September 11, 2019
BY Hijau Biru0
Comments
Hydrangea, salah satu pemanis taman bunga Coban Talun |
Dulu, wisata air terjun Coban Talun belum masuk
hitungan kategori tempat rekreasi nge-hits
di Batu, Jawa Timur. Saat ke sana antara 2009-an, kedua tangan kudu
berpegangan erat pada motor karena terlonjak-lonjak akibat jalan tanah-batu
yang nggak rata. Toko dan warung masih sedikit, nggak sebanyak dan sebagus
sekarang. Tempat parkir pun kayaknya belum sebaik saat ini. Saya ingat waktu
itu masih bisa parkir motor di pinggir sungai. Bumi perkemahan Coban Talun kala
itu lebih mirip hutan. Nggak heran kalau tempat ini memang jadi jujugan untuk acara-acara
seperti LDKS OSIS atau diklat.
Namun, dua tahun belakangan wisata Coban Talun sudah
bersolek. Saat keluarga saya ke sana Juni 2019 lalu, tempatnya jauh lebih
tertata. Nggak cuma menawarkan air terjun, ada pula sarana outbond bahkan wisata jeep mengelilingi
area. Ada pula penginapan yang merangkap sebagai spot foto. Di sebelahnya, ada taman bunga hydrangea. Hm… beda
banget dibanding dulu ya. Sampai kepikiran, “Ini beneran tempat yang dulu itu?”
Air terjun-air terjun di Batu memang banyak. Ada
Coban Rais, Coban Rondo, Coban Pelangi, dan lain-lain, you name it. ‘Coban’ memang berarti ‘air terjun’ dalam bahasa Jawa.
Waktu itu pun nggak ada alasan khusus buat ke sana. Dari kami berlima ada yang
pengen coba ke air terjun lain yang lokasinya berdekatan, tapi luluh oleh Bapak
yang menyarankan ke Coban Talun dengan alasan, “Lebih sepi lho.”
Waktu itu memang libur sekolah, jadi maklum kalau
tempat wisata bakal penuh orang. Makanya kalau travelling, saya lebih suka pergi bukan di hari libur atau di hari
kerja sekalian. Kalau ‘terpaksa’ saat weekend
atau tanggal merah, sebisa mungkin cari tempat sepi yang belum banyak dikunjungi
orang atau (kalau ngejar sunrise)
datang subuh sekalian. Cuma kalau bareng keluarga kan pasti harus menyesuaikan
jadwal karena kesibukannya beda-beda. Benarlah kalau ada yang bilang, “If you want to go far, go together. If you
want to go fast, go alone.”
But, no
problemo! The more the merrier!
Setelah bayar karcis (Rp10.000,00/orang) dan parkir,
kami nggak serta-merta ke air terjun melainkan ke sungai yang dulu kami
kunjungi. Buat apa? Tentu buat rebahan! Surabaya-Pacet-Batu dengan posisi duduk
terus itu capek juga ternyata. Di tepi seberang sungai dangkal ini ada
rerumputan yang tumbuh tebal. Nyamanlah buat leyeh-leyeh dan ngobrol bareng bocah-bocah setempat yang main di
kali.
Sayang sekali di tepi seberang sungai, yang dekat
dengan jalan, ada sisa-sisa sampah plastik. Beberapa terlihat sengaja dibuang. Yang
lainnya kelihatan menyatu dengan tanah tepian, mungkin sisa dari hulu yang
terbawa arus sungai. Meski air sungai kini hanya setinggi betis, alirannya bisa
bertambah drastis di musim hujan. Tak heran bila sejak dulu, pihak pengelola
sudah mewanti-wanti pengunjung khususnya di musim penghujan karena pernah ada
wisatawan yang meninggal terseret arus di sungai dekat air terjun.
COBAN TALUN
DAN JEMBATAN ASMARA
Coban Talun. Sst, dasar airnya coklat bukan selalu berarti kotor, tapi bisa jadi keruh karena tercampur tanah |
Puas tiduran di atas karpet alami, kami berpindah ke
tujuan utama: air terjun Coban Talun. Kita harus berjalan kaki lagi untuk
mencapai air terjun setinggi ±75 meter ini. Seberapa jauh? Di penanda arah di
parkiran tertulis 1 km, tapi rasa-rasanya nggak sampai setengah kilometer.
Jalurnya jalan tanah dan memang naik-turun persis trek naik gunung. Jadi untuk yang nggak terbiasa memang agak
ngos-ngosan. Di beberapa trek juga
sangat miring dengan sebelah sudah jurang. Jadi, jangan berpegangan pada
tanaman ya, karena bisa saja kelihatan semaknya rimbun tapi sebenarnya bawah
semak itu sudah tepi jurang. Saran saya jangan pakai sepatu cantik, kasihan
dengkul.
Sebelum mencapai trek,
wisatawan harus menyeberangi sungai dengan jembatan. Konon, titian kayu
sepanjang 14 meter ini adalah tempat bertemunya pangeran Jaya Nalendra dari
kerajaan Kediri dengan Dewi Seruni, putri seorang resi. Keduanya bertemu ketika
sang pria turun bukit selepas bertapa dan sang wanita sedang mengambil air di
sungai. Pertemuan mereka bukan sebatas kebetulan. Dari hasil bertapanya, Jaya
Nalendra mendapat petunjuk untuk berjalan ke arah itu agar mendapat jodoh1.
Dari bentuk fisiknya, jembatan ini sederhana banget.
Sama sekali nggak terlihat kalau punya cerita di baliknya. Saya bahkan nggak ngeh kalau itu jembatan yang dicerita-ceritakan
karena memang nggak dihias atau ada penandanya. Setelah pulang balik dari air
terjun baru sadar kalau jembatan sangat biasa itulah yang namanya Jembatan
Asmara.
Benar juga, nggak semua harus punya kenampakan luar
biasa untuk cerita yang luar biasa pula. Yang
sederhana pun bisa saja penuh makna.
Coban Talun pun terlihat setelah berjalan kurang
lebih 20 menit. Dari jauh pun gemuruhnya sudah terdengar akibat airnya yang
bertumbuk dengan bebatuan besar di dasar air terjun. Banyak wisatawan yang naik
ke sana supaya mendapat foto diri yang bagus. Memang spot-nya sesuai. Namun, tetap hati-hati ya karena licin sekali.
Udara sore pegunungan dan cipratan air halus membuat
hawa senja makin dingin. Air terjun di lembah gunung Welirang-Arjuno ini seakan
membekap semua bunyi buatan manusia dengan melodi khas alam. Suara orang bicara
dan teriakan kawan yang minta difoto teredam bahana megah aliran yang jatuh.
Hanya ada desau angin dan cericit burung-burung di sini.
IS THIS
WHAT THEY CALL… GLAMPING?
Kami sekeluarga sebenarnya nggak berniat menginap.
Namun, karena para pemegang kemudi sudah kecapekan, ya sudah. Untunglah di area
Coban Talun ada penginapan, jadi nggak perlu cari hotel di luar. Sempat
ketar-ketir juga kalau mau cari hotel. Liburan gini, di tempat wisata, apa
nggak udah pada fully-booked?
Ada dua penginapan yang terletak di dalam area wisata
Coban Talun, Pagupon Camp dan Apache Camp. Dari ngobrol singkat dengan
pekerja tempat wisata, salah satu pondok tersebut adalah milik investor
sedangkan yang satunya dikelola Perhutani bersama warga setempat. Keduanya terhitung
masih anyar karena baru berdiri selama dua tahunan.
Bentuk pondok yang ditawarkan Apache Camp, mirip tenda suku Indian. |
Selain penginapan, pemondokan ini juga
jadi spot foto karena bentuk bangunan
yang unik. Pagupon menyediakan rumah-rumah segitiga dan setengah oval,
sedangkan Apache menawarkan kamar dengan bentuk ala kemah suku Indian. 'Apache' memang salah satu suku Indian yang terkenal. Harganya
penginapan ini bervariasi, dari ratusan ribu hingga satu jutaan, tergantung kapasitas.
Sebenarnya di luar, di jalan kampung menuju pintu masuk area wisata juga
sepertinya ada homestay milik
penduduk. Tapi karena udah capek ya sudah, yang jelas ada aja.
Jadilah kami menginap di Apache Camp. Dengan Rp250.000,00 sudah dapat satu tenda double bed (satu atas, satu bawah) dan
makan malam untuk empat orang. Bila tambah konsumsi, maka tambah
Rp25.000,00/makan/orang. Kamar sudah termasuk kamar mandi dengan air hangat.
Sayang karena kami dadakan, jadi dapat kamar tanpa air hangat.
Kamar ini persis tenda. Atau memang tenda? Dindingnya
bukan dari semen atau kayu, tapi dari kanvas tebal yang disangga balok kayu.
Bagian dalam dinding dilapisi dengan kain satin supaya lebih hangat. Ponsel
kehabisan daya? Jangan khawatir, karena ini bukan tenda beneran maka tentu ada
listrik dan lampu.
Oh inikah yang disebut glamping (glamorous camping)?
Berasa kemping tapi nyaman banget. Benar di dalam tenda, tapi ada
kasur-selimut-kamar mandi. Bukan tidur beralas tanah keras yang dinginnya
aduhai serta matras tipis tentara. Makanannya disediakan pula! Meski sederhana
tapi perut lapar mana sih yang nolak makanan, terutama saat hawa menggigit
begini?
Tahu dan tempe yang masih mengepul jadi bahan bakar
obrolan ngalor-ngidul yang kian malam kian meriah. Kopi sachet pun rasanya
sudah nikmat sekali layaknya diracik langsung dari kafe sungguhan. Bulan
menjelang purnama mengintip dari balik siluet pepohonan yang menguarkan aroma
pinus basah. Ah, ternyata glamping tak
kalah syahdu dari camping.
IRASSHAIMASE!
SELAMAT DATANG!
Pernah lihat kebun bunga di Jepang yang dipenuhi
kembang-kembang yang bergerombol seperti bunga kol? Hydrangea namanya. Ada pula
yang menyebut Hortensia, sedangkan orang Jepang menamainya Ajisai. Bunganya
yang menggerombol seperti balon jadi daya tarik utama tanaman hias ini.
Karena belum pernah ke taman ajisai Jepang, maka
sementara saya cukupkan dulu di sini. Iya, di dalam area wisata ini ada taman
bunga Coban Talun yang banyak menanam hydrangea. Kebetulan letaknya persis
berhadapan dengan Apache Camp.
Nama hydrangea saya ingat banget karena pernah muncul
di buku pelajaran zaman sekolah. Disebutkan bahwa bunga ini bisa jadi salah
satu indikator asam-basa, seperti kertas lakmus. Kembang ini akan berwarna
merah jika tanah tempat tumbuhnya bersifat basa dan biru bila tanah itu asam,
kebalikan dari lakmus. Lha gimana kalau warnanya ungu, karena di kebun sini
banyak yang begitu? Artinya dia ada di pH netral atau peralihan. Meski, ada
juga hydrangea yang berwarna putih karena tak punya zat warna.
Tapi, jangan bayangkan kalau warna bunganya bakal
gampang berubah layaknya bunga sedap malam yang dicelup ke pewarna. Nyatanya,
butuh paling tidak dua musim berbunga untuk mengubah warna kelopaknya. Gimana ngubahnya?
Nah, this is where we talk Science.
Warna-warna di makhluk hidup ada karena zat warna
atau pigmen. Semakin banyak pigmen berarti semakin variatif warnanya. Berbeda seperti
bunga lain yang warna-warni karena punya banyak pigmen, hydrangea cuma punya
satu. Logikanya, berarti dia cuma punya satu warna. Uniknya, pigmen ini mampu
mengubah warna kelopak bunga jadi biru/merah/peralihan karena interaksinya
dengan ion aluminium. Reaksinya panjang, tapi intinya begini: di tanah asam,
ion aluminium bisa tersedia sehingga mampu berikatan dengan pigmen hydrangea
dan menjadikannya berwarna biru. Di tanah basa, ion ini berikatan dengan ion OH-
sehingga tidak tersedia dan tak bisa pula berikatan dengan pigmen, menjadikan
hydrangea berwarna merah2.
Jangan heran kalau di satu lahan ada berbagai macam
warna. Itu bukan berarti pH tanah di situ tidak seragam secara alami, tapi bisa
jadi pembudidayanya yang memberi perlakuan khusus supaya tanah tersebut menjadi
asam/basa dan menghasilkan warna bunga yang diinginkan. Caranya? Siram saja
dengan zat-zat yang bisa mengubah ketersediaan ion Al, misalnya air kapur. Tapi
hati-hati supaya nggak berlebihan. Nanti alih-alih warnanya jadi mencolok,
malah tanamannya keracunan.
Meski menanam bunga berjenis sama, sepertinya
kebun-kebun ini punya pengelola yang berbeda-beda karena di pintu masuk setiap
kebun ada loket sendiri-sendiri. Setidaknya ada dua di daerah ini. Kabar
baiknya adalah bila kita menginap maka tiket masuknya sudah termasuk. Harganya
sekitar Rp5.000,00 atau Rp10.000,00 per orang, kalau nggak salah. Karena masih
terlalu pagi maka taman itu belum dibuka. Jadilah kami menikmati pemandangan
dari balik pagar yang jaringnya longgar-longgar.
Nggak jauh dari kebun ini ada penanda ke Gua Jepang. Di atasnya ada tulisan bertulis 'irasshaimase', ucapan selamat datang yang lumrah didengar ketika masuk toko atau restoran negeri Sakura. Awalnya
adik-adik pada ogah. “Gua kan ya cuma gitu aja”. Bener juga sih, tapi saya kan
belum pernah masuk. Kan penasaran, gimana sih bentuk gua yang dipake buat
pertahanan militer itu? Gimana memodifikasi tempat sempit gitu buat menyimpan
senjata, apalagi sampai tinggal? Akhirnya dengan banyak bujuk rayu akhirnya
mereka mau juga, hehehe.
Zaman dulu, tentara Jepang memang banyak yang membuat
gua di pelosok pegunungan. Terutama masa-masa setelah Dai Nippon kalah dengan
Sekutu di PD II. Tentara mereka yang tersebar di Pasifik pun sibuk
menyelamatkan diri, salah satunya dengan membuat gua pertahanan seperti di Gua
Jepang Coban Talun. Gua kecil ini punya pintu masuk yang tepat menghadap jurang
yang di bawahnya ada sungai, cocok untuk menghapus jejak. Letaknya pun
tersembunyi, terhimpit di lembah antara dua bukit yang curam. Ah, jadi ingat
berita kapan tahun tentang tentara Jepang yang tertinggal di salah satu
kepulauan Pasifik. Ketika ditemukan, lelaki yang sudah berubah sepuh itu
mengira Perang Dunia masih berlangsung.
Balik ke rute munuju gua. Jalannya seperti lokasi syuting film: cantik! Di sepanjang jalan tanah yang masih menguarkan bau lembap, ada hamparan hydrangea biru yang sedang mekar-mekarnya. Kalau kebun yang tadi diibaratkan halaman belakang, maka yang ini kebun beneran. Gerumbul besar-besar berwarna biru dan violet menyeruak di mana-mana. Sinar matahari bersinar hangat dari sela-sela dahan pohon tinggi. Jadi berasa syuting film beneran kan.
Hamparan hydrangea biru di seluruh penjuru |
Belum lagi teras-teras ladang sayur di bukit yang berhadapan dengan kami. Gemericik aliran sungai yang membelah perbukitan, ibu-ibu bercaping yang sedang berladang, bapak dan mas-mas yang sedari tadi hilir mudik mengangkut hasil kebun yang masih meneteskan embun dan menumpuknya ke dalam bak truk sayur. Ingatan saya pun langsung meloncat ke potongan film Sherina.
------------------------------------------
Kalau dulu air terjun Coban Talun hanya hutan dengan
bumi perkemahan, maka kini lokasi ini sudah berbenah menjadi tempat wisata. Kalau
sepuluh tahun lalu saya cuma bisa merenung di pinggir sungai sambil ngelihat
batu-batu besar, maka kini sudah ditambah dengan menilik Gua Jepang, menikmati taman
bunga, dan glamping. Bila di masa
lalu cuma bisa satu kegiatan wisata aja, maka kini sudah bisa all in one!
------------------------------------------
NB: sebenarnya masih ada satu spot lagi di sini, yaitu tempat konservasi lutung jawa. Letaknya lebih
masuk ke dalam. Namun waktu itu belum rezeki menyambangi.
Sumber:
1: