Kenapa radiasi di Jepang bisa melahirkan sosok monster seperti Gozilla, sedangkan di dunia barat/Amerika Serikat, radiasi justru memunculkan sosok super macam superhero?
Mungkin ini berhubungan dengan perspektif yang diambil. Radiasi, bagi orang Jepang, adalah luka dan penderitaan seperti radiasi nuklir bom yang menimpa mereka. Radiasi, bagi orang Amerika, adalah kemenangan dunia yang mereka dapatkan setelah menjatuhkan bom nuklir.
Karena itu, radiasi bagi orang Jepang melahirkan monster mengerikan karena metafora dari penderitaan yang mengerikan. Bagi orang Amerika sebaliknya, itulah yang melahirkan sosok pahlawan keren simbol dari kemenangan di PD II.
- a kl angkuh; congkak
- a kl suka mencampuri perkara orang lain
The biggest character in your story has no voice and it is the place itself
Saya nggak perlu ulasan soal tempat-tempat ini atau tempat apa yang wajib dikunjungi karena saya bisa baca di WikiTravel atau Lonely Planet. Yang saya perlu adalah sudut pandang atau insight penulis soal tempat dan fenomena di sana.
Sekitar satu-dua minggu lalu, saya sebal perkara
blog. Beberapa tahun ini, blog kan memang kalah populer dibandingkan platform
konten lainnya, ya. Sebut aja dibanding M*dium dkk ataupun medsos seperti
instagram. Jadi, blogging emang butuh effort lebih terkait networking.
Saya nggak tahu apa aja komunitas blogging yang
masih aktif dan gimana masuk ke dalam jaringan itu. Satu-satunya komunitas yang
saya tahu adalah, sebut saja, komunitas blogging X. Dia kelihatan aktif karena
di instagramnya masih sering upload feed dan story. Anggotanya juga
lumayan banyak, mereka aktif, dan isi blognya emang nggak main-main. Bahkan ada
yang emang udah blogger kawakan.
November tahun lalu, X woro-woro kalau dia
bakal ngedata orang-orang yang berminat buat berjejaring. Tapi, tanggalnya
nggak diumumin. Saat saya tanya lewat DM, admin bilang tunggu aja. Saya tunggu
sampe beberapa minggu, eh, kok nggak ada apa-apa. Namun, saya ingat kalau komunitas
induk X (komunitas X emang 'anak' dari grup induk ini--sebut saja Y) pernah share
broadcast tautan form soal pendataan di X. Saya ikut ngisi.
Beberapa minggu dan bulan berlalu. Instagram X
seakan mandek. Saya pun nggak menanyakan kelanjutan form tadi karena
saya pikir cuma pendataan database doang. Akun X pun seakan mati karena nggak
ada post apa-apa dalam kurun waktu lama. Karena saya kira udah nggak keurus,
saya unfollow-lah dia.
Lalu, sekitar sebulan kemarin, Y membagikan
form soal blogging di komunitas X. Lagi. Saya isi. Dari teksnya
seakan-akan X akan bikin networking buat blogger yang pengin join/baru blogging.
‘Wah, bakal ada networking beneran. Asiiik!’, batin saya waktu itu. Siapa
tahu selain nambah teman, juga bisa nambah ilmu dari suhu-suhu blogger yang
udah lebih lama nyemplung di dunia blogging, kan.
Dua pekan berlalu. Nggak ada kabar apa-apa.
Saya pikir, ya udahlah, mungkin emang cuma pendataan doang (lagi).
Lalu, tepat di hari saya mikir kayak gitu, seorang
kenalan di IG nge-post foto kalau dia bersyukur lolos seleksi masuk X. Lah, kenapa di Y, komunitas induknya, malah nggak ada pengumuman apa-apa?
Saya pun meluncur ke IG kenalan ini, kemudian
ke IG grup X. Oalaaa, ternyata sudah ada nama-nama blogger yang masuk di
periode ini. Bahkan sudah masuk tahap 2, yaitu seleksi penugasan.
Lah? Kok pengumuman tahap 1 aja nggak ada di
komunitas utama? Padahal, segala komunikasi dari grup cabang biasanya ada di sana.
Ternyata eh ternyata lagi, delapan hari
semenjak tautan form ditutup, akun IG X post kalau mereka buka
rekrutmen. Selain isi form, peserta juga harus follow akun mereka dan bikin
post di IG soal mereka.
Lah? Kok? Jadi yang deadline pengisian seminggu
sebelumnya itu apa? Katanya buat berjejaring?
Saya nggak tahu apakah form pertama itu cuma
pendataan doang, atau narahubung/admin grup induk yang alpa nggak ngasih tahu update
di grup utama, atau emang dari X nggak bikin woro-woro buat grup utama. Tapi,
saya ngerasa kesempatan saya ‘tercuri’. Bayangin aja saya nungguin sejak
November 2020. Kesempatan ini cuma buka setahun sekali. Kalo mau daftar lagi,
kudu nunggu akhir tahun 2022, dong! Lama amat!
Gini amat komunikasi antardivisinya.
Sebel? Iya lah!
Tapi, setelah dipikir, mungkin emang sebaiknya saya nggak masuk grup X karena:
- Di sana bakal dikasih pelatihan
dasar. Pelatihannya ini kemungkinan besar sama kayak materi yang pernah saya
dapet duluuu
- Ada penugasan tiap minggu. Nggak berat, paling sama kayak penugasan kalau ada pelatihan dasar blogging. Cuma, di Desember-Maret ini saya udah ada rencana ngerampungin post catatan perjalanan biar timing-nya pas. Kalau saya ikut ini komunitas, mungkin fokus saya bakal kepecah.
Itu cuma alasan penyemangat aja, sih, biar
nggak sebel berkepanjangan. Mungkin juga alasan yang dicari-cari karena toh
target travel story Desember kemarin belum kesampaian. Tapi, ya udahlah.
Berjejaring nggak harus dari saluran itu, kan? Mungkin saya bakal nemu network
blogger lainnya, di luar sana. Yang vibes-nya lebih mirip sama vibes
saya. Mungkin.
Beberapa pekan lalu, waktu lewat di depan balai kota, nggak sengaja saya lihat satu pohon berbunga ungu muda. Cuma sepintas, nggak lebih dari dua detik. Namun, warna dan bentuk daunnya terekam jelas.
Haqqul yaqin itu bukan bunga bungur, yang juga berkelir ungu, yang juga sedang mekar di beberapa lini Balai Kota. Bukan juga tabebuya, sebab bentuk daun tabebuya nggak kecil-kecil imut hijau muda begitu.
Sempat ragu juga. Soalnya, jakaranda di sini masih tergolong jarang. Sejujurnya, baru kali ini saya lihat pohon jakaranda yang berbunga. Tapi, di antara jenis pohon-pohon peneduh yang bentuk dan warnanya memungkinkan … ya, itu.
Pohon jakaranda mirip dengan flamboyan. Namun, warna dan bentuk bunganya berbeda. Selain itu, kayaknya mirip. Makanya saya yakin kalau itu jakaranda.
Sebelum tahu ada jakaranda, saya bercita-cita pengin punya pohon flamboyan di halaman rumah. Sebelum itu, penginnya punya bunga sakura. Saya jatuh cinta pada kembangnya yang semarak saat mekar, tapi juga masih diiringi hijau pupus dedaunannya. Karena sakura nggak mungkin tumbuh di Indonesia, maka saya cari bunga lain yang kalau berkembang mirip-mirip: sama-sama semarak. Pilihan jatuh pada flamboyan.
Dulu pengin banget bisa mengecat flamboyan jadi warna yang lebih lembut. Oranye kan mentereng gitu ya, sejujurnya saya nggak begitu suka. Tapi apalah daya. Dan, ini memang cuma jadi cita-cita aja (karena ortu nggak mau punya pohon flamboyan yang akarnya bisa ke mana-mana dan ngerusak pondasi rumah). Akhirnya, cita-cita punya pohon flamboyan ini cuma bisa saya ‘tanamkan’ di rumah imajinasi: sebagai setting lokasi rumah tokoh utama di novel yang duluuuu saya garap (jangan tanya kelanjutannya ya, karena si penulis juga udah lama nggak menggarap. Doakan aja suatu saat punya daya buat garap lagi dan selesai, hehe).
Tetap iseng saya browsing flamboyan biru/ungu buat memastikan bahwa flamboyan memang nggak punya warna lain. Kemudian nyari-nyari dan nemu gambarnya! Tapiii, waktu itu belum ada di Indonesia. Masih lokal di Afrika atau Australia kayaknya. Ya sudah.
Namun, ngelihat jakaranda di Balai Kota beberapa saat lalu sempat membangunkan mimpi yang tertidur. Supaya punya rumah yang di halamannya ada pohon jakaranda ungu yang di bawahnya ada kolam koi, jembatan mini, lampu tangan bergaya Zen/Jepang, dan gazebo kayu kecil. Mungkin suatu saat, kalau naskah lama itu kembali saya garap, pohon flamboyan itu juga bakal saya update jadi pohon jakaranda.
Doakan saja 😊 (sekalian diaminin juga makasih banget!)
(Nggak ada foto, karena nggak sempat foto. Doakan satu saat bisa punya foto bunga jakaranda dari halaman rumah sendiri ^^)
Kenapa itu yang diomongin? Soalnya yang saya rasain (paling enggak) selama (terutama) dua tahun ini, ya, itu.
Pandemi bikin semua acara bisa diadakan daring. Akhirnya, berseliweranlah segala macam info webinar. Mulai dari broadcast WA/Line, Telegram, facebook, instagram, dsb. Yang bikin pun macam-macam, mulai dari sekumpulan orang yang 'klaimnya' lagi gabut hingga instansi atau organisasi bergengsi. Kadang ada giveaway segala macam. Siapa sih yang nggak tertarik, apalagi kalau materinya bagus?
Saya pernah sampai geleng-geleng lihat buku agenda gara-gara ada 2-3 webinar berturut-turut dalam 2-3 hari. Ngebatin, "Kuat nggak ya?"
Awalnya, iya. Waktu itu webinar lagi populer banget. Pesertanya bisa ratusan. Zoom dan Google Meet lagi booming. Jadilah saya beneran nyimak dari awal sampai selesai. Apa beneran nyimak sambil duduk nyatat? Iya. Kalau capek duduk di kursi, saya bangun dan ganti posisi duduk di lantai. Sambil selonjoran atau tiduran dengan speaker eksternal menyala dan tangan masih pegang HP/notes buat nyatet.
Lama-lama, capek juga, ya. Selang beberapa minggu, saya mulai ogah-ogahan. Kadang cuma nyalain laptop, kemudian ditinggal leyeh-leyeh. Kalau awal dulu masih disambi nyatet, kali ini sudah disambi main games, medsos, bahkan Youtube-an. Kalau pembicara lagi ngomongin hal yang saya anggap menarik atau saya butuh, baru saya simak lagi. Perhatian jadi terpecah-pecah. Sungguh nggak fokus.
'Nggak bisa gini dong', batin saya waktu itu. Ngapain ikut kalau justru nggak bisa maksimal? Mau nyerap ilmu, setengah-setengah. Mau refreshing/istirahat juga jadi setengah-setengah. Kenapa nggak mending alokasiin aja waktu tertentu buat webinar dan waktu lain pure buat istirahat?
Akhirnya saya mulai menyeleksi webinar mana yang kira-kira betul-betul saya butuhkan dan saya pengin tahu. Mana yang topiknya banyak dibahas sehingga bisa 'diambil' lain waktu dan mana yang lebih spesifik. Mana yang rekamannya tersedia bebas dan mana yang tidak. Mana yang kiranya saya punya pertanyaan yang harus saya tanyakan dan mana yang saya cuma pengin sekadar tahu aja.
Ini juga berlaku untuk lomba. Biasanya, akan ada bulan-bulan ketika 'kering' aka nggak ada lomba sama sekali. Tapi di bulan tertentu, Desember misalnya atau kalau ada hari besar macam 17-an dsb, bakal banyak lomba bertebaran. Kalau yang ini sudah berlaku sebelum pandemi.
Sama seperti kasus webinar di atas, ada kalanya saya kayak 'kejar setoran'. Hari ini deadline lomba A, kemudian besok atau dua hari kemudian adalah deadline lomba B. Kalau bukan tipe deadliner mah nggak masalah. Tapiiii, saya adalah tipe deadliner. Baru ngerjain naskah di hari-H dan ngirim naskah di jam 23.58 bukan suatu hal yang nggak lazim.
'Untungnya', ini bukan naskah akademik. Karena naskah akademik semacam esai dsb, buat saya, nggak akan mungkin bisa dikerjakan satu hari aja.
Sebetulnya, nggak untung juga, sih. Soalnya, tulisan non-akademik pun ada juga yang kudu ngumpulin bahan dulu kemudian diolah. Artikel misalnya. Bahkan cerpen juga butuh bahan riset. Untuk tulisan tipe seperti ini, biasanya saya akali dengan nyari bahan beberapa hari sebelumnya dan dikerjakan sebelum deadline. Tapi gimana kalau udah mepet deadline?
Kalau masih nekat nulis mepet deadline, biasanya semua bahan riset sudah siap dan sudah dibaca sehingga tetap ada bahan dasar meski belum mulai bikin tulisan. Bisa jadi, ide tulisan sudah terbentuk dan tinggal diketik aja. Namun, bisa juga memang belum punya bayangan apa yang mau ditulis, tapi dengan bantuan bahan riset dan pancalan adrenalin yang memicu deg-degan jadi menerbitkan ide tentang hal apa yang mau ditulis.
Yang terakhir itu jangan ditiru. Apalagi kalau mau ikut lomba ke ajang besar atau serius. Dijamin tidak lolos kecuali memang penulis pro banget. Saya baru berani pakai cara ini kalau lomba yang pengin diikuti adalah lomba skala kecil yang besar kemungkinan naskah saya lolos. Bahkan sekelas lomba komunitas sederhana tapi naskah yang masuk banyak pun, saya nggak berani. Percuma.
Ini berhubungan juga dengan memilih lomba. Biasanya, mepet-deadline-tanpa-punya-ide begini baru berani saya lakukan kalau skala lombanya memang kecil (banget) dan tipe tulisan yang dibuat punya kemungkinan tinggi untuk masuk finalis. Apa cara ini berhasil? Ya, beberapa kali. Beberapa kali juga gagal dan nggak dapat juara. Nggak heran sih, lha wong bikinnya aja random begitu.
Dan, pekan ini, sedang ada tiga lomba yang berjejalan. Dua lomba menulis dan satu lomba photo-story. Satu lomba komunitas menengah, dua lomba organisasi besar. Dua lomba tulisan panjang, satu lomba tulisan pendek. Dua lomba, saya udah punya konsep, tapi yang satu belum cari bahan 'matang' untuk riset dan satu lagi saya nggak punya bahan dan belum gali-gali arsip lagi. Satu lomba, saya belum punya konsep sama sekali.
Kalau nurutin pengin, libas semuanya. Tapi kalau nurutin akal dan ngitung peluang, ya ikut 1-2 aja. Itu juga belum tentu menang atau bahkan lolos kurasi.
"Terus kenapa kamu malah blogging dan bukannya mulai garap?"
Dunno... Mungkin dengan nulis curhatan gini, saya jadi lebih plong dan ngebantu buat mikir kemudian jadi lebih mudah menyeleksi. Atau mungkin jadi timbul ide setelah 'dipancing' dengan bikin curhatan gini. Who knows?
Meski, sampai baris terakhir ini, masih belum punya ide sama sekali, sih...
LOL.
Saya mau beres-beres meja dulu. Siapa tahu kalau lebih rapi, jadi lebih banyak ruang kosong buat nangkep ilham. *ngeles
Apa, sih, istimewanya Semeru?
Bila hal ini ditanyakan pada khalayak atau geolog, mereka akan menjawab bahwa inilah gunung yang baru saja meletus hebat pada Sabtu (4/12/2021) pekan lalu. Bila ditanyakan pada ahli sejarah/budaya, maka mereka akan berkata kalau nama gunung ini berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti ‘Gunung yang Besar’.
Mitologi lokal mengisahkan bahwa Semerulah yang membuat Pulau Jawa tidak lagi terombang-ambing di lautan lepas. Para dewa memindahkannya dari Gunung Meru di India dan ‘memaku’ Semeru di timur Jawa agar pulau ini stabil. Konon, dalam proses pemindahan itu, guguran-gugurannya jatuh di seantero pulau dan menjadi gunung-gunung lain, antara lain Penanggungan, Tidar, dsb.
Lalu apa istimewanya Semeru, untuk saya?
Banyak.
Selain hutan-savanna-danau-desanya yang menyihir dan bikin saya masih jatuh cinta sampai sekarang, gunung ini juga jadi salah satu medan yang turut ‘mendidik’ saya di awal-awal menjadi anggota pecinta alam. Fisik, mental, logika, you name it. Erupsinya pada Sabtu (4/12/2021) lalu tak pelak membuat ingatan saya terlempar ke puncak tertinggi Jawa itu.
Semeru sudah aktif sejak dulu. Bahkan, kalau nggak salah, beberapa kali erupsi di kurun 1900-1999. Kawahnya sangat aktif. Sekitar tiap 15 menit sekali, Jonggring Saloka--nama kawahnya, memuntahkan berbagai material. Orang-orang yang pernah mendaki hingga puncak tahu betapa sulit mencapai ketinggian 3.676 mdpl itu karena medannya literally pasir.
Iya, pasir. Bawahnya juga masih pasir, bukan tanah yang dilapisi pasir. Medan ini serupa timbunan sirtu. Pernah memperhatikan gimana sirtu untuk bangunan dikeluarkan dari truk? Tumpukannya akan menyerupai kerucut. Anak-anak kecil biasanya suka naik-naik main di situ. Pernah mengamati bagaimana kaki cilik mereka akan sedikit terbenam pasir kemudian merosot dari pijakan sebelumnya? Ya kayak gitu rasanya hiking ke puncak Semeru.
Kami menyebutnya sebagai ‘3 langkah naik, 2 langkah turun’. Dan ini harfiah sekali. Makanya, meski perjalanan dari pos terakhir ke puncak cukup dekat bila dihitung dalam kilometer, tapi bisa menghabiskan waktu setara hiking beberapa kilometer. Sebagai bayangan, saat itu tim saya mulai masuk area pasir sekitar pukul 03.00 dan baru sampai puncak pukul 09.30-an. Padahal, dengan waktu yang sama, kami bisa berjalan dari desa terakhir – Pos 1 – Pos 2 – Ranu Kumbolo.
Kenapa treknya pasir gitu? Ya karena kawahnya aktif banget sampai ‘muntah’ tiap 15 menit sekali tadi. Saking seringnya kena ‘muntahan’ super panas, akhirnya batu-batunya hancur sampai jadi pasir.
Erupsi Semeru pekan lalu jatuh ke bagian selatan, ke area desa-desa di Lumajang. Jalur pendakian berada di arah utara. Namun, bukan berarti jalur utara ini ‘aman’. Ya yang namanya dekat puncak kan memang nggak aman dalam radius tertentu yak. Apalagi, di jam-jam tertentu, biasanya kalau sudah siang, ada gas beracun yang bertiup dari arah kawah ke utara.
Sudah 10 tahun berlalu sejak naik Semeru. Semua ingatan sudah terkikis pelan-pelan. Buat nulis ini pun, saya harus baca ulang catatan perjalanan yang saya tulis 10 tahun lalu. Tapi, spesialnya Semeru masih terasa. Bahkan, melihatnya dari kejauhan saja menimbulkan rasa haru dan kangen. Sudah mirip orang yang mabuk asmara yang senang sekali melihat gebetan meski dari jarak sangat jauh.
Semoga Semeru segera mandali dan warga setempat aman jiwa-raganya.
Semeru dilihat dari utara Lumajang. 2020 Photo was edited (btw editannya ini kasar dan foto asli sebenernya nggak begitu bagus. Ada yg punya ide enaknya diapain? (selain pakai filter otomatis) |
Pemandangan area Semeru dan ceritanya bisa dilihat dengan klik label “Catper----Semeru”. Foto-foto puncak bisa dilihat di sini (klik!) |
PS:
Anyway, sebenernya saya lagi bikin catatan perjalanan soal Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Sebagian teks di post ini termasuk sebagian kecil cerita/info yang mungkin bakal dimasukkan ke naskah.
Apa yang pengin kamu baca/tahu soal Bromo Semeru? Kalau ada pendapat, tulis aja di kolom komentar, ya. Terima kasih 😊
… apa hubungannya?
Berhubungan banget. Sederhananya gini: lingkungan yang sehat akan mendukung tubuh menjadi sehat, termasuk kulit yang sehat. Demikian juga sebaliknya. Sekarang, kita tahu kalau perubahan iklim di era ini punya efek negatif buat manusia. Jadi, tentu efeknya juga negatif untuk kulit kita.
Pernah lihat film distopia-futuristik di mana manusia hidup di kubah khusus? Atau, kalau keluar rumah harus pakai baju khusus, bahkan tabung oksigen, supaya nggak terpapar sinar ultraviolet karena atmosfer bumi sudah menipis? Eh, mungkin pandemi yang udah berlangsung dua tahun ini mirip situasi itu: harus agak ribet pakai masker & nyiapin baju khusus keluar rumah supaya diri kita tetap sehat.
Ya gimana lagi, kan. Kalau nggak melakukan usaha itu, usia manusia bisa berkurang secara signifikan.
Dan, gimana lagi, ya. Emang ini efek dari perbuatan manusia (baca: kita) juga, nggak, sih?
"Ah tapi itu kan masih lama. Nggak sekarang juga."
Well, siapa bilang? Bencana-bencana alam di berbagai penjuru bumi yang diberitakan beberapa tahun ini banyak yang disebabkan perubahan iklim. Perubahan musim yang nggak bisa diacu lagi seperti dulu, banjir di Jerman beberapa bulan lalu, kebakaran hutan masif di Turki plus Amerika Serikat, bahkan banjir-kebakaran-dsb yang mungkin pagi tadi jadi headline di televisi nasional.
Udah nggak usah 'jauh-jauh', deh. Soal skincare ini aja.
Kerasa banget efek polusi udara di muka. Ceritanya beberapa saat lalu, muncul banyaaak jerawat di muka saya. Kadang emang muka saya berjerawat sih, tapi nggak sampai keroyokan dan merah iritasi kayak gini.
Heran kan saya. Cuci muka pakai facial wash udah rutin, skincare sederhana juga rutin, bahkan sarung bantal diganti seminggu sekali karena Surabaya sumuknya poll sampe tiap malam keringetan meski pakai kipas angin.
Sampai saya cerita ke teman yang lebih paham dan lebih duluan nyemplung ke dunia per-skincare-an.
"Kenapa, ya? Di Jogja aku nggak pernah gini lho. Bahkan cuma modal facial wash sama sunblock aja mukaku udah halus-mulus-seperti putri keraton (eh ini mah tagline iklan S*ri*yu ya? Wkwkwk). Di sini udah pakai macam-macam tapi kok kayak kurang mantap gitu."
"Ya udara Jogja kamu bandingin sama udara Surabaya. Dari segernya aja udah beda. Lebih banyak polusi di sini. Yo jelas lah kulitmu responnya beda."
Eh iya juga ya ...
"Atau airnya juga bisa. Coba kamu cuci muka pakai air sumur aja," kelakarnya. Yang, kalau dipikir-pikir, sangat layak dicoba.
Di era yang sama, di daerah yang berbeda, iklim mikronya aja beda. Treatment dan efek buat kesehatan juga beda. Padahal bedanya 'nggak begitu banyak'. Nggak beda banget sama udara Ulanbator yang konon banyak banget smog, misalnya.
Nah, apa kabar kesehatan kulit di masa depan, kalau iklimnya makin rusak? Kulit, kan, perisai dan perlindungan pertama manusia. Apalagi muka yang tiap hari bertatap dengan udara.
Ini masih kulit. Belum organ tubuh lainnya.
"Kan bisa diobati, di-treatment!"
Heiii kau kira itu semua gratis? Material privilege is real, dude! Sekarang aja kita tahu bedanya efek skincare mahal dan skincare pasaran (bukan jelek yak, tapi kurang cespleng aja) dan perbedaan harganya. Di masa sekarang emang skincare ini masih termasuk kebutuhan sekunder atau tersier. Tapi gimana kalau kondisi bumi di masa depan mendesaknya jadi kebutuhan primer, kayak masker dan oksigen yang jadi langka di masa Covid-19 kemarin (padahal sebelumnya nggak pernah direbutin)?
Emang sih, di zaman ini, semua nggak ada yang gratis. Yang gratis 'cuma' alam pemberian Maha Kuasa. Yang sekarang nasibnya tergantung 'manajernya', khalifahnya: kita, umat manusia.
Soooo... I decided to merge all the rant, ramble, rave, babble, and random thoughts here. Many of them are meaningless and just a passing thoughts and since they're quite unrelated to the main theme of this blog, I think it's best to put them together in a post so the new ones won't show in homepage or home slider (and therefore doesn't disrupt the blog's niche --halah!--)
Tanggal post sengaja di-set mundur beberapa tahun ke belakang supaya pos ini nggak muncul di homepage atau slider. Tanggal penulisan sebenarnya adalah tanggal yang tertera di bawah judul.
Tidak ada komentar: