Juli 2019 - Hijaubiru

Minggu, 21 Juli 2019

Tamansari: Bukan Sekadar Kolam Biasa
Juli 21, 20190 Comments

Kolam pemandian dan menara raja


Main ke Yogya (bukan Jogja ya, karena asal katanya ‘Ngayogyakarta’) tentu kurang afdhol rasanya kalau belum ke Keraton atau Malioboro. Mumpung sedang di pusat kota, kenapa nggak sekalian habisin semua tempat wisata di dekat sana? Toh jaraknya cukup dekat ditempuh jalan kaki. Dari banyak tempat, ada satu lokasi yang bisa jadi jujugan selanjutnya: Tamansari.

Bintang utama Tamansari adalah bekas kolam pemandian keluarga Kesultanan Yogya di zaman lalu, yang nama sebenarnya adalah Pasiraman Umbul Binangun (pasiraman=pemandian; umbul=sumber air; binangun=dari kata ‘bangun’, b. Jawa). Nama ‘Tamansari’ adalah kompleks peristirahatan yang meliputi kolam, danau-pulau buatan, dan bangunan-bangunan untuk kegiatan sehari-hari. Jadi, berbagai obyek wisata beserta perkampungannya saat ini, dulu merupakan satu kesatuan. Tak hanya itu, kompleks seluas 10 ha ini juga tidak kering seperti sekarang. Ada danau buatan yang mengelilingi beberapa bangunan di atas pulau buatan. Tak heran bila sekarang ditemukan banyak lorong bawah tanah.

Lorong bawah tanah di lingkungan ini bukan cuma berfungsi sebagai saluran air, tapi juga terowongan dari satu gedung ke gedung lain (sekarang sudah banyak yang runtuh). Terowongan ini pun bisa dipakai sebagai jalan pengungsian bila sewaktu-waktu ada serangan. Oleh karena itu selain sebagai tempat rekreasi, kompleks yang dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono I ini juga bisa sebagai tempat perlindungan, seperti seyogyanya bangunan-bangunan penting zaman dulu.

Dari Keraton, tempat ini bisa ditempuh berjalan kaki kurang lebih 20 menit. Itu kalau jalan santai. Kalau jalan cepat dan kakinya panjang, bisalah 15 menit. Mau naik becak? Bisa juga. Biasanya harga yang dipatok sekitar Rp15.000,00. Kemarin sih teman saya nawar bisa dapat Rp10.000,00.

Dari jalan biasa ke Tamansari memasuki gang. Biasanya bahkan sebelum di mulut gang pun, kendaraan sudah mengular. Apalagi weekend dan hari libur. Beuh… Mau nggak padat? Monggo datang pagi sekalian dan di hari kerja.

Untungnya antrean loket nggak begitu panjang. Setelah beli tiket lima ribu perak per orang (atau enam ribu?), kami pun masuk ke kompleks kolam pemandian.

TAMANSARI, BUKAN SEKEDAR KOLAM BIASA
Sebelum memasuki pemandian, pengunjung akan disambut oleh gerbang yang sarat ukiran motif flora-fauna dengan beberapa sayap di sisinya. Gerbang ini merupakan pintu timur pemandian, Gedhong Gapura Panggung. Meskipun sekarang merupakan pintu masuk obyek wisata, sebenarnya gerbang ini adalah pintu belakang di masa lalu. Lalu, di mana pintu depannya? Nanti, akan kita temukan setelah keluar dari pasiraman.

Gedhong Gapura Panggung, pintu masuk pemandian
Tamansari kini

Begitu melewati gerbang, rasanya jadi sejuk melihat dua kolam yang terhampar di depan mata. Gimana nggak segar ngelihat air di mana-mana?

Ada dua kolam di area ini, yaitu Umbul Kawitan yang disediakan untuk putra-putri raja dan Umbul Pamuncar bagi para selir. Ada lagi kolam privat bagi raja yaitu Umbul Binangun, yang letaknya di sisi paling kiri (selatan), tapi nggak langsung terlihat karena tertutupi ruangan pribadi dan menara (namanya juga pribadi kan?)

Umbul Kawitan dan Umbul Pamuncar dipisahkan oleh jalan setapak dengan beberapa pot besar berisi tanaman hijau. Di sisi-sisi kolam tersedia terundak pendek yang terendam air. Terbersit bahwa di masa itu, para perempuan berjalan pelan-pelan dengan anggun meniti tangga pendek tersebut sebelum kemudian berenang ke tengah kolam. Macam di film-film lah. Namun, tentunya pengunjung dilarang bermain air di sini.

Bukan cuma kolam yang ada di bagian ini, tapi juga ruangan di sisi kanan (utara) dan sisi kiri (selatan) di bawah menara. Bagian utara digunakan untuk ruang ganti dan bersiap bagi para wanita, sedangkan ruangan di bawah menara diperuntukkan bagi sultan.

Kolam pemandian Tamansari: Umbul Kawitan & Pamuncar
Menurut penuturan bapak tour guide waktu itu, raja biasa duduk di dalam menara sembari melihat para wanita bermain air. Saat itu, raja akan menyiapkan sebuah kembang. Kembang itu kemudian ia lempar ke arah Umbul Pamuncar dan segera diperebutkan para selir. Selir yang berhasil mendapatkan bunga itu akan mendapat kesempatan menemani raja di kolam pribadi.

Bila diperhatikan, desain menara raja tidak hanya bercorak Jawa melainkan gabungan beberapa gaya yaitu Jawa, Eropa, dan Tiongkok. Arsitek pesanggrahan ini memang orang Portugis yang didatangkan dari Sulawesi, Demang Tegis (apa ini nama asli? Saya nggak tahu persis, tapi dulu ‘demang’ adalah gelar buat pemangku tertentu dan mungkin ‘Tegis’ dari kata ‘Portugis’?). Sementara, desainer lainnya yaitu Tumenggung Mangundipuro dikabarkan belajar arsitektur Eropa hingga ke Batavia. Corak ini bukan cuma dari menara saja, tapi dari keseluruhan bangunan kompleks ini.

Selepas menikmati birunya kolam, pengunjung diarahkan ke pintu keluar berupa gapura. Inilah pintu masuk Pasiraman Umbul Binangun di zaman dulu, Gedhong Gapura Hageng (hageng=ageng=besar, utama, bahasa Jawa). Ini karena pesanggrahan Tamansari dibangun menghadap barat, sedangkan pintu masuk loket wisata saat ini adalah pintu timur. Dulu, terdapat bangunan di depan gapura yang berfungsi sebagai tempat perjamuan.
    
SUMUR GUMILING DAN ATURAN TIGA DETIK
Keluar dari area Pasiraman dan belok ke arah kanan merupakan jalan ke Sumur Gumuling. Yang mana itu, apa bentuknya memang sumur? Bukan, struktur ini bukan sumur melainkan bangunan melingkar dengan panggung kotak yang menonjol di tengah-tengah. Panggung inilah yang biasanya jadi tempat swafoto.

Sebelum ke arah lokasi, sebenarnya ada sisa struktur lain di sebelah kanan, masuk gang. Kami ke sana karena mengira itu jalan ke lokasi sumur, ternyata bukan. Reruntuhan tersebut jelas merupakan sisa gedung. Maklum, Pesanggrahan Tamansari usianya sudah lebih dari dua setengah abad, plus Jogja beberapa kali diguncang gempa hebat.

Ada dinding tinggi di sebelah kanan dan posisinya lebih tinggi dari sekitar. Mungkin, inilah sisa puri Pulo Kenanga.

Puri yang paling tinggi dibanding bangunan lain ini dulu dipakai untuk tempat beristirahat plus berkegiatan seni, misalnya menari atau membatik. Dari sini juga bisa mellihat ke seantero pesanggrahan Tamansari. Maka nggak heran kalau tempat ini juga dipakai untuk tempat pengawasan bila musuh datang. Kenapa namanya ‘Kenanga’? Ya karena dulu banyak pohon bunga kenanga di sini.

Bangunan ini dulu berdiri di atas pulau buatan. Jadi, Pulo Kenanga dan Sumur Gumuling dulunya adalah gedung di tengah danau dan dikelilingi air. Demikian juga beberapa struktur lainnya. Jadi zaman dulu, bangsawan kesultanan harus naik perahu bila ke kompleks Tamansari.

Balik ke Sumur Gumuling. Letak bangunan bundar ini memang agak nyempil. Saat itu pun saya dan teman-teman sempat nyasar karena tak ada penandanya. Ada sih, peta Kampung Taman. Namun, peta itu nggak menunjukkan lokasi sumur secara detail, bahkan nggak ada posisi struktur-struktur kuno lainnya. Alih-alih, peta tersebut menunjukkan rumah-rumah penduduk secara rinci berikut nama kepala keluarganya. Mungkin peta itu dibuat supaya tamu penduduk nggak kebingungan nyari rumah yang akan dikunjungi. Setelah mbludhus ngawur, bertanya penduduk, dan nginthili (mengikuti) tour guide orang, sampailah kami di lokasi.

Pemusik bermain gitar dalam lorong yang ada di Tamansari (2017).
Pada 2019, yang tampil sudah satu grup lengkap.

Siapkan karcis sebelum masuk karena petugas akan meminta tiket masuk kolam tadi. Jadi, tiket untuk pemandian dan sumur jadi satu. Untuk memasuki struktur, kita harus melewati terowongan bawah tanah. Dulunya terowongan bawah ini tergenang sampai ke bagian terundak untuk naik ke panggung kotak. Orang bisa berwudu di situ sebelum shalat. Sumur Gumuling memang difungsikan sebagai masjid dulu. Ceruk yang ada di lantai kedua difungsikan sebagai mimbar bagi imam shalat. Jadi, kalau ada yang nanya, “Mana masjidnya?”, ya ini. Bentuknya memang beda dari masjid kebanyakan. Tapi jadi unik, kan?

Kalau pengin berswafoto di platform kotak itu, pastikan datang awal atau siapkan hati buat antre. Antrenya luar biasa lama karena tempatnya kecil, sempit, tapi banyak orang. Sebuah keistimewaan kalau berombongan banyak dan nyewa tour guide karena ia akan memastikan tamunya bisa berfoto di situ. Kami yang saat itu jalan-jalan sendiri serta pengunjung lain sampai diminta sembunyi di ceruk demi foto mereka.

Lorong lantai dua di Sumur Gumuling, selalu penuh orang

 Tapi jangan kuatir, lorong-lorong masjid ini juga menarik kok buat difoto. Lagi, itu pun kudu sabar nunggu orang lewat dan pintar cari timing dan angle buat nyembunyiin pengunjung lain. Seringkali gagal dapat hasil bagus karena tiba-tiba ada orang berseliwer. Sudah aba-aba satu… dua… tiga… yah ada orang, nggak jadi deh. Pengen foto bagus di sini? Bersiaplah hanya dalam waktu dua detik.

TEMPAT TIDUR ROYAL FAMILY
Selain pemandian dan Sumur Gumiling, sebenarnya masih banyak struktur kuno lain di Kampung Taman. Namun, bangunan-bangunan tersebut sudah tertutupi oleh padatnya perumahan. Priviledge lagi kalau sewa tour guide karena mereka bakal ngantar kita blusukan. Saya sampai kagum, kok bisa mereka hafal gang-gang yang njelimet ini. Kalau saya, mungkin bakal butuh waktu lebih lama kalau blusukan nyari bangunan-bangunan lawas itu sendiri. Atau malah nggak ketemu dan nyasar sekalian!

Bangunan lama kompleks Tamansari tersembunyi
 di antara rumah-rumah perkampungan

2015 dan 2017 lalu saya dan kawan-kawan memutuskan pakai jasa tour guide. Berapa? Seikhlasnya, beliau bilang. Tapi meski begitu, tetap kira-kira lah. Ya kali cuma ngasih dua puluh ribu!

Waktu itu kami diantar ke beberapa bangunan. Saking banyaknya ruangan dan namanya beda semua, saya sampai lupa ke mana saja. Yang jelas, salah satu ruangan yang kami sambangi adalah dapur dan kamar tidur raja beserta para istri. Para selir tidur di bangunan yang sama, sedangkan raja di bangunan lainnya.  

Gedung kuno dalam kompleks Tamansari

Bagaimana kondisi kamar tidur zaman dulu? Sebenarnya bentuk bangunan untuk istirahat di kompleks ini rata-rata sama, yaitu ruangan berjendela dengan beberapa struktur setinggi pinggang. Di situlah kasur dan karpet digelar. Selain itu juga bisa buat tempat penyimpanan barang atau meletakkan perkakas.

Di dalam bangunan yang sama, juga ada ruangan lain yang letaknya paling pojok. Ruangan ini paling beda karena ada terundak pendek yang di atasnya terdapat lubang. Inilah kakus zaman dulu! Di bawah lubang tersebut ada saluran air yang akan langsung membawa kotoran menuju sungai terdekat. Saluran yang dulu selalu mengalir itu sekarang sudah kering. Dari mana airnya? Ah, bapak pemandu tur menyebutkan nama sebuah sungai, tapi saya lupa namanya. Ruang itu juga ruang untuk bebersih yang dilengkapi wewangian. Jadi, toilet lawas pun aman dari bau dan tetap bersih. Bagaimana dengan kamar mandi kita di rumah?

-------------------------------
Selain wisata sejarah, Tamansari juga menyuguhkan wisata seni berupa batik lukis. Ada beberapa galeri yang bisa dikunjungi bila tertarik. Bahkan, tak jarang ketika mengelilingi kampung, akan kita temukan para seniman yang sedang bekerja di tepian gang.

Tamansari dan Kampung Taman merupakan saksi kemegahan di masa lalu. Meskipun beberapa bagian yang sudah runtuh dan tak lagi utuh, keanggunan dan kecantikannya tak lekang dimakan waktu, sama seperti namanya yang berarti taman yang ayu.



-------------------------------
Sumber:
-Bapak tour guide
-Pamflet dari loket karcis
-Wikipedia!
  https://in.wikipedia.org/wiki/Taman_Sari_(Yogyakarta)
- https://kratonjogja.id/tata-rakiting-wewangunan/13/tamansari  --- (ada peta Tamansari di sini)
Reading Time: