NB: untuk melihat foto lebih jelas, klik gambarnya
- Putuk Truno: terpencil, mungil, dan menyimpan kisah sentimentil. - |
Siapa yang tak kenal Romeo
dan Juliet? Tragedi ciptaan penyair asal Inggris, William Shakespeare, ini
dikenal di mana-mana dan diadaptasi ke berbagai versi. Cerita mengharu-biru
tentang kisah-kasih tak sampai menjadi cerita yang digemari sejak zaman
Shakespeare belum lahir hingga saat ini. Maka tak heran bila banyak
cerita-cerita di berbagai belahan bumi memiliki tema sama. Sebut saja Laila Majnun-Qais,
Tristan-Isolde, kisah nyata Cleopatra-Marc Anthony, Hamid-Zainab dalam ‘Di
Bawah Lindungan Ka’bah’, atau yang masih tergolong baru, Autumn in Paris
tulisan Ilana Tan. Tema yang familiar ini juga bisa ditemukan di cerita-cerita
rakyat, termasuk di Tretes, Kecamatan Prigen, Kab. Pasuruan. Di tempat ini,
nama sang Romeo diabadikan menjadi nama air terjun: Putuk Truno.
‘Putuk’ dalam bahasa Jawa
berarti ‘bukit kecil’ atau merujuk pada tempat yang lebih tinggi daripada
sekitarnya, sedangkan ‘Truno’ merupakan nama seseorang. Tak pasti namanya
‘Truno’ atau ‘Taruno’, tetapi yang jelas adalah pemuda ini merupakan putra raja
keempat Majapahit yang memerintah pada tahun 1350-1389, Hayam Wuruk, dengan
seorang selir. Konon, di tempat inilah Joko (Jawa: pemuda) Truno bertapa untuk
mendapatkan gadis pujaannya.
Perempuan yang disukai Joko
Truno memang bukan orang sembarangan. Sang gadis, Sri Gading Lestari, merupakan
putri bupati Madura saat itu, Arya Wiraraja. Sebenarnya Joko Truno pun tidak
termasuk sembarang orang, ia masih tergolong pangeran. Namun, status ‘hanya’
anak seorang selir membuat Arya Wiraraja menolak pinangan sang pangeran meski
anak perempuannya juga menaruh hati pada pemuda itu. Status ini pula yang
membuat nama Joko Truno tidak ada dalam catatan sejarah dan ceritanya hanya
menyebar sebagai cerita rakyat dari mulut ke mulut.
Pasangan kekasih ini pun
dipisahkan. Arya Wiraraja mengasingkan putrinya ke air terjun di wilayah
Purwodadi, Kab. Pasuruan. Tak hanya itu, di sekitar air terjun pun dipasang
pagar gaib agar keduanya tak bisa bertemu. Sri Gading Lestari yang patah hati
sering kali menangis hingga melolong. Lolongan itu terdengar oleh penduduk
sekitar yang menyangka suara itu adalah lolongan serigala. Oleh karena itu, air
terjun tersebut dinamakan Coban Baung (Jawa, coban: air terjun, baung:
serigala). Konon, sang gadis terkadang masih mencari lelaki yang menjadi
suaminya dan menarik pemuda yang ia sukai ke sini.
Joko Truno tidak menyerah.
Pemuda itu kemudian bertapa di tempat yang sekarang dikenal dengan nama Putuk
Truno agar mampu menembus pagar sihir. Lelaki itu bersemedi sampai moksa
sehingga jiwanya bisa menembus pagar magis di tempat Sri Gading Lestari. Ia pun
memboyong gadis kesayangannya ke Putuk Truno, menikah, dan konon, hidup bahagia
selama-lamanya.
Putuk Truno terletak tidak
jauh dari jalan, pun tidak sulit mencapainya meski letaknya agak masuk, sehingga mudah dicapai dengan kendaraan bermotor. Dari masjid Muhammad Cheng
Ho, Pandaan, lurus sedikit lalu ambil arah kiri di persimpangan. Kemudian lurus
saja menyusuri Jl. Raya Prigen. Sekitar 200 meter akan ada jalan kecil ke arah
kiri. Jalan itu memang bukan jalan besar, malah cenderung jalan kampung. Bila
tak awas, bisa saja jalan itu terlewat meskipun ada plang tanda arah ke Putuk
Truno. Setelah masuk jalan kecil, tinggal ikuti saja sampai di kiri jalan
terdapat tempat parkir ke air terjun. Air terjun tidak akan terlihat dari jalan karena terletak masuk di dalam hutan.
- Jalan setapak menuju air terjun yang dihiasi beragam bunga. Sama sekali tidak terjal, tetapi tetap ada yang ngos-ngosan saat kembali naik ke parkiran - |
Lingkungan di sekitar air
terjun sangat asri. Pepohonan tinggi dan rapat menaungi segala arah sehingga
hawa menjadi sejuk. Harga tiket Rp15.000,00 per orang rasanya tidak terlalu
mahal. Harga itu lebih murah lagi bila bukan akhir pekan, yaitu Rp10.000,00,
sedangkan untuk turis asing Rp20.000,00. Setelah membayar parkir dan tiket,
pengunjung bisa memasuki jalan setapak menuju air terjun.
Di awal jalan terdapat
sebuah poster yang menjelaskan sejarah Putuk Truno. Jarang-jarang ada
tempat wisata yang menjelaskan asal-muasal atau sejarah lokasi kecuali bila
yang dijual memang wisata sejarah. Padahal, informasi seperti ini sangat
menarik dan bisa menambah wawasan wisatawan sehingga tidak hanya mendapatkan
keindahan panorama atau foto diri dengan background
cantik saja. Meski hanya sekelumit, hal seperti inilah yang memberi kesan dan
membuat pengalaman menjadi lebih nyata karena saksi bisu di masa lalu itu bisa
dilihat dengan mata kepala sendiri.
Putuk Truno bukan tempat
wisata baru1, tetapi tidak berarti pengunjung di sana berjubel. Tempat
ini memang lebih kecil dan tidak seterkenal tetangganya, Air Terjun Kakek Bodo.
Namun, justru inilah surga yang dicari penikmat sepi. Saat itu bahkan hari
Sabtu dan sudah pukul 11.00 WIB, tetapi saya hanya bertemu dengan 4-5 orang
lain. Di lokasi air terjun pun hanya ada tak lebih dari sepuluh orang, termasuk
ibu penjaga warung. Keadaan seperti ini tentu memudahkan mengambil foto tanpa
ada manusia, terutama bagi amatiran yang belum pintar mencari angle (baca: saya).
- Salah satu bunga cantik di tepi jalan setapak. Ada bermacam-macam tanaman menarik sepanjang jalan, termasuk pohon ara & pohon-pohon liar berbuah lainnya - |
Setelah melewati jalan setapak sepanjang sekitar 150 meter yang dipagari dengan semak-semak dan bunga liar, air terjun setinggi 45 meter2 itu sudah terlihat. Kita harus menuruni tangga yang sedikit licin bila ingin menuju bagian bawah air terjun. Aliran jatuhnya air serupa ceruk, air tercurah di tengah-tengah dan dikelilingi oleh batuan cadas yang tertutupi lumut dan tumbuhan-tumbuhan merambat.
Guyuran airnya
yang jatuh dari ketinggian berkumpul di kolam kecil yang dalamnya tak sampai
setinggi lutut orang dewasa. Batu-batu kali sebesar kulkas ataupun seukuran tas
ransel terserak di dasar, hanya seperempat bagiannya yang terendam air. Mungkin
karena Agustus 2018 lalu masih musim kemarau sehingga air di dasar sungai tak
begitu dalam. Entah bila di musim hujan bisa setinggi mana alirannya.
- Di dasar air terjun. Suara air yang jatuh deras menggaung di seluruh penjuru. - |
- Putuk Truno dilihat dari platform kayu. - |
Di musim kemarau sekalipun,
air masih mengalir deras. Suara curahan yang jatuh berdebur mengisi seluruh
ruang pendengaran menutupi cuitan burung liar dan kersik dedaunan yang sebelumnya
menjadi teman perjalanan. Angin membawa titik-titik air tak terlihat yang
membuat hawa menjadi lebih dingin. Bahkan, angin yang serasa menggigit-gigit ujung jari itu masih terasa ketika berdiri di platform panjang dan panggung gazebo yang terletak agak jauh dari air terjun.
Air yang mengalir bening
khas aliran-aliran pegunungan. Meski demikian, bukan berarti air tersebut
bersih dan aman dikonsumsi seperti air sumber. Penampakan fisiknya memang
bening, tetapi bila melihat dengan teliti akan ditemukan beberapa sampah
plastik yang tersangkut di antara bebatuan. Ada plastik berlogo popok bayi yang
sepertinya terhanyut dari sungai di atas air terjun. Ada pula plastik-plastik
makanan ringan. Padahal pengelola sudah menyediakan tempat sampah di dekat air
terjun. Memang hanya sedikit, jumlahnya bisa dihitung jari, tetapi tetap saja
namanya mencemari meski tak sampai mengganggu panorama cantik Putuk Truno.
- Bebatuan di dasar air terjun. Curahan dari air terjun mengalir ke anak sungai selanjutnya, kemungkinan besar menuju perkampungan. Kabut tipis menutupi jajaran pohon di hutan sekitar sungai. - |
Pemandangan yang indah tentu
tidak akan tahan lama bila tidak dijaga. Pertanyaannya kembali pada pengunjung
sendiri, apakah mau ikut mempertahankan keelokan yang pernah dinikmati? Sesederhana
membuang sampah pada tempatnya atau tidak mencorat-coret objek di lokasi agar keindahan
itu awet hingga anak-cucu, seawet kisah Joko Truno yang langgeng
meski masa telah puluhan kali berganti generasi.
-------------------------
1: www.perhutani.co.id/2014/03/tiket-masuk-empat-objek-wisata-tetap/
2: www.eastjava.com/blog/2015/05/19/putu-truno-waterfall-ecotourism-in-tretes-prigen-pasuruan/
Tidak ada komentar: