Penggemar cerita Sherlock Holmes emang banyak, itu sudah pasti. Dan nggak bisa dipungkiri, ceritanya emang asyik dan bikin tercengang-cengang. Terutama dari teknik deduksi Holmes yang aneh. Sir Arthur Conan Doyle sebagai penulis emang pandai bener bisa bikin tokoh yang seperti itu, apalagi dengan deduksinya yang sebenarnya bisa diakal, tapi mayoritas manusia nggak pernah memerhatikan. Padahal itu sebenarnya hal yang umum aja, yang bisa dipikir. Mungkin saking umumnya kali ya, sampai nggak kepikir?
Well, lupakan. Intinya, saya kagum dengan caranya mendeduksi.
Lha terus, apa hubungannya cara deduksi Holmes dengan judul di atas? Sebenarnya nggak ada hubungannya, sih. Cuma sebagai kalimat pembuka aja.
Cara Holmes mendeduksi dan gaya menulis Sir Arthur Conan Doyle itulah yang bikin saya suka. Sir Arthur Conan Doyle menulis dengan gaya to the point, nggak pakai kias-kias kata. Kalau ada paragraf narasi yang agak panjang pun, yang menjelaskan definisi atau pemikiran, rasanya juga nggak terlalu berbelit-belit. Maksimal dua-tiga kalimat, selesai.
Tapi, nggak semua orang bisa menulis layaknya Sir Arthur Conan Doyle. Yah, gaya nulis orang kan emang beda-beda, nggak bisa disalahin juga, dong.
Tapi, lagi, apa jadinya kalau kisah Sherlock Holmes ditulis dengan gaya yang berbelit-belit?
Saya pernah menemukan cerita Sherlock Holmes semacam ini. Bukan, bukan cerita tulisan Sir Arthur Conan Doyle. Lha? Iya, cerita Sherlock Holmes, yang jadi tokoh sentralnya Holmes dan Watson, tapi yang nulis orang lain. Biasanya sih, mereka penggemar Holmes juga dan ingin melanjutkan kisahnya. Tapi ya itu tadi, gaya nulisnya beda.
Jadinya nggak asyik. Serius, deh. Jadi bingung, "Ini dia sebenernya ngomongin apa sih?" karena nggak to the point itu tadi. Padahal sebenarnya ceritanya menarik, seru. Tapi karena kebanyakan narasi atau dialog yang diplomatis, jadinya malah bingung. Yang sering kejadian sih, jadi lupa inti persoalannya apa. Gimana bisa lupa sih? Lha, dialog satu orang aja ada yang sampe setengah halaman! Jenuh nggak tuh?
Kalau yang diceritain adalah detail yang berhubungan dengan kasus, sih, meski banyak kayaknya nggak masalah. Tapi kalau sampai deskripsi perjalanan, flashback hubungan dengan orang tertentu, yang nantinya nggak bakal ngefek banyak ke pemecahan cerita, ya... malah bikin nggak fokus. Padahal ini novel detektif, kan. Titik beratnya ya di pemecahan kasus.
Bukan berarti deskripsi, penjabaran perasaan, dll itu nggak boleh ada. Boleh. Malah bikin fresh dan nambah background tokoh sehingga cerita jadi lebih kaya. Tapi, porsinya diatur lah. Jangan sampe malah 'membayangi' cerita utama.
Buat saya, ini sih yang paling mengganggu.
Dan, selalu aja ada yang beda, yang nggak ditemukan di naskah-naskah asli buatan Sir Arthur Conan Doyle. Entah mulai gaya bahasanya beda, narasinya mbulet, sampai cerita yang memandang remeh salah satu tokoh yang biasa muncul.
Mungkin karena yang nulis orang lain, jadi yang tertuang adalah tokoh hasil persepsi orang itu. Bisa aja Conan Doyle nggak bermaksud bikin tokoh A begitu, misalnya, tapi oleh pembaca (yang kemudian jadi penulis fanfiksi itu) dia punya pendapat dan kesan yang beda. Sebenernya nggak apa-apa, toh perspektif orang memang beda. Yang jadi masalah adalah kalau perspektifnya menyimpang jauh. Ini kejadian di salah satu buku 'Holmes baru'. Salah satu tokoh utamanya dibuat seakan-akan jahat dan berbudi buruk. Padahal, kalo saya baca di novel asli sih, nggak ada 'pertanda' dia sifatnya jelek begitu. Kalau udah mengada-adakan inilah yang bikin saya males.
Misalnya, kalau Holmes digambarkan sebagai 'pemakai'. Ya itu memang betul. Meski di novel asli nggak dibahas terlalu dalam, tapi 'novel Holmes baru' bisalah nulis ini atau bahkan elaborate seberapa parah Holmes jadi pemakai karena memang di cerita aslinya sudah ada pertanda. Lha, kalau sifat Watson atau Mrs. Hudson dibikin jijik sama anak-anak atau apa kek misalnya, kan ini nggak ada di novel asli. Ini udah bikin sifat baru lagi, bukan pengembangan dari yang asli. Kalau kita udah biasa baca yang asli, jadi aneh. "Kok si ini jadi gini?"
Kalau saya, lebih suka baca tulisan Sir Arthur Conan Doyle aja, deh.
Tapi kalau mau nyoba baca cerita Holmes tulisan orang lain, yang non-Sir Arthur Conan Doyle, nggak ada salahnya, kok. Sebenarnya jalan ceritanya tetap seru, tapi ya, ya kembali ke yang saya bilang di atas. Tapi kalau ada yang merasa, "It's okay, aku bisa mencerna yang non-Sir Arthur Conan Doyle", ya nggak masalah. Toh, yang bagus juga mungkin ada (cuma saya aja yang belum nemu, haha).
Tergantung selera aja sih.
Oh ya.
Dan, kalau tokohnya campur-campur dengan tokoh terkenal lainnya, misal: Sherlock-Lupin, Sherlock-Poirot, Sherlock-Irene Adler doang (hubungan mereka dibahas di sini), dll, biasanya itu bukan tulisan Conan Doyle.
Tidak ada komentar: