Mengapa angka 3, 5, 10, dan kelipatannya
sering dijadikan patokan buat memperingati sesuatu? Entah. Namun, mungkin
karena saking sering dan saking lazimnya, bawah sadar saya pun jadi
ikut pakai angka itu. Tahun ini adalah selang sepuluh dan enam tahun sejak saya
terakhir pelesir ke kawasan Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru (TNBTS). Tepatnya
Juni-Juli lalu.
Wah, udah selama itu? Pantesan kangen!
Juni-Juli-Agustus memang selalu jadi bulan
penuh liburan, penuh petualangan, dan kini, penuh kenangan. Apa lagi sebabnya
kalau bukan karena libur panjang dari sekolah yang bikin bisa bebas mbolang ke
mana-mana.
Dan, nggak tahu, deh, TNBTS memang selalu
punya tempat tersendiri di hati biarpun gunung-gunung lain yang pernah saya sambangi
juga nggak kalah cantik. Mungkin karena rangkaian pegunungan ini adalah cinta
pertama saya. Gunung pertama yang saya kunjungi ada di sini, yaitu Gunung
Bromo.
Masih ingat banget betapa mata saya membulat
takjub waktu ngelihat hutan-hutan rapat plus perbukitan menjulang di kanan-kiri.
Kemilau kerlip Bimasakti dengan latar belakang langit bergradasi
hitam-biru-ungu terekam jelas. Pun bekunya udara pukul tiga pagi yang menelusup
halus lewat celah jaket ketika kami harus turun dari mobil demi menanyakan arah.
Beberapa tahun kemudian, saya melawat ke
sini lagi untuk mendaki Gunung Semeru. Kali ini, yang bikin berkesan selain
pemandangannya —yang masih juga breathtaking — yaitu ‘misi’-nya. Buat anak sekolahan yang lemah fisik kayak saya,
mendaki Atap Pulau Jawa adalah satu tantangan dan kebanggaan tersendiri.
Ah masa, sih, lemah?
Yes, seriously, I was.
Sebagai gambaran, saya nggak pernah nggak
remidi ujian lari sejak SD hingga tamat SMP. Saat masih awal-awal berseragam putih-merah,
saya bakal sesak napas kalau bawa ransel yang lebih berat daripada biasanya. Saat
ada upacara bendera, mbak-mbak PMR adalah teman yang familiar karena saya
sering mundur dari barisan dan izin duduk lantaran nggak kuat berdiri tiga
puluh menit. To be noted, ini masih berlangsung sampai awal SMA.
Kemudian, segalanya berubah (halah!). Entah
karena hasil digembleng habis selama satu tahun, atau gara-gara pengin banget
bisa naik gunung, atau kombinasi keduanya, pelan-pelan fisik saya jadi lebih
tangguh. Jauh, jauh, lebih tangguh daripada setahun sebelumnya, alhamdulillah.
Anak yang setahun lalu nggak kuat berdiri
kalau upacara, kini atas izin-Nya bisa berangkat ke puncak tertinggi di Jawa. Catatan perjalanan untuk pendakian ini pernah saya ceritakan di sini.
I’d never have guessed.
Pendakian kali itu bikin saya makin
kesengsem dengan TNBTS, apalagi ranu-ranunya. Empat tahun kemudian, saking
kangennya dengan Ranu Regulo, saya main ke sana lagi. Hal yang spesial dari perjalanan
kali ini adalah: alhamdulillah bisa explore TNBTS komplet mulai dari desa
warna-warni Tosari, Kaldera Bromo, Lautan Pasir, Bukit Teletubbies, hingga Ranu
Pani-Regulo. Dua hari, pakai sepeda motor keluaran ’99, di bulan puasa. Oh, of
course bukan saya yang nyetir, hahahah. Nggak ke Ranu Kumbolo sekalian?
Enggak, soalnya emang nggak berniat hiking. Selain itu, emang lagi kangen
sama Ranu Pani-Regulo aja (buat ngehidupin vibes bikin cerpen, LOL).
Kemudian, musim berganti. Tahun-tahun
kelipatan 3, 5, dan 10 pun hadir. Nggak terasa sudah sepuluh tahun berlalu semenjak
hiking ke Semeru dan enam tahun setelah explore Bromo. Selain
dipakai untuk patokan suatu momen, ternyata angka-angka ini juga turut dijadikan
pembanding oleh manusia. Termasuk saya, meski tanpa sadar. Dan kemudian, secara
sadar, diri ini jadi turut membandingkan keadaan kala itu dan situasi saat ini.
And it was quite disheartening.
Bukan karena ‘dulu bisa naik gunung,
sekarang nggak bisa’. Ya lagi pandemi mau gimana lagi. Tapi lebih karena ‘dulu mampu
naik gunung dan segala hal lainnya, sekarang personally nggak
mampu’. Dan berakhir jadi ngebandingin banyak aspek lainnya.
Sering dulu, zaman sekolah, kami diminta
memproyeksikan kira-kira apa yang akan dan mau kami lakukan 3, 5, 10 tahun ke
depan. Diminta nulis daftar mimpi dan target juga. Apa karena mimpi yang
tercoret nggak banyak, jadi kecewa?
Nggak juga. Dari awal saya emang sudah
sadar kalau nggak mungkin target seratus biji (dulu kayaknya saya sih nggak
sampai seratus juga) itu semuanya bisa tercapai on time ataupun a bit
overdue. Karena itulah dibikin banyak biar seenggaknya ada beberapa yang
nyantol. Well, it doesn’t matter. What hits me the most was because
the grand design I meticulously planned crumbled, almost into ash.
It wasn’t about the targets, really. Bukan tujuan yang nggak tercapai yang bikin down,
tapi karena langkah-langkah menuju ke sana pun sudah lebur dan hablur.
Many people says that the timing or age isn’t
everything, but we know that’s not true. Kita semua punya limit waktu. Berita buruk —atau baik? —nya, kita nggak
tahu limit itu kapan. Ini lebih dari ‘sekadar’ limit kematian, tapi juga
tentang golden moment; masa di mana waktu dan sesuatu bisa dimanfaatkan
sebaik-baiknya, seoptimal-optimalnya, semaksimal-maksimalnya.
And I missed that.
Damn.
Seberapa buruk, sih?
Sebagai bayangan: saya lebih lemah
daripada zaman sebelum ditatar. Masih ingat kalau di atas ada cerita bahwa saya
nggak tahan ikut upacara? Well, sekarang lebih ringkih daripada itu.
Physically, academically, dan -ly -ly yang lain.
Mungkin karena kamu ngebandingin sama orang
lain, kali?
Eh, semua orang dekat tahu betapa cueknya
saya kalau soal beginian, wkwk. Nggak menyangkal, kadang pengin juga kayak
teman-teman lain yang sudah stable. Namun, perasaan itu hanya sebagian
keciiil dari wujud utuh emosi yang menggerogoti. Saya jarang banget membandingkan
diri sendiri dengan orang lain (ya karena cuek mendekati masa bodoh tadi), tapi
lebih dari sering membandingkan saya-versi-nyata vs saya-versi-cita-cita.
Berkaca dari exploring TNBTS
tahun-tahun itu, sebenarnya saya punya proyeksi gunung apa yang ingin saya
gapai sepuluh tahun dari itu (atau sepuluh tahun lebih sedikit, deh). ‘Hanya’
satu gunung, kok. Di luar Indonesia, memang, tapi kurang terkenal. Tertinggi di
negara/benuanya saja, enggak. Namun kalau diibaratkan, gunung ini adalah titik
kulminasi secara harfiah maupun kiasan dari rangkaian target dan rencana hidup
yang pernah saya buat.
*Sigh*
Sama seperti naik gunung yang kudu latihan
dulu, kudu bikin manajemen perjalanan dulu, atau kudu ngalami gagal dulu, hidup
pun sebenarnya begitu. Cuma kan beda yaaa rasanya (dan skalanya) antara mbeleset
hiking gunung dan hiking kehidupan. Coping mechanism
dan pengobatan rasa kecewanya juga beda, meski ya mirip-mirip sih kayaknya.
I’m trying.
Satu telepon dari seorang sahabat, Agustus
lalu, jadi semacam suntikan semangat dan wake-up call bahwa ‘hey, you did it in the past. I’m
sure you can do it again, now, albeit slower and weaker. The point is: you can.
Focus on that and don’t count the steps, for the time being. Don’t even think
about calculating your progress. It’ll only send you backwards and upset. Just.
Walk. I believe you can.’
Dia nggak literally bilang begitu,
sih. Tapi kurang lebih begitulah maksud yang saya tangkap.
Gimana kalau salah tangkap?
Well I don’t care.
Salah satu ‘suntikan’ yang dibutuhkan
orang yang lagi down adalah rasa percaya kalau dia bisa bangkit lagi;
balik berdiri lagi. Entah rasa percaya dari dia sendiri atau dari orang yang
dekat dengannya. Entah dari kata-kata yang memang bermaksud mendorong atau dari
kalimat yang sebetulnya nggak bermaksud demikian tapi dia menganggap bisa
membangkitkan. Suntikan semangat sekecil apapun bisa jadi booster yang
punya daya dorong luar biasa bila ybs punya sugesti demikian.
Yah … semoga ‘suntikannya’ masih cukup
sampai ‘yang disuntik’ mampu lagi berpijak kuat seperti masa yang telah lewat.