Apa yang ada di pikiran kita kalau denger kata ‘gunung Bromo’, ‘gunung Semeru’, dan ‘Lautan Pasir’? Kalau di pikiran saya, sih, yang pertama kali terlintas adalah ‘tempat yang punya pemandangan bagus’ dan pikiran kedua yang lewat adalah ‘ayo kesana’.
Yep, Bromo, Semeru, dan Lautan Pasir yang terletak di dalam lingkup TNBTS alias Taman Nasional Bromo Tengger Semeru emang punya pemandangan yang nggak perlu diragukan lagi. Karena keindahannya, TNBTS ini bahkan terkenal sampai ke mancanegara. Nggak heran kalau kita ke sana, apalagi ke Bromo, pasti nggak susah nemuin bule-bule yang pengen ngelihat keeksotisan Indonesia.
TNBTS bisa diakses lewat Malang, Probolinggo, Lumajang, dan Pasuruan. Menurut mbah Wiki, taman ini ditetapkan sejak tahun 1982 dengan luas wilayahnya sekitar 50.276,3 ha. Letak astronomisnya adalah 7°51’ - 8°11’ LS, 112°47’ - 113°10’ BT dengan ketinggian mulai 750 meter hingga 3676 meter dpl dan suhu mulai 3°C hingga 25°C.
Nah, beberapa saat yang lalu, saya berkesempatan mengunjungi TNBTS setelah dua tahun terakhir kunjungan saya yang terakhir ke sana (itu pun dulu cuma Bromo). Kali ini, saya dan rekan-rekan dari SMALAPALA berencana mengunjungi puncak tertinggi Jawa: Mahameru.
-----------------------
Berawal dari proker alias program kerja yang direncanakan awal tahun bahwa SMALAPALA akan mengadakan ekspedisi, maka diputuskan bahwa kami mengadakan ekspedisi ke dua tempat pada waktu yang bersamaan, yakni ke tebing Sepikul di Trenggalek untuk ekspedisi tebing dan ke Semeru di TNBTS untuk ekspedisi gunung. Kedua ekspedisi itu dilaksanakan mulai tanggal 17 Juni 2011. Untuk ekspedisi gunung akan berlangsung selama 4 hari dan ekspedisi tebing selama seminggu.
Oh iya, sebagai tambahan, ekspedisi dalam kamus kami adalah melakukan suatu hal yang berbeda. Jadi, kalau di pikiran orang-orang ekspedisi gunung itu adalah buka jalur dan semacamnya, maka bagi kami yang (meminjam istilah mas Momon) precil-precil, ekspedisi itu adalah melakukan sesuatu di luar kebiasaan. Misalnya ya ekspedisi Semeru ini. Kami namakan ekspedisi karena kami udah lama nggak menapak tanah tertinggi di Jawa.
Hari Pertama: Jumat, 17 Juni 2011
Pukul 6 lebih saya sampai di sekolah dengan carrier biru kesayangan yang selama ini setia menemani. Di sekolah sudah ramai, sudah banyak teman dan senior yang datang. Tapi kabar buruk datang beberapa detik setelah saya menjejakkan kaki di halaman. Meta, salah satu teman atlet ekspedisi gunung, ternyata nggak diizinin berangkat. Tim yang berjumlah 5 orang (mbak Lisa, Nauval, Meta, Cugos, dan saya) pun berkurang menjadi 4 orang. Waktu kami coba tanyakan pada senior kemungkinan melobi ayah Meta, senior bilang sudah nggak ada waktu. Meta terpaksa nggak berangkat. Kenyataan itu sempat bikin down. Meta adalah ‘pemandu sorak’ kami. Kalau nggak ada Meta, sepiiii :’(
Nggak sampai di situ aja. Waktu saya mau pamit ke ortu yang mau berangkat kerja dan dari tadi nungguin saya di gerbang sekolah, saya bertemu Cugos dan langsung ditubruk. Sambil nangis dia bilang kalau nggak diizinin berangkat juga sama ortunya. Oh nooo! Tim atlet pun berkurang jadi tinggal 3 orang.
Setelah itu kami packing ulang, membagi barang kelompok lagi. Ritual packing ini berlangsung hingga sekitar pukul 9. Setelah itu, kami melakukan upacara pelepasan, tanda bahwa sekolah merestui kegiatan kami. Dalam upacara ini wakil dari pihak sekolah adalah pak Chamdi. Sedangkan pak Gun menjadi pendamping kami.
Setelah upacara pelepasan, tim gunung (atlet maupun Support Team) berangkat lebih dahulu, meninggalkan tim tebing yang masih di sekolah. Tujuan kami adalah terminal Bungurasih. Kami naik bemo V ke sana. Nyarter. Nggak mungkin dengan bawaan carrier-carrier segede bantal kami naik bemo V tanpa nyarter karena bemo V notabene selalu penuh. Akhirnya, pukul 09.30 WIB kami berdelapan (mbak Mela, mbak Lisa, mas Dony, mas Wisnu, Nauval, Afi, Nishock, dan saya) berangkat dari sekolah.
Pukul 10.10 WIB kami sampai di terminal Bungurasih. Well, nggak di terminalnya sih, tapi di pintu keluarnya. Rencananya kami langsung aja naik bus yang lewat. Tapi mas Dony menyarankan kalau kami naik bus dari terminal aja, karena kalau kami nyegat bus yang udah jalan pasti penuh dan nggak dapat tempat duduk. Tapi alhamdulillah, nggak lama setelah kami turun, ada bus jurusan Malang yang lewat. Kami pun naik. Dan alhamdulillah lagi, nggak penuh. Jadi kami dapat tempat duduk. Yeee!!! :D
Awal-awal di bus, kami jadi bahan perhatian orang-orang. Delapan orang anak manusia dengan carrier segede bantal (malah ada penumpang yang bercanda, biilang kami pada bawa bom), mau ke mana?
Oke, kelar dengan bus. Perjalanan dengan bus berjalan dengan normal layaknya perjalanan biasa. Setelah melewati Porong, saya dan Nishock sudah lelap. Zzz......
Pukul 12.00 WIB kami sampai di terminal Arjosari. Di sini, perut kami mulai keroncongan. Kami pun memasuki sebuah warung di antara warung-warung yang berjejer di terminal. Karena sudah masuk waktu dhuhur, maka sebagian dari kami pergi shalat. Sebagian yang lain menjaga barang dan memesan makanan. Gantian. Ntar kalau yang shalat sudah balik, yang jaga barang pergi shalat.
Kelar makan, kami mencari bemo yang bisa membawa kami sampai ke Tumpang. Bertemulah kami dengan bemo TA warna putih. Setelah carrier kami diletakkan di atap bemo oleh pak sopir, kami pun masuk.
Eh iya, di sini nama bemo beda sama di Surabaya. Kesimpulan saya aja sih. Soalnya, tiap lihat bemo di sini, pasti ada huruf A-nya. Dan di tulisan jurusan yang menempel di badan bemo, pasti ada ‘Arjosari’-nya. Jadi saya berkesimpulan kalau nama bemo di sini dinamai sesuai jurusannya. Misalnya aja bemo TA yang kami tumpangi. TA adalah singkatan dari Tumpang-Arjosari. Cukup informatif juga. Paling nggak bisa mengurangi presentase salah naik bemo. Hehehe.
Sekitar sejam kami naik bemo. Pukul 14.37 kami sampai di Njero, Tumpang. Di sanalah kami turun. Dan setelah turun barulah kami menyadari satu hal. Itu pun setelah Nauval bilang, “Eh, carrier kita yang ditaruh di atap bemo ternyata nggak ditali lho”.
???????????????????
Wah, ternyata iya! Carrier segede bom itu ditaruh di atap bemo tanpa ditali! Kami semua sampai takjub. ‘Kok nggak jatuh ya?’ Padahal jalan yang kami lalui tadi ada naik-turunnya meski nggak meliuk-liuk banget. Kami berandai-andai, misalnya aja carrier kami itu jatuh dan ngglundung di jalan, menimpa kendaraan di belakang kami, gimana ya? Atau seperti pengalaman mbak Mela yang tenda dome-nya pernah jatuh dari motor dan terlindas mobil sampai sobek, apa carrier kami juga bakalan sobek? Kami sibuk berandai-andai dan ngebahas pengalaman ajaib barusan sambil nungguin jeep yang sudah kami booking.
Sambil nungguin jeep, kami ngabisin waktu dengan berbagai cara. Ada yang ngobrol, ada yang bolak-balik masuk Alfamart buat beli serbet dan jajan, dan ada yang melongo menatap jalan sambil ngabisin susu kotak (baca: saya). Satu hal yang bikin saya heran. Di samping Alfamart tempat saya dkk nongkrong, ada tulisan perizinan ke Semeru. Tapi, di mana tempat perizinannya?
Nggak lama, datanglah sebuah jeep hijau. Setelah menaikkan carrier ke atap mobil —kali ini ditali—, kami pun masuk. Lega juga jeep-nya ternyata kap tertutup dan kami bisa duduk. Soalnya tadi udah ngerasani, gimana kalau ternyata kami harus berdiri karena model jeep-nya kayak truk? Waah, nggak deh, dengan beban dan jalan yang meliuk-liuk itu.
Pukul 14.42 WIB jeep mulai berjalan. Di dalam jeep, kayak yang sudah-sudah, kami ngobrol. Apa aja diobrolin. Mulai dari berasnya mbak Novita (support team tebing) sampai ngejodoh-jodohin mbak Lisa dan mas Wisnu. Sampai pada suatu bangunan bercat hijau yang merupakan kantor pengelola TNBTS jeep berhenti. Mbak Lisa dan mas Wisnu turun untuk mengurus perizinan. Daerah kantor perizinan ini disebut dengan daerah Gubugklakah.
Sekitar 30 menit mengurus perizinan, kelar. Mbak Lisa dan mas Wisnu pun balik ke jeep. Jeep pun berjalan kembali. Nah, pas waktu ini, mbak Lisa memberikan sebuah buku pengantar yang didapatnya dari perizinan pada mbak Mela. Buku itu memuat segala tetek bengek TNBTS. Mulai dari gunung Bromo hingga Semeru. Beberapa info itu antara lain:
- Taman Nasional ini terdiri dari pegunungan dan lembah seluas 50.273,3 Hektar. Kawasan yang dibentuk oleh gunung-gunung yang ada di TNBTS ternyata dulunya kawah gunung Tengger. Jadi ceritanya, kawah gunung Tengger meletus dan akhirnya ‘melahirkan’ gunung-gunung yang lebih kecil seperti gunung Bromo (2.392m), gunung Batok (2.470m), gunung Kursi (2,581m), gunung Watangan (2.662m), dan gunung Widodaren (2.650m). Hal ini disebut dengan fenomena kawah dalam kawah (crater in crater) karena di bekas kawah gunung Tengger muncul gunung yang memiliki kawah (Bromo).
- Secara umum iklim di wilayah gunung Semeru termasuk type iklim B Schmidt dan Ferguson dengan curah hujan 927 mm - 5.498 mm per tahun dengan jumlah hari hujan 136 hari/tahun dan musim hujan jatuh pada bulan November - April. Suhu udara dipuncak Semeru berkisar antara 0 - 4 derajat celsius. (Baca ini jadi inget pelajaran geografi dulu. Dulu di pelajaran geografi juga diajarin jenis iklim). Junghuhn, seorang ahli botani Belanda yang namanya diabadikan sebagai nama iklim (nyeseel kenapa nggak melajarin baik-baik pelajaran geografi dulu yaa?), ternyata pernah mendaki gunung Semeru lewat gunung Ayek-Ayek tahun 1945 dulu.
- Tentang legenda gunung Semeru. Jadi menurut kitab Tantu Pagelaran yang ditulis abad 15, dulu tanah Jawa itu nggak labil. Terombang-ambing di lautan gitu. Jadinya, para dewa berkeputusan untuk memindahkan gunung Meru di India untuk ‘memaku’ pulau Jawa. Dewa Wisnu berubah jadi kura-kura raksasa dan meletakkan gunung Meru di atas punggungnya. Dewa Brahma berubah jadi ular dan melilitkan tubuhnya pada gunung tersebut supaya nggak jatuh. Pertamanya, gunung tersebut diletakkan di bagian barat pulau Jawa. Tapi akhirnya bagian timur jadi miring dan terangkat. Akhirnya gunung dipindah ke timur. Bagian gunung yang jatuh bercecer berubah menjadi gunung-gunung kecil. Tapi meskipun sudah ditaruh di timur, pulau Jawa masih aja miring. Akhirnya gunung Meru dibagi dua. Bagian bawah diletakkan di barat laut dan akhirnya jadi gunung Pawitra atau Penanggungan, dan bagian utama diletakkan di tempat gunung Semeru sekarang. Gunung Semeru sampai sekarang masih dipercaya masyarakat Hindu sebagai ayah dari gunung Agung di Bali.
Ehem. Kembali ke perjalanan.
Jeep mulai meninggalkan daerah ramai perkotaan. Sekarang di kanan-kiri jalan yang kami lalui dipenuhi tumbuh-tumbuhan tinggi seperti tebu (mungkin emang tebu kali ye?). Sebentar-sebentar berganti dengan perkebunan apel dengan bunga putihnya yang nampak ranum. Sebentar lagi berganti dengan rumah-rumah penduduk. Ganti-ganti deh pokoknya. Tapi awal-awal perjalanan ini, rumah penduduknya masih banyak.
Sudah agak lama, pemandangan mulai berganti. Rumah-rumah penduduk masih ada, cuma mulai agak jarang. Kanan-kiri jalan sudah jurang. Ngeri, emang. Tapi pemandangannya bikin speechless abis! Kalau kita melongok ke bawah jurang, akan terlihat kebun-kebun penduduk di bukit-bukit yang luas dengan rumah-rumah kecil yang antar rumah jaraknya ada kali 500 meteran. Dari kejauhan terlihat bukit-bukit hijau yang diselimuti kabut.
Dan ini dia: di tengah perjalanan, Lautan Pasir terlihat dari atas. Warnanya buram. Dengan galir-galir seperti aliran sungai di atasnya. Di tengahnya gugusan gunung. Bromo, dengan gagah mengepulkan asapnya. Wuaaahhhh!!!! Kereeen abis pokoknyaaa!!!!! Kami yang waktu itu berada di dalam jeep hanya bisa melongo dan teriak-teriak histeris saking tersepona, eh, terpesonanya oleh pemandangan di samping kami.
Kelar dengan pemandangan speechless, perjalanan berlanjut. Kali ini kami ditakjubkan oleh pemandangan yang ada di film-film romantis yang mengambil setting di pedesaan. Seorang nenek kurus dengan penutup kepala, sambil berjalan, terlihat menggendong sesuatu yang berat di balik punggungnya. Halooo!!! Ini nenek-nenek! Berjalan dengan jalan menanjak naik (banget) yang kami yang naik jeep aja udah terguncang-guncang. Belum dengan beban di punggungnya. Pemandangan selanjutnya memang hanya ada di film-film: jeep yang kami tumpangi berlalu begitu saja dengan menerbangkan debu-debu jalanan (debu beneran, kebal-kebul beneran) warna kuning, meninggalkan nenek itu dengan pandangan kami masih tertuju padanya.
Seolah belum puas membuat kami melongo mengagumi keagungan ciptaan-Nya, alam masih menyuguhkan kami pemandangan lain. Keluar dari hutan, di depan kami terhampar pedesaan. Yep, desa tertinggi di Jawa (2200 meter dpl), Ranu Pani (sering disebut Ranu Pane, akibat lidah orang Jawa yang sering memiringkan ‘i’ menjadi ‘e’). Dengan kebun-kebun, bangunan-bangunan, rumah-rumah, dan dengan gunung yang berdiri tegak sebagai latar belakang, Semeru.
Kami mulai memasuki desa Ranu Pani. Jangan bayangkan kalau desa tertinggi di Jawa ini merupakan desa tertinggal di mana rumahnya dari gedhek, nggak ada listrik, masaknya pakai kayu, dll. Desa ini terlihat normal (nggak terlihat aja sih. Emang normal), sama seperti desa-desa lain, bahkan seperti desa yang kami lewati sesaat setelah meninggalkan kota tadi. Rumah-rumahnya dari tembok, dicat warna-warni. Listrik? Sudah pasti ada, karena kami melihat tiang listrik di sini. Bahkan ada antena satelit segala di beberapa rumah. Nah, lho, di kota, dalam satu kampung berapa rumah yang punya antena satelit? Iya, di sini pasti pake antena satelit karena kalau nggak, nggak bisa nangkep sinyal TV.
Di sini mata saya mulai asyik melakukan penelitian secara sosiologis (halah!). Kalau nggak salah, ada dua masjid dan satu SD di sini. SD-nya namanya SDN Ranu Pani. Di jalan-jalan mudah ditemui anjing. Tapi anjingnya bagus dan lucu. Rata-rata warnanya putih dengan bulu yang terlihat tebal. Oh iya, pada jam yang udah mendekati maghrib ini, seua penduduk udah pada pake baju tebal. Minimal sarung lah. Makanya, waktu itu mas Dony bilang, “Awak dhewe iki menantang alam yo. Wong kene ae jam yah mene minimal wes nggawe sarung. Lha awak dhewe lho cuma nggawe klambi biasa” (terjemahan: Kita ini menantang alam ya. Orang sini aja jam segini minimal sudah pake sarung. Lha kita ini lho cuma pake baju biasa).
Saking sibuknya ngelihat-lihat fenomena pedesaan, saya sampai nggak nyadar kalau sudah sampai. Sekitar pukul 17.00 WIB kami sampai di pos perizinan Ranu Pani. Setelah menurunkan barang-barang, kami meluruskan kaki sejenak, menikmati keindahan.
Dari pos perizinan yang letaknya lebih tinggi dari danau Ranu Pani, saya bisa melihat ke bawah. Terlihat danau seluas 1 hektar itu memantulkan cahaya cemerlang mentari senja dengan kotoran warna cokelat mengambang di dekat tepinya (belakangan saya tahu dari pak penjaga pondokan SAR bahwa itu alga limbah). Dari tempat saya berdiri, terlihat lapangan sepak bola di tepi danau yang tadi kami lewati. Di kejauhan, bukit-bukit kecil perkebunan yang berwarna hijau memantulkan warna keemasan ditimpa sinar senja. Indaaahh!!!!!! Kayak pemandangan musim panas di desa-desa luar negeri! Tapi yang ini jauuhhh lebih indah karena saya melihatnya di negeri saya sendiri, dengan mata kepala saya sendiri. Subhanallah.....
Setelah selesai shalat, kami mulai mengurus perizinan. Saya kurang tahu seluk-beluknya seperti apa karena saat itu yang mengurus adalah mbak Lisa. Tahu-tahu kami berkumpul nggrundel dan menghadapi selembar kertas berisi list barang. Ternyata, jumlah barang kami pun harus dihitung. Mulai dari baju, jaket, topi, sampai teh dan kopi yang kami bawa. Saya sempat ketawa dalam hati. Mana saya inget jumlah bawaan saya? Ya sudah, dikira-kira aja.
Kelar mengurus perizinan, matahari sudah mulai hilang di balik bukit.
Eh iya, karena kami sampai menjelang maghrib, maka kami nggak diizinkan untuk hiking ke Ranu Kumbolo. Di sini batas perjalanan hanya sampai jam 17.00 WIB. Jadilah kami harus menginap semalam dulu di Ranu Pani. Molor sehari dari jadwal karena tadi berangkatnya pun molor. Menurut jadwal, seharusnya kami berangkat dari Surabaya pukul tujuh.
Kami pun mulai berjalan ke pondokan yang letaknya di tanah yang lebih tinggi di depan pos perizinan. Jangan tertukar ya, karena di situ ada 3 bangunan seperti rumah. Pondok pendaki letaknya bersebelahan dengan pondok SAR dan terletak lebih tinggi dari bangunan yang pertama kita temui.
Di pondok pendaki, kami bertemu dengan pak penjaga pondok SAR, pak Hambali. Kami sempat masuk pondok pendaki dan grepe-grepe dindingnya untuk menemukan saklar lampu. Tapi setelah nggak nemu, kami pun bertanya pada pak Hambali.
“Lha ini pondok pendaki, kok. Ya nggak ada lampunya”.
Oalah.....
Kami sempat disarankan oleh beliau untuk bermalam di pondok pendaki saja, seperti sebuah rombongan dari Jember yang datang bersamaan degnan kami. Tapi kami keukeuh mau mendirikan tenda di luar aja karena pengen beradaptasi dengan suhu sekitar yang konon sampai minus.
“Iya, di Ranu Pani aja kapan hari itu sampai ada salju,” kata pak Hambali.
Padahal yang saya tahu, salju baru bisa kami temukan di Ranu Kumbolo. Dari internet saya tahu kalau nge-camp di Ranu Kumbolo dan kita keluar pagi-pagi dari tenda, maka yang kita lihat cuma putih. Kenapa? Karena embun yang nempel di rumput-rumput itu membeku jadi es. Lha kalau kemarin aja sudah ada salju di Ranu Pani, berapa suhu Ranu Kumbolo? Brrr!!!
Sambil mbak Lisa dan Nauval mendirikan dome, saya masak spaghetti. Setelah itu segala kegiatan berlangsung seperti biasa, kayak kalau lagi camping biasa. Yang nggak biasa adalah suhunya. Di catatan perjalanan ke gunung Penanggungan dulu saya menyebutkan bahwa kami terkena badai di puncak. Suhu di sini tanpa badai pun, sekarang sudah se-freezing suhu Penanggungan saat badai.
Sambil nunggu spaghetti matang, saya menghabiskan waktu dengan main-main ke tenda anak ST (Support Team) di sebelah. Saat berjalan ke belakang dome, saya melihat pemandangan yang agak horor. Di belakang dome kami terdapat pohon besar dan di sebelah pohon itu ternyata ada prasasti, berpahatkan nama seorang pendaki yang meninggal di Semeru. Hii, ngeri!
Lalu jalan-jalan melihat-lihat sekitar pondok pendaki. Ternyata di sekitar situ banyak ditanami bunga-bungaan yang cantik. Ada bunga matahari, hydrangea (bunga yang bisa menentukan asam-basa tanah. Warnanya berubah jadi merah kalau tanahnya asam dan berubah jadi biru kalau tanahnya bersifat basa), dan ada bunga yang hanya pernah saya lihat waktu main game Alice Greenfingers: bungai daisy.
Kelar melihat bebungaan, saya melihat langit. Sudah jadi kebiasaan saya kalau jalan-jalan itu sesekali harus ngelihat langit. Dan bener aja, bintang-bintang di atas nampak gemerlapan seperti permata. Jumlahnya nggak cuma empat-lima kayak di Surabaya, tapi ratusan! Setelah itu saya mencari-cari sang bulan. Eh, ketemu. Di timur, muncul dari balik siluet pepohonan, purnama bundar dengan cahaya kekuningan. Hm... full moon. Romantis juga. Sedikit melankolis boleh laah.
Setelah itu makan sambil bikin api. Sebelum bikin api, kami cari kayu-kayu dulu. Tapi jangan nebang ya, ambil aja kayu yang udah jatuh di tanah. Tapi susah juga karena dikit dan kayunya basah oleh embun. Akhirnya saya nemu tanaman yang udah setengah mati (tinggal batangnya doang) dan saya minta Nauval memotongnya. Akibat terlalu lama nyari kayu, waktu kami makan, makanannya udah sedingin makanan beku. Ya udah deh.
Setelah itu bongkar muat barang-barang. Packing ulang. Lalu kami evaluasi di tenda. Tapi kami langsung disuruh packing barang dulu oleh kakak Dony karena sudah turun embun. Iya, di sini embun turun rintik-rintik dengan gerakan slow motion seperti hujan. Pemandangan yang menarik dan belum pernah saya lihat! Pantas aja dingin! Sejak sebelum matahari tenggelam aja kalau saya ngomong, keluar uap dari mulut saya. Apalagi waktu udah gelap gini!
Setelah semua barang sudah aman di dome, kami pun pergi tidur. Bertiga, berimpit-impitan di dalam sleeping bag kami masing-masing. Lumayan hangatlah. Selamat malam!
Catatan perjalanan berlanjut di Ekspedisi Semeru: Hari Kedua
Catatan perjalanan berlanjut di Ekspedisi Semeru: Hari Kedua
Tidak ada komentar: