeng-jeng! Tumbuhan yang
muncul di novel dan wujud Puspa Karsa.
1. MANISREJO
Nama tumbuhan ini berkali-kali disebut
saat rombongan sudah memulai ekspedisi di Gunung Lawu. Diceritakan bahwa buahnya
yang bulat kecil berwarna ungu bisa menambah energi warga Desa Dwarapala jadi
berkali lipat kemampuan manusia.
Apa tumbuhan ini beneran ada?
Iya.
Di kalangan pendaki, tumbuhan ini dikenal
dengan nama ‘cantigi’. Cantigi gunung lebih tepatnya. Saya baru tahu kalau
cantigi punya nama lain ‘manisrejo’, yang merupakan nama lokal/nama Jawanya.
Deskripsi bentuk buahnya sama seperti di
novel. Buah cantigi juga aman dimakan manusia (edible). Cantigi bisa
jadi salah satu makanan survival kalau-kalau nyasar di gunung. Tapi
setahu saya cantigi baru ada di ketinggian tertentu, biasanya kalau udah tinggi
banget dan di hamparan, bukan di tengah hutan. Di Lawu, apalagi puncaknya, emang
banyak semak cantigi.
Fun fact! Cantigi masih satu keluarga dengan blueberry.
Iya, blueberry yang itu, yang dijual umum
dan banyak dibudidayakan di luar negeri. Keduanya berasal dari satu genus, Vaccinium.
Ada beberapa spesies cantigi di Indonesia, yang paling umum adalah cantigi
ungu (Vaccinium variengiaefolium). Sementara itu, blueberry adalah Vaccinium
sect. Cyanococcus.
Selain berkerabat dengan blueberry,
manisrejo/cantigi juga masih punya hubungan keluarga dengan cranberry,
huckleberry, dan beberapa beri lain. Semuanya berbentuk bulat dan punya bunga seperti
lonceng. Namun, yang jelas nggak ada hubungan dengan strawberry.
(Btw, buah dewandaru juga beneran ada.
Dulu pernah punya tanamannya tapi nggak pernah berbuah, huft ☹)
2. PUSPA KARSA
Sedari awal sudah ditengarai para tokoh bahwa bunga
ini termasuk jenis anggrek. Di salah satu bab—entah keberapa—Iwan
(ahli botani personel ekspedisi) berujar bahwa kemungkinan jenisnya (genus) Utricularia
atau Gastrodia. Iwan bahkan menambahkan kemungkinan anggrek baru ini
diberi nama Utricularia satyanae atau Gastrodia satyanae.
Apakah Utricularia satyanae atau Gastrodia
satyanae beneran ada?
Awalnya, saya kira beneran ada. Sampai googling
nama-nama ini buat memastikan gara-gara penasaran bentuknya seperti apa. Tapi ... nihil. Adanya ya, hanya di page-page yang ngebahas Aroma Karsa.
Sampai kemudian saya sadar: nama lengkap Iwan
adalah Iwan Setyawan. Artinya, nama satyanae diambil dari nama belakangnya.
Gastrodia satyanae dinamakan demikian karena ‘penemunya’ adalah Iwan
dalam novel.
Ya pantes aja nggak nemu-nemu, lha wong emang
rekaan! Wkwkwk. Tumbuhannya nggak beneran ada.
Pencarian dengan kata kunci yang sama
membawa ke page lain yang menceritakan soal anggrek-anggrek Gastrodia. Belakangan
disebutkan kalau ada ‘anggrek hantu’ dari genus ini yang punya beberapa
kemiripan dengan deskripsi Puspa Karsa. Anggrek hantu ini punya nama resmi Gastrodia
bambu.
Gastrodia bambu ditemukan di Jawa, tepatnya di area Turgo di Gunung
Merapi, Yogyakarta. Disebut ‘anggrek hantu’ bukan karena bentuknya kayak hantu (bentuknya kayak bunga biasa malah), melainkan karena tumbuh di tempat yang gelap;
di sela-sela seresah daun bambu. Bentuknya nggak seperti anggrek pada umumnya
yang besar-besar, cantik, dan warna-warni. Anggrek ini berukuran agak kecil (±1,7-2
cm) dan warnanya kurang menarik, yaitu coklat yang mirip tanah basah.
“… Nyala obor di tangan Jati memberi penerangan bagi organisme berbentuk bunga yang ukurannya sekepala manusia. Tanpa batang dan daun, bunga itu langsung tersambung ke akar. Fisiknya menyerupai anggrek yang memiliki tiga kelopak dan dua mahkota. Bagian kolomnya berbentuk sedemikian rupa hingga menyerupai tengkorak. Terjulur labelum panjang hingga ke lantai gua, bergerak-gerak seperti ular hidup. Warna dan tekstur kelopaknya mirip daging busuk. ...”
Puspa Karsa punya beberapa kemiripan dengan Gastrodia bambu, antara lain:
-
Sama-sama
nggak punya daun seperti anggrek pada umumnya, tapi mereka tersambung langsung
dengan jaringan fungi yang disebut mikoriza. Mikorizalah yang memberi mereka
nutrisi karena si anggrek tak punya klorofil (zat hijau daun) untuk ‘memasak’
makanan
Makanya, Iwan menyebut Puspa
Karsa aklorofilik (tak punya klorofil) dan holomikotrofik (tergantung jamur—myco)
-
Bila bau
Puspa Karsa seperti bangkai, maka Gastrodia bambu punya aroma ikan busuk
-
Warna keduanya
mirip, yaitu coklat yang nggak cantik (daging busuk warnanya agak coklat-coklat
gimana gitu bukan sih?)
Bedanya ya, banyak juga. Bila anggrek
hantu ukurannya mungil, maka Puspa Karsa berukuran sebesar kepala manusia. Bentuknya
juga mirip tengkorak, sedangkan anggrek hantu punya wujud lebih abstrak: seperti
bunga setengah kuncup tapi setengah mekar. Seperti lonceng (bell-shaped
flower) tapi bukan lonceng juga.
( Info lebih lanjut tentang anggrek hantu Gastrodia bambu bisa dibaca di
https://www.biotaxa.org/Phytotaxa/article/view/phytotaxa.317.3.5. Ada PDF-nya juga. Gratis. )
Mungkin Dee terinspirasi dari anggrek ini?
Saya ngebayangin wujud Puspa Karsa ini seperti gabungan seed pod (wadah biji) kembang snapdragon (bentuknya kayak tengkorak) yang terbentuk dari helaian mahkota dan punya kelopak di sekitarnya. Soal “dua mahkota” dalam novel ini masih bikin saya belum bisa bayangin bentuk imajinasi Dee seperti apa.
“Jadi gini 'aja' penampakan Puspa Karsa?”
Hohoho, jangan tertipu, Saudara! Deskripsi
di atas cuma wujud fisik dan salah satu bentuknya aja. Di novel, dijelaskan
kalau ‘bentuk’ Puspa Karsa ini lebih kompleks daripada itu. Nyambung ke mitos
dan hikayat lainnya.
Maka biar jelas, ya, baca aja novelnya. Hehehe.
Mantappp kak, komplit beud
BalasHapusMakasiih, Kak
HapusLengkap mba, keren👍🏽👍🏽
BalasHapusTerima kasih 😊
HapusBukunya Dee Lestari emang candu ya... aku juga kecanduàn. Wkkwkwk
BalasHapusWkwkwk samaaa 😄
Hapus