Akibat cuaca panas yang (akhirnya) melingkupi Surabaya, jadi keinget zaman-zaman naik gunung. Dan nama yang satu itu emang nggak pernah lekang dari ingatan, bikin saya pengen balik dan balik lagi lantaran tersihir pesonanya. Semeru.
Dan nemu tulisan ini, yang pernah saya tulis setengah tahunan yang lalu, yang akhirnya bikin saya juga sukses bertanya-tanya, gimana nasib orang-orang ini sekarang ya?
----------------------------------------------------------------------------
Minggu, 4 November 2012
Aku
berandai-andai, di mana mereka sekarang?
Sudah
satu setengah tahun. Sudah satu setengah tahun semenjak kami terakhir bertemu,
terakhir bertatap muka tak sengaja dalam sebuah perjalanan.
Tapi,
bukankah setiap perjalanan selalu menggoreskan kesan, memiliki kisah?
Langit
malam itu biru gelap, penuh gemerlap bintang. Aku memperhatikan, ada purnama
muncul malu-malu dari balik pohon pinus. Aku dan teman-teman membangun tenda di
luar, di bawah pinus. Sedangkan kalian kedengarannya asyik membuka sleeping bag di dalam pondok pendaki.
Paginya,
kami memasak. Kami melihat salah satu di antara kalian asyik berjalan-jalan,
menikmati angin segar pegunungan.
“Dari
mana, Mas?” tanya seorang kawan.
“Jember.
Masnya?” dia balik bertanya.
“Surabaya.
Naik hari ini Mas?”
“Iya.
Masnya juga?”
Kawanku
mengangguk.
“Kalau
gitu kita bisa bareng nanti,” tawarnya.
Pada
akhirnya, kita memang berangkat bersama. Diiringi rintik hujan dan pilas kabut
yang tadi pagi menghambat perjalanan kami, membuat kami menunda pendakian.
Ladang
sawi, ladang kubis, ladang bawang daun. Aku teringat film Petualangan Sherina.
Dalam perjalanan hari ini, kita tak bertemu.
Saat
kami sampai di danau itu, kalian sudah mendirikan tenda. Sedangkan kami masih
duduk-duduk di rerumputan kering, melihat penduduk lokal memancing.
Esoknya,
kita berangkat bersama. Menaiki Tanjakan Cinta, melintasi padang ilalang kuning
bernama Oro-Oro Ombo, membelah hutan Cemoro Kandang.
Di
tengah perjalanan, kita rehat sejenak. Dua rombongan yang tak saling mengenal, kami
dan kalian, asyik bertukar bekal. Pun
saat kita istirahat sejenak di Kalimati, mengistirahatkan badan agar bisa
mengejar puncak nanti malam, kalian memberi kami sebuah makanan unik.
Roti
panggang nesting dengan topping havermut
cokelat.
Malamnya,
bersama dengan puluhan orang dari rombongan lain, kita mengejar puncak.
Beriringan membelah padang Kalimati dalam malam hitam pekat dan angin
pegunungan yang bertiup keras. Tinggal
ditambah lolongan serigala, lengkaplah malam ini, batinku saat itu.
Kita
sempat istirahat agak lama di Arcopodo karena salah seorang dari kalian ingin
buang air. Aku memanfaatkan momen itu untuk telentang menghadap langit.
Memandang bintang-bintang dari sini tentulah berbeda dengan memandang
bintang-bintang dari Surabaya. Pun sangat berbeda dengan melihatnya dari Ranu
Pani, dari Ranu Kumbolo, atau dari Bromo.
Salah
seorang dari kalian menegurku, mengira aku tertidur, “Jangan tidur lho ya,
Mbak. Nanti nggak tahu kalau ditinggal”. Kita semua tertawa.
Perjalanan
menuju puncak. Aku tak memerhatikan keberadaan kalian di sana. Yang lebih
kuperhatikan adalah dua rekanku, dan lebih-lebih, aku sendiri. Perjalanan yang
paling berat ada di sini.
Di
puncak, kita berfoto bersama. Namun entah, mungkin karena si pemotret kurang
keras menekan tombol, foto itu tak tercetak di memory card.
Pukul
14.00 kita kembali ke Ranu Kumbolo. Aku lupa, apakah kalian yang berangkat
lebih dulu atau kami yang berangkat lebih dulu? Atau apakah kita berangkat
bersama, lalu kami mendahului kalian di Cemoro Kandang? Aku sungguh lupa. Yang
kuingat hanyalah kami bertemu dengan seorang ibu energik, seorang bapak, dan
seorang anak kuliahan berambut kribo.
Malam
itu juga kami sampai di Ranu Pani. Seingatku, kalian baru datang saat kami
sudah menyusup ke balik sleeping bag.
Tapi itu tak lebih hanya dugaan karena, sekali lagi, aku lupa.
Esok
siang. Kami menunggu jeep yang akan
membawa kami ke Tumpang. Saat itulah aku terakhir melihat kalian.
“Rombongan
dari Jember pulang sekarang,” ucap seorang kawan.
Aku
menoleh ke arah jalanan. Rombongan kalian sudah menaiki sepeda motor. Carrier sudah kalian tumpukan di jok.
Dan
kalian melaju, meninggalkan basecamp
Ranu Pani. Motor kalian menderu melintasi jalan naik-turun yang berkelok.
Mataku terus mengikuti sampai sosok kalian hilang tertutup bukit, setelah
melintasi gapura. Ah, aku baru ingat, kalian mengambil jalan yang berbeda.
Itulah
kenangan terakhir yang aku ingat tentang kalian, teman seperjalanan. Bertemu
tak sengaja di sebuah pendakian dan hilang begitu saja setelah petualangan
usai. Tapi tetap saja, menggores kesan yang mendalam.
Andai
tanya ini bisa terjawab: “Di mana kalian sekarang?”
Tidak ada komentar: