Kami bangun setelah sunrise, 05.30 WIB, sehingga, yaa, agak kecewa juga. Padahal Ranu Kumbolo kan terkenal dengan sunrise-nya. Tapi setelah keluar dome, mikir juga. Sunrise kayak gimana, lha wong kabutnya aja tebal begini?
Kami baru bisa menikmati sunrise setelah matahari agak tinggi dan kabut mulai hilang, 06.30 WIB. Udara mulai menghangat dan terlihat sinar matahari menyembul dari balik bukit, menimbulkan siluet dan memantulkan sinar cerah di atas permukaan danau. Kalau kita lihat ke Tanjakan Cinta yang juga mulai terang, di langit masih terlihat bulan. Bulat, bekas purnama penuh, dengan warna putih yang jelas. Subhanallah kerennyaaa!!!
Puas foto-foto (dengan Support Team yang juga di situ), kami pun masak dan packing. Pukul 10.00 WIB semuanya kelar dan kami pun siap melanjutkan perjalanan.
Bersama para pendaki lain, kami pun berangkat. Jalur pertama, Tanjakan Cinta. Mitosnya sih, kalau kita terus mendaki sampai ke puncak bukit dan sama sekali tidak melihat ke belakang sambil memikirkan orang yang kita cintai, maka kita akan mendapatkan cinta sejati dengan orang tersebut. Mitos aja lho ya. Karena, percaya deh, bakalan sulit nggak membalikkan badan ke belakang, untuk sekedar melihat Ranu Kumbolo dari ketinggian.
Oh iya, Tanjakan Cinta ini ‘menipu’ saya. Kalau dari jauh, kelihatannya jalurnya nggak terlalu naik. Bahkan terkesan landai. Tapi begitu treking, hmph, baru kerasa naiknya. Alhasil, begitu sampai di puncak bukit, saya sudah ngos-ngosan
Setelah puas memandangi Ranu Kumbolo dari puncak bukit (tetap sambil ngos-ngosan), kami balik menengok ke depan. Oro-Oro Ombo, dengan padang alang-alangnya, membuat hamparan di depan kami terlihat seperti Afrika kecil.
Mengikuti rombongan, kami meniti jalan kecil di tepi bukit. Melipir bukit demi bukit hingga sampailah kami di ujung bukit. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan dengan membelah padang. Tapi jalannya terlihat jelas kok, jadi nggak perlu nyari jalan sendiri.
Oro-Oro Ombo memang terlihat kering dan tidak hijau. Tapi pesonanya yang tersendiri tetap menyihir. Lihat kemana-mana, alang-alang. Lihat kemana-mana, rumput. Tanahnya berpasir. Kesannya mirip gurun, tapi masih ada tanamannya.
Sekitar tengah hari, kami sampai di ‘pintu masuk’ Cemoro Kandang. Jadi setelah padang alang-alang, kami langsung memasuki hutan. Berbeda dengan hutan yang kami jumpai di awal treking kemarin, hutan ini tidak basah. Mungkin karena sudah siang, embun sudah menguap. Jalannya juga kering dan tidak licin, meski ada beberapa pohon (besar) yang tumbang menghalangi jalan. Apa yah, hutan konifer ini mirip dengan hutan-hutan di luar negeri yang isinya cemara aja. Tapi nggak lembap, malah cenderung kering dan panas. Di sini jalurnya lumayan naik.
Di akhir hutan kami dan rombongan pendaki lain berhenti. Minum, duduk-duduk, cerita-cerita, bagi-bagi makanan. Pendeknya mengakrabkan diri sesama pendaki, lah. Heran ya, di hutan, orang nggak kenal aja bisa akrab. Tapi di kota, kenal aja kadang, boro-boro nyapa.
Setelah melewati hutan, jalan mulai agak melebar dan pepohonan mulai jarang. Jalannya juga mulai turun. Katanya sih, setelah ngelewati hutan, kita akan bertemu padang edelweis. Tapi kami cari-cari juga, nggak ketemu-ketemu edelweisnya. Sampai akhirnya sampailah kami di Kalimati.
Untuk mencapai camp Kalimati, kami kembali harus menyusuri padang rumput. Camp ini letaknya berseberangan dengan ‘pintu keluar’ hutan yang barusan kami lewati, di antara pepohonan hutan seberang jalan. Dari kejauhan terlihat pondok pendaki berdiri dikelilingi tenda-tenda dome. Jadi inget cerita-cerita prairie macam Little House In The Prairie-nya Laura Ingalls atau di beberapa tempat yang diceritakan Karl May di dalam karyanya, Winnetou.
Pukul 13.00-an WIB kami sampai di Kalimati. Kami mendekati pondok bersama rombongan. Sampai di sana, tiba-tiba kami diminta sedang pura-pura treking kemudian kami difoto. Eh, ternyata yang memotret adalah Don Osman, fotografer ulung yang sudah menjelajah tempat-tempat menantang dunia. (Setelah saya sampai di rumah dan baca-baca di internet, ternyata Don Osman memang datang khusus untuk mengabadikan pernikahan pertama di puncak gunung itu).
Setelah itu, kami duduk-duduk di tempat yang datar. Nyantai dulu. Foto-foto dan lain-lain. Nah, baru di sinilah saya temui edelweis, bunga abadi. Bunga ini terkenal sebagai incaran para pendaki karena tidak bisa ditemui di sembarang tempat. Selain itu, warna putihnya dan periode mekarnya yang bertahan lama hingga berbulan-bulan cukup menarik. Tapi hati-hati, jangan dipetik atau malah dibawa pulang. Karena biasanya di Ranu Kumbolo akan diperiksa dan kalau ketahuan bakalan disuruh mengembalikannya di tempat memetiknya. Tapi meski nggak diperiksa, ya tetap jangan diambil, karena edelweis itu dilindungi. Hampir punah karena keseringan dipetik. Kasihan kan. Menyayangi alam sedikit deh!
Oh iya, di sini HT udah nggak bisa dipake. Saat itu, kami berusaha menghubungi ST di Ranu Kumbolo. Tapi rupanya frekuensinya nggak nyampe, jadi putuslah komunikasi kami.
Setelah itu kami membangun tenda di dekat rombongan Jember yang kami temui di Ranu Pani dan di dekat tenda rombongan alumni SMA Muhammadiyah Sidoarjo. Setelah mengatur barang dan lain-lain, kami bongkar muat makanan. Kami membawa buanyaaak sekali mie instan. Rencananya siang itu kami makan mie empal gentong atas rekomendasi Cugos.
Asyik banget kalau tendanya dekatan gitu dengan pintu yang sama-sama menghadap tengah. Jadi bisa lebih mudah interaksi satu sama lain. Jadilah selama siang itu, kami istirahat sambil ngobrol dengan rombongan lain. Malahan ditawari roti bakar dengan havermut cokelat yang uenak banget. Saling meledek dan bercanda antar rombongan. Seperti saat itu, ada salah seorang yang tidak bisa makan bila mendengar kata-kata jorok. Tapi teman-teman sesama pendaki malah mengerjainya dengan berkata-kata jorok saat dia makan. Pun saat ada sesuatu yang salah, kambing hitamnya pun dia. Hahaha, lucu banget pokoknya! J
Menjelang isya semua kelar. Makan, udah. Packing di backpack, udah. Waktunya tidur untuk menghemat energi.
-->
PUKUL 23.00 WIB
Kami bangun. Seperti biasa mbak Lisa yang bangun duluan lalu membangunkan yang lain. Di antara kami, mbak Lisa yang paling rajin bangun. Sedang yang lainnya kalau dibangunin, “Hah? Apa? Iya,” lalu lelap lagi.
Dengan tubuh masih terbalut jaket tebal, satu per satu kami keluar untuk mengecek kondisi. Jika kondisi buruk, kami tidak akan muncak hari ini. Nauval keluar. Lama, baru balik. Ternyata dia ngobrol dulu dengan pendaki lain. Lalu mbak Lisa, lalu saya.
Wah, pemandangan malam di Kalimati nggak kalah keren! Gelap, dengan langit biru gelap dan bintang-bintangnya. Siluet bukit-bukit dan pepohonan di kejauhan. Bulan, entah masih purnama entah sudah fase gibbous, terang di atas langit. Cahaya di beberapa tenda. Kabut tebal di kejauhan, menutupi padang di depan kami. Rerumputan bergerak digoyang angin yang mendesau. Anginnya! Benar-benar berbunyi mendesau keras. Memori saya langsung melayang lagi pada karya Karl May, Winnetou. Wah, tinggal dikasih lolongan serigala, komplet, nih, pikir saya. Dan seketika itu juga saya langsung parno, gimana kalau ketemu serigala beneran? Mana lagi nggak bawa pisau lagi! *pikiran paranoid, pikiran paranoid*
Saya mulai berjalan-jalan. Ternyata embun sudah jatuh. Tanaman-tanaman sudah mulai basah. Jalan dan jalan lagi, sambil memerhatikan letak tenda, jangan sampai hilang dari pandangan.
Dinginnya menggigit, dari mulut sudah keluar asap kalau bicara (sebenarnya sudah keluar asap sejak sore tadi). Tapi entah karena suhunya lebih hangat dari Ranu Kumbolo atau tubuh yang sudah beradaptasi, kami bertiga sudah mulai bisa menikmati dingin ini.
Kami menunggu rombongan yang akan berangkat. Rencananya tepat tengah malam kami berangkat. Tapi kami masih menunggu rombongan yang sedari siang bersama kami. Maka, kami berangkat pukul 01.00 WIB.
Catatan berlanjut ke Ekspedisi Semeru: Hari Keempat & Kelima
Catatan berlanjut ke Ekspedisi Semeru: Hari Keempat & Kelima
Tidak ada komentar: