November 02, 2014
BY Hijau Biru0
Comments
Ini saya copy dari account fb Darwis Tere Liye
*Foto2 keren
Mendaki sebuah gunung
bukan sebuah kebanggaan, Kawan
Karena kalau kita anggap
pendakian gunung itu kebanggaan
Maka jangan lupa, penduduk
setempat bahkan setiap hari
Setiap hari mencari kayu
bakar, rotan, dan sebagainya di sana
Bahkan anak2 mereka pergi
memancing ke atas danau di gunung
Berangkat pagi, pulang
sore
Mengunjungi sebuah kota,
New York, London, dsbgnya juga bukan prestasi
Karena kalau melanglang
buana itu kita anggap prestasi
Maka jangan lupa,
pengemis, gelandangan di sana setiap hari
Setiap hari mengemis dan
menggelandang di jalanannya
Tidur di sudut2 kota,
tempat kita baru saja ber-pose
Lantas kita bagikan di
jejaring sosial
Kita tidak bicara berapa
banyak gunung yang kita daki
Berapa lembar foto keren
yang kita peroleh
Tapi berapa banyak pemahaman
yang menetap di hati kita
Lantas menjadi sumber
inspirasi kebaikan bagi sekitar
Menyayangi alam, memahami
kebesaran Tuhan
Berhenti bertingkah
kekanakan
Itulah hakikat pendakian
tersebut
Kita tidak bicara berapa
banyak kota yang kita kunjungi
Berapa lembar foto hebat
yang kita dapatkan
Tapi berapa banyak
pelajaran yang tinggal di kepala kita
Lantas menjadi sumber
kebermanfaatan bagi orang lain
Memahami keanekaragaman
dan perbedaan
Berhenti sombong dan
berlebihan
Itulah hakikat sebuah
perjalanan
Lakukanlah perjalanan
mengelilingi dunia, Kawan
Kunjungi tempat2 indah dan
spesial
Bukan untuk dicatat,
difoto lantas dipamerkan
Tapi simpel, perjalanan
adalah perjalanan
Dia akan mendidik kita
dengan lembut
Tentang banyak hal
*Tere Liye
Seseorang bilang pada saya, "Makin banyak orang naik gunung ya, sekarang. Naik gunung sekarang jadi lifestyle. Bahkan dianggap olah raga yang prestise. Dulu aja, dianggap orang gembel kurang kerjaan," cetusnya.
Saya bisa nangkap nada sinis dalam suaranya. Saya maklum. Pendaki pemula (dan turis) banyak yang nyampah sehingga gunung maupun pantai, salah satu nafas hidupnya, jadi kotor tak terkira (saya juga nggak suka sama yang sukanya hepi-hepi doang tapi nyampah begini). Apalagi, dia jadi anggota Pecinta Alam jauh sebelum naik gunung jadi tren. Dulu, organisasinya dianggap organisasi yang nggak guna. Kini setelah naik gunung booming, barulah teman-temannya berlomba-lomba menjelajah puncak-puncak, berfoto dan mengunggahnya di jejaring sosial.
Tapi, dia tidak demikian. Dia dan teman-temannya beda. Foto dokumentasi mereka simpan, tidak semuanya tersebar di dunia maya. Kenapa? Ya saya rasa, karena pemahaman lebih penting dalam sebuah perjalanan, seperti pada kutipan Tere-Liye di atas. Foto? Itu salah satu kenang-kenangan, katanya.
Pemahaman dan pendidikan. Saya akui, alam memang sering bikin lebih banyak belajar dan paham dibanding buku. Gara-gara naik gunung, mental terasah, apalagi menghadapi situasi-situasi tak terduga. Mendung dan hujan deras yang turun tiba-tiba, logistik yang harus dijaga supaya nggak dicuri kera liar, dan sebagainya. Termasuk mengamati detail alam sekitar.
Buat kasus saya, nggak sekali-dua hal ini jadi sangat membantu saat pelajaran. Geografi, Biologi, dan lain-lain. Yang paling dekat adalah saat ujian Klimatologi kemarin.
T= Teman, S=Saya
T: *ngelihatin saya yang lagi sibuk merapal hafalan Klimatologi. "Susah amat belajarnya."
S: "Iya nih, bahannya banyak, hafalan semua lagi."
T: "Kok dihafal? Emangnya kamu nggak dapet apa-apa pas naik gunung?"
S: "Maksudnya?"
T: "Kan, iklim itu ada di alam. Waktu naik gunung, kamu nggak merhatiin?"
Oh sial, iya juga. Kenapa nggak coba menghubungkan pelajaran dan fenomena yang pernah dilihat di lingkungan? Kan pahamnya lebih gampang!
Daaan, perkataan teman saya itu ada benarnya. Pada ujian Klimatologi, ada satu soal yang materinya sengaja nggak saya baca dan apesnya, disuruh ngejelasin sedetail-detailnya. Pertanyaannya tentang embun upas. Karena percuma saya coba cari di sisa-sisa ingatan hafalan, saya pun nyerah. Kemudian saya ingat, embun ini adalah embun yang banyak ditemukan di gunung pada kondisi tertentu. Mulailah pena bergerak, menulis semua yang saya tahu tentang embun upas. Tak apa, meski setahunya aja, tak dapat nilai sempurna, setidaknya nggak ditinggal kosong blong. Masih ada nilainya, hehehe.
Itu, cuma dalam hal pelajaran aja. Hal lain? Masih ada hal lain.
Memahami, memelajari. Bukan sekedar jalan-sampai-foto-pulang, atau sekedar hafalan textbook. Yang namanya foto dan hafalan bisa hilang, tapi memori dan pemahaman lebih susah pudar :)