Lampu jalan berwarna kuning
memancarkan sinarnya yang keemasan, dipantulkan oleh comberan tepi jalan.
Jalanan nampak sepi. Tak banyak kendaraan yang lalu-lalang. Yogyakarta sudah
mencapai tengah malam.
Kakinya melangkah menyusuri trotoar,
menghindari lubang-lubang becek bekas hujan sore tadi. Tangan dimasukkan ke
saku, hood jaket menutupi kepalanya.
Ransel di punggungnya berguncang-guncang pelan, searah langkahnya. Di sebuah
perempatan, ia menyeberang.
Sekilas tak ada yang aneh darinya.
Seseorang yang berjalan tengah malam menembus jantung bekas ibu kota Indonesia.
Namun ia tahu, ada yang berbeda.
Aku tak tahu ke mana arah tujuanku.
Kakinya melangkah ke mana hatinya
ingin melangkah. Tapi tanpa tujuan pasti.
Karena tujuanku sudah tidak ada.
Segerombolan pria duduk di tepi jalan,
bersorak-sorak ramai. Bibir mereka keras meneriakkan nama-nama kartu. Sesekali
tangannya mengarah ke atas, lalu dengan cepat melemparkan sebuah kartu remi ke
tumpukan kartu di bawahnya. Setumpuk pendek uang diselipkan di bawah kursi.
Olala, Las Vegas ada di mana-mana!
Ia melirik sejenak, lalu kembali
fokus ke depan. Dalam kondisi normal, ia tak akan tinggal diam. Pasti akan
diambilnya kamera dan membidikkan lensanya ke arah mereka. Tapi dalam kondisi
seperti ini, rasanya kehilangan kameranya pun ia tak akan peduli.
Meski kamera itu kamera yang setia
menemaninya. Meski kamera itu kamera favoritnya, karena tak pernah rewel dan
hasilnya selalu memuaskan. Meski kamera itu selalu ikut serta memvisualkan
memori yang tersimpan di otaknya.
Rasanya memoriku sudah hilang. Atau mungkin rusak. Sehingga semua yang kutahu tak lebih dari sebuah kesalahan.
Sebuah wajah meloncat keluar dari
imajinya. Wajah yang tersenyum dengan rambut agak gondrong. Wajah yang mengaku
tak bisa melepaskan diri dari kaos dan jeans
belelnya. Yang mengaku tak pernah bisa lepas dari kamera pula.
Jantungnya seakan tercabut keluar
saat melihat sosok itu setelah lima tahun. Bukan kejut bahagia yang ia rasakan.
Bukan.
Kenapa kakak jadi begini?
Kalimat itu tak sampai hati ia
lontarkan. Ia hanya tersenyum, menanyakan kabar, berbasa-basi. Lawan bicaranya
pun sama saja. Menanyakan kuliahnya, sudah semester berapa sekarang, menanyakan
kondisinya. Formal sekali.
“Meler terus! Kasih minyak kayu putih sana!” hidungnya dipencet.
Padahal pintu pagar baru saja dibuka. Bukan sapa yang dilontarkan, tapi
kalimat seperti itu.
“Daripada Kakak! Cukur tuh rambut! Gondrong, kayak kuntilanak!” balasnya.
“Eh, gondrong-gondrong gini banyak yang suka!”
“Yee, tapi aku kan nggak suka!”
Jika dibandingkan dengan lima tahun
lalu, orang tak akan menyangka mereka dua orang yang sama yang tersenyum di
atas rerumputan Taman Biologi sambil memamerkan kameranya masing-masing. Yang
begitu bertemu, pasti ramenya minta ampun sampai yang lain harus menyuruh
mereka berdua diam.
“Kamera Kakak, mana?” tanyanya gagu,
sekedar untuk memecah hening.
“Oh, aku sudah nggak main kamera
lagi.”
Kaget. “Kenapa?” Bukannya Kakak yang dulu ngajarin aku supaya suka kamera?
“Sibuk, nggak banyak waktu buat main
lagi.”
“Hari Minggu?”
“Mending dibuat istirahat.
“Selain itu...”
Dan kata-kata yang meluncur
selanjutnya dari si lawan bicara membuatnya jatuh ke tanah.
Kata-kata yang, tak bisa ia percaya,
keluar dari mulut orang yang sama yang dulu pernah berkata, “Kenapa aku suka
motret? Pertama, buat memori. Dua, nambah koleksi. Dan tiga...,” ia
menggoyang-goyangkan tangannya, “kamera itu jujur, obyektif. Dia bisa lihat apa
yang mata manusia nggak mampu lihat. Atau seenggaknnya, pada akhirnya, menyadarkan
manusia kalau penglihatannya salah”.
Dan ia tak suka karena kamera terlalu
jujur? Karena kameranya tak menangkap kilat yang ia tangkap setiap
melihat’nya’?
“Sesepele itu?”
“Mungkin.”
“Nggak ada alasan lain?”
“Mungkin nggak ada,” jawabnya cepat.
“Mungkin juga ada.”
Jawaban yang mengambang. Yang ia tak
bisa tebak. Jika orang yang di depannya orang yang sama seperti dulu, pasti ia
akan mendapati dirinya mengejar-ngejar jawaban sekarang.
Tapi tidak. Dua sosok itu hanya diam
di kursi masing-masing. Yang ingin ditanya menekuri layar komputer, yang ingin
bertanya memain-mainkan jarinya. Yang ingin ditanya necis memakai kemeja, dasi,
dan sepatu fantofel. Yang ingin bertanya masih memakai kaus, celana jeans, dan sepatu kets. Sama-sama diam.
Sampai ia mengucapkan salam. Pergi.
Keluar ruangan.
Dan ia mendapati dirinya termangu di
pagar besi sebuah jembatan. Kepala menumpu siku, mata memandangi arus Kali Code
dari atas. Menyaksikan riak-riaknya keras terbentur batu-batu besar di tengah
sungai.
Dibukanya tas, dikeluarkannya kamera,
membidik laju sungai di bawah. Dengan keahliannya memotret, sungai yang aslinya
berwarna abu-abu itu terlihat artistik. Hitam arus memantulkan warna langit,
semburat oranye membiaskan lampu-lampu jalan.
“Karena kamera membuat yang tampak jadi lebih indah. Lihat ya,” sosok itu
memotret sebuah pohon besar di Taman Biologi.
“Waaah,” bibirnya membentuk bulatan ‘o’ sambil memerhatikan gambar yang
nampak di layar kamera. Pohon yang tadinya hanya berwarna hijau, sekarang
bergradasi. Yang kanan hijau, yang tengah hitam siluet, yang kiri oranye
terkena pantulan mentari senja.
“Bagus kan?” sosok itu tersenyum, bangga memamerkan kebenaran katanya.
“Aku mau dong, diajarin motret, Kak!”
“Oke! Kapan aja kamu minta ajarin!”
Betapa berbeda. Betapa berbeda.
Betapa tak sama!
“Tapi, itu artinya kamera jujur kan, Kak?”
“Ya, tapi kadang dia bohong juga kan?”
Ia menggeleng tak mengerti.
“Yang jelek jadi kelihatan bagus, asal kita ahli.”
“Berarti bergantung orangnya kan, Kak?”
“Tapi, itu tetap bohong.”
Sebuah alur mengalir di pipinya,
masuk ke sela bibir. Asin.
Sosok yang dikenalnya, sudah jadi
orang lain. Tidak ada lagi panggilan sayang, tidak ada lagi tangan yang suka
mengacak rambutnya. Tidak ada senyum ramah atau mata yang bersinar jenaka. Tak
ada lagi semangat yang tampak menyala. Yang ada mata yang memandang penuh
ketegasan, bibir yang lurus menampakkan kekakuan. Sarkas.
Ia sudah kehilangan kakaknya.
Aliran di pipinya bertambah deras.
Dirogohnya saku, mencari sesuatu sebagai bendungan. Ia mengeluarkan sebuah sapu
tangan kotak-kotak berwarna biru.
“Sampai kapan sih kamu mau meler terus?”
“Kakak kan tahu aku alergi dingin!”
“Hei, Lasem kan nggak dingin-dingin amat!”
“Kakak lupa kalau kita tinggal di gunungnya, bukan daerah pantainya?”
“Alasan!” kakaknya merogoh sesuatu dari tas, lalu meletakkan sapu tangan
kotak-kotak berwarna biru di atas kepalanya. “Nih, sapu tangan, supaya nggak
meler terus!”
---------------------------------------------------------------------------------------------
Kupejamkan mata ini mencoba tuk melupakan
Segala kenangan indah tentang dirimu,
tentang mimpiku
Semakin aku mencoba, bayangmu semakin
nyata
Merasuk hingga ke jiwa
Tuhan tolonglah diriku
Entah di mana dirimu berada
Hampa terasa diriku tanpa dirimu
Apakah di sana kau rindukan aku
Seperti diriku yang s’lalu
merindukanmu
Selalu merindukanmu
Tak bisa aku ingkari engkaulah
satu-satunya
Yang bisa membuat jiwaku tak pernah
mati, menjadi berarti
Namun kini kau menghilang bagaikan
ditelan bumi
Tak pernahkah kau sadari arti cintamu
untukku?
(Hampa, Ari Lasso)
-------------------------------------------------------------------------------------------
Monggo dibaca, dipahami, direnungi #eh dan berikan tanggapannya di kotak bawah ini. Mohon saran juga ya. Suwun :)
Tidak ada komentar: