Judul: Bait-Bait Suci
Gunung Rinjani
Penulis: Khaerul
Sidiq
Penerbit: Dian Rakyat
Tahun terbit: 2009
(cetakan pertama)
Tebal: 310 halaman
Perjalanan
memang tak cuma untuk menikmati alam, namun juga bisa menjadi ajang mencari
teman. Hal itulah yang benar-benar terjadi pada Fajar dan Bambang. Mereka yang
awalnya hanya berdua mendaki Rinjani, bertemu dengan kelompok pendaki lain:
Ria, Anis, Robi, dan Aldo. Kebersamaan yang mereka bawa dalam perjalanan,
menggoreskan kesan. Usai pendakian, keenamnya kembali dengan hidupnya
masing-masing. Yang lain kuliah di universitas, sedang Fajar melanjutkan
pendidikannya di pesantren.
Hanya
sampai di situ?
Tidak.
Hidup Fajar tidak bisa disebut lempeng-lempeng saja. Tokoh sentral ini banyak
mengalami kejadian dalam hidupnya. Mulai dari mengais rezeki dengan mengamen di
bus, menjadi saksi meninggalnya seorang pengamen kecil, hingga proses taaruf-nya dengan Imel yang kandas.
Semuanya
mulai terlihat jelas saat Fajar kembali bertemu dengan Anis dan Robi yang sudah
menikah. Ternyata Ria sudah meninggal! Padahal, baru beberapa bulan yang lalu
Fajar bertemu Ria yang sedang caving.
Saat itu, Ria bercerita bahwa dia kabur dari rumah. Sesaat kemudian, Ria
dijemput karena ibunya sedang sakaratul
maut dan sedang menunggunya. Sejak saat itu, Fajar tidak pernah bertemu
Ria.
Berniat
menapaktilasi Ria yang meninggal dalam pendakian ke Rinjani, Fajar mengiyakan
ajakan Anis dan Robi. Betapa terkejutnya Fajar, mendapati Ria masih hidup.
Malahan, keduanya bertemu saat sedang sama-sama berdiri di pelaminan, sebagai
sepasang suami istri. Kok bisa?
-------------------------------------------------------------------------
Novel
bernafaskan Islam ini overall
menarik. Mulai dari cover hingga
isinya (apalagi kalau isinya tentang pendakian, hehehe). Catatan perjalanan
pendakian Rinjani cukup lengkap untuk ukuran novel. Isinya pun tidak hanya
berfokus pada satu tema. Namun juga tentang cinta dan hidup pengamen jalanan. Untuk
yang disebut terakhir memang cukup menjadi fokus. Apalagi, penulis adalah salah
satu dari mereka. Salut bukan, untuk sebuah karya yang —disebut di sampulnya—
lahir dari jalanan?
Namun, masih terdapat beberapa ejaan dan penggunaan tanda baca yang kurang tepat. Pun,
dalam gaya bahasa masih terasa kaku meski diselipkan percakapan-percakapan
gaul. Dalam narasi masih ada kalimat-kalimat yang mengganjal, yang sebenarnya
bisa diperhalus agar emosi pembaca ikut larut. Secara personal, ada juga kalimat yang rasanya agak kasar.
Dari segi isi, cukup nano-nano rasanya. Seperti saya bilang di atas, temanya macam-macam. Jadi berasa ada beberapa cerita di satu novel. Mulai dari pendakian, cerita ngamen, junior yang meninggal misterius, dll. Meski ada sedikiit benang merah di antara cerita-cerita ini, tapi saya ngerasa justru ini yang bikin cerita detached. Macam, terlalu banyak isi yang bikin intinya kurang fokus.
Tapi,
lepas dari itu semua, jempol untuk semangat penulis!
Tidak ada komentar: