HARI KEEMPAT: SENIN, 20 JUNI 2011
Pukul 01.00 WIB kami memulai perjalanan. Pertama-tama, rombongan yang terdiri dari belasan orang ini melingkar dan berdoa. Setelah itu kami berjalan berbaris memanjang seperti kereta api. Mengikuti jalan setapak yang kadang bercabang tapi nampak jelas di antara rerumputan. Jalan di savanna ini nggak neko-neko. Lurus dan datar. Baru setelah beberapa lama kemudian, jalan njujlug turun berbatu. Tapi nggak banyak.
Setelah savanna, kami memasuki hutan lagi. Karena gelap, saya nggak tahu hutan ini ‘bentuknya’ kayak gimana. Tapi jalannya sejenis dengan jalan di hutan Cemoro Kandang, nanjak naik gitulah. Untungnya, untuk muncak kita nggak perlu bawa carrier. Jadi nggak begitu berat trekingnya. Tenda dan carrier kami tinggal di camp di Kalimati (insyaallah aman), sedang untuk muncak kami hanya bawa ransel.
Di tengah jalan, kami menemukan sebuah tempat dengan tenda-tenda. Nah, ini camp terakhir sebelum menuju puncak. Arcopodo. Kalau mau, sebenernya bisa juga nge-camp di sini, bukan di Kalimati. Kebetulan waktu itu Kalimati juga lagi rame dan di Arcopodo lebih sepi. Tapi kami milih Kalimati aja.
Untuk jalur selanjutnya, siap-siap buka mata dan pikiran. Pasalnya, udah jalannya berteras-teras dan nanjak banget, banyak pohon-pohon besar yang tumbang nutupin jalan (kadang sampai bingung harus jalan ke mana), juga kanan-kiri yang sudah mulai jurang. Jurang beneran ini, dalem, dengan jalan setapak yang kami lalui yang lebarnya nggak seberapa. Jadi, hati-hati.
Menjelang memasuki zona pasir, rombongan kami istirahat sejenak. Sekitar 30 menit-an. Kami memanfaatkan kesempatan ini untuk istirahat sebaik-baiknya sebelum ‘maju tempur’ menuju puncak. Nyelonjorin kaki, minum, geletakan. Nggak lupa, lihat ke langit, yang kapan pun tetap keren dan indah dipandang.
Seperti biasa, langit biru gelap gagah membentang di atas kepala kami. Dihiasi beratus-ratus, beribu-ribu, bahkan berjuta-juta bintang yang gemerlapan. Besar dan kecil, berkelap-kelip. Membentuk kumpulan yang bagaikan supernova atau galaksi mini. Kalau lihat ke sekitar, yang ada siluet pepohonan. Kalau lihat ke kejauhan, yang ada kegelapan dengan siluet relief-relief permukaan bumi. Ditambah cahaya-cahaya lampu yang buanyak yang kemungkinan bersumber dari kota terdekat yang, herannya, masih kelihatan sampai tempat setinggi ini. Subhanallah....
Saking lamanya mendongak ngelihatin langit dan merem-melek menghayati pemandangan, saya sampai ditegur salah satu teman dari rombongan, “Jangan tidur lho ya!”. Yang lain pun ketawa dan alhasil mata saya langsung membuka.
Setelah ini, menuju puncak.
Jalur menuju puncak dibuka dengan jalur pasir campur tanah. Menjelang keluar dari hutan, ada beberapa tonggak-tonggak dari besi dan rantai yang tertancap. Warnanya hitam-kuning. Tonggak ini untuk menandai jalur yang benar menuju puncak. Setelah beberapa tonggakan lewat, sudah nggak ada penanda lagi. Dulunya, ada penanda alami, yaitu Cemoro Tunggal. Cemoro Tunggal adalah sebuah pohon cemara yang berdiri sendirian di antara pasir, sebagai penanda kita ada di jalur yang benar. Tapi saat itu, saya udah nggak nemuin lagi. Kabarnya, udah mati kena lahar.
Oh iya, sebelum naik, sebaiknya jalur disimpan di GPS. Soalnya Semeru itu kan pegunungan. Nah, kalau kita melenceng dikiit aja dari jalur waktu turun dari puncak, bisa-bisa kita turunnya di salah satu gunung Pegunungan Tengger, bukan turun di Arcopodo atau Kalimati.
Seperti yang sudah saya sebutkan di awal, jalur menuju puncak adalah pasir. Kenapa pasir dan bukan tanah? Karena tanah dan batu di puncak Semeru sudah sering terkena panas dari batuan atau lahar yang keluar dari kawah Jonggring Saloka, jadinya lapuk dan jadi pasir semua. Pasir ini juga bukan pasir yang liat sehingga mudah diinjak, tapi lebih mirip pasir sirtu yang digunakan untuk membangun rumah. Jadi saat diinjak, pasir itu melorot turun dan otomatis juga membawa langkah kaki kita turun. Bener deh kata para senior saya, “Naik ke puncak Semeru itu satu langkah naik dua langkah turun”. Untungnya, antara pendaki satu dan lain (meski nggak saling kenal), kalau lihat ada yang berhenti, langsung disemangati :D
Selain pasir, di sini juga ada banyak batu, besar dan kecil. Nah, kalau biasanya di gunung lain batu-batu ini bisa dipercaya sebagai pijakan, jangan harap di sini juga sama. Di Semeru, batu segede apapun kalau diinjak, ya tetep aja jatuh. Soalnya nggak membenam di tanah. Malah kadang, sesuatu yang nampak seperti batu yang bisa dipakai pegangan sebenarnya adalah pasir. Bentuknya kaku, memang. Tapi begitu dipegang, langsung berjatuhan jadi pasir. Mirip dengan pasir yang basah lalu membentuk saat kena panas.
Yah, kalau dibilang, jalur berpasir inilah yang paling ‘makan hati’. Udah medannya pasir jadi sulit naik, kanan-kiri udah jurang tempat mengalirnya lava. Dan juga, jalur pasir ini ‘menipu’. Waktu malam, kelihatannya cahaya-cahaya senter di atas itu cahaya senter orang yang udah muncak. Ternyata, mereka juga masih di jalan, boook!
Butuh waktu 5 jam bagi tim kami untuk sampai ke puncak dengan sisa-sisa tenaga yang ada. Keindahan alam saat matahari terbit dan matahari sudah terbit sepenuhnya nggak bisa sepenuhnya saya hayati karena target menuju puncak belum tercapai padahal matahari sudah tinggi. Dan perlu dicatat, sekitar pukul 10.00 WIB atau 11.00 WIB dan seterusnya, angin berhembus ke arah utara, arah track kami, menghembuskan gas beracun dari kawah Jonggring Saloka. Makanya, pukul 10.00 WIB ke atas, pendaki dilarang muncak. Tiap orang yang mendaki Semeru harus tahu hal ini, karena kalau nggak, bisa aja berakhir seperti Soe Hok Gie dan Idhan Lubis (mahasiswa Pecinta Alam dari UI) yang meninggal di Semeru pada 6 Desember 1969.
Sebenarnya puncak sudah nggak lama (kalau dibandingin waktu yang kami habiskan untuk mencapai titik di mana kami berdiri sekarang). Tapi ketakutan saya akan gas beracun muncul saat saya melihat jam tangan yang sudah menunjuk hampir pukul 7. Pikir saya, belum waktu turunnya nanti butuh beberapa jam. Akhirnya saya sampaikan kekhawatiran saya kepada Nauval sebagai ketua tim bahwa saya ingin turun jika waktunya emang nggak mungkin. Tapi mbak Lisa berpendapat bahwa puncak tinggal sebentar lagi, eman kalau nggak sekalian muncak. Terbagi dalam 2 kubu, akhirnya Nauval memutuskan kalau jam 8 kami belum muncak, kami mending turun.
Kami pun melanjutkan perjalanan. Dasar mental udah down, saya berjalan pendek-pendek. Itu pun harus dibujuk Nauval bahwa saya boleh break down sebentar di batu besar yang bentuknya seperti unta. Saat saya sampai di batu berbentuk unta, istirahat sebentar, lalu jalan lagi pendek-pendek. Saya sampe mikir, “Kok nggak sampe-sampe sih?” dan kadar down saya pun bertambah.
Tapi seketika itu juga Nauval bertemu pendaki dari Surabaya yang mau turun. Nauval bertanya berapa lama waktu menuju puncak. Pendaki sipit berambut agak gondrong itu menjawab, “Cuma 15 menit dari sini, Mas”. Apaaa??? Dan seketika itu juga semangat saya langsung naik drastis. 15 menit dibandingkan 5 jam bukan apa-apa! Langsung aja tancap gas, menyusul mbak Lisa yang udah jauh di depan.
Alhamdulillaaaaaaah!!!!! Akhirnya kami sampai juga di puncak. Yang sampai pertama adalah mbak Lisa, disusul Nauval, lalu saya. Senengnya minta ampun, meskipun cuapek banget. Mbak Lisa dan Nauval langsung mendirikan shalat di sana, sedang saya melihat-lihat sekeliling.
Cukup banyak juga orang yang masih di sini. Ada rombongan kami mendaki semalam, ada juga rombongan yang mendirikan tenda dome untuk persiapan pernikahan. Puncak ini cukup luas, dengan plang bertulisan ‘Puncak’ di tengah-tengah. Tanahnya pasir, tapi padat. Dari matahari muncul sampai sekarang, cuacanya cerah dan tentu aja panas karena nggak ada tumbuhan satu pun. Dari puncak, yang terlihat adalah relief-relief bumi yang bervariasi. Mulai dari datar sampai bergunung-gunung. Konon katanya dari sini bisa ngelihat laut. Tapi waktu itu, saya nggak lihat. Yang saya lihat cuma gumpalan awan putih yang nampak seperti kapas di segala penjuru. Di sisi selatan, terlihat puncak lain Semeru, Jonggring Saloka.
Yup, Semeru memiliki 2 puncak, yakni puncak Mahameru yang merupakan puncak tertinggi (3676 mdpl) dan puncak Jonggring Saloka yang ada kawahnya. Kawah ini meletus tiap 15 menit. Tapi, pendaki dilarang berkunjung ke puncak yang satu ini karena ya ada gas beracunnya tadi.
Di puncak, kami bergabung dengan rombongan kembali. Bagi-bagi jajan dan foto-foto bersama. Sudah menjadi tradisi SMALAPALA, saat mencapai puncak gunung atau tebing, harus berfoto dengan bendera SMALAPALA dan merah-putih. Sayangnya, foto kami bertiga memegang bendera SMALAPALA dan merah-putih, setelah dicek di Ranu Pani, ternyata nggak ada entah kenapa :’(
Sejam di puncak, kami pun turun. Kalau perjalanan turun ini lebih cepat, cuma makan waktu 2 jam. Tapi ya itu, karena saat turun sepatu harus bergesekan dengan batu-batu, maka sepatu mbak Lisa dan saya pun sobeklah. Nggak apa deh, hitung-hitung sebagai kenang-kenangan J
Tengah hari, kami sampai di camp Kalimati. Saya dan mbak Lisa packing dan istirahat, sedang Nauval pergi mengambil air di Sumber Mani yang berjarak 2 jam pulang-pergi dari Kalimati.
Setelah semua barang sudah dipacking beres, pukul 14.00 WIB kami dan rombongan pun pulang, kembali ke Ranu Kumbolo, tempat para ST (Support Team) menunggu kami.
Melewati Cemoro Kandang, Oro-Oro Ombo, dan Tanjakan Cinta dalam perjalanan pulang hanya membutuhkan waktu 3 jam. Oh iya, waktu akan keluar dari Cemoro Kandang, kami bertemu lagi dengan mas-mas kribo, juga Melani beserta teman-temannya. Merekalah yang kami mintai tolong untuk mengambil foto kami bertiga.
Pukul 17.00 WIB kami sampai di Ranu Kumbolo. Langsung disambut oleh ST dan juga pendaki-pendaki lain (bahkan sampai dikasih teh hangat dan biskuit segala, terima kasih J J J). Kami habiskan mie yang dibikinin ST karena emang lapar, meskipun ST berjanji mau bikinin kami nasi goreng saat kami turun.
Setelah beres-beres, kami pun melanjutkan perjalanan ke Ranu Pani. Treking kali ini dipimpin Afi. Perjalanan malam oey! Tapi tetep aja jalurnya rame karena masih banyak pendaki yang lewat menuju Ranu Kumbolo. Gelap, jelas. Tapi hawa dingin nggak kerasa karena kami terus berjalan. Kerasanya waktu kami istirahat di pos. Brrr, dingin!
Oh iya, ada kejadian unik yang terjadi saat treking malam ini. Di perjalanan antara entah pos berapa ke pos berapa, Afi berhenti tiba-tiba. Ternyata di depannya ada seekor anak babi hutan. Mbak Mela berseru-seru ketakutan. Aneh, saya kok nggak lihat? Padahal posisi saya ada di belakang Afi persis. Waktu Afi berusaha menghalaunya, saya melongok-longok ke depan. Tapi tetap aja, nggak kelihatan. Kata mas Doni sih karena, “Kamu kalau treking lihat bawah terus sih!”.
Setelah melewati pos 1, kami makin bersemangat. Udah dekat soalnya. Apalagi saat menemui jalan berpaving, wah, tambah semangat. Begitu keluar hutan dan di depan kami yang terlihat adalah perkebunan penduduk, kami pun berucap syukur.
Kami pun kembali ke pondok pendaki di Ranu Pani. Setelah ganti baju, bersih-bersih, dan beres-beres, kami pun melakukan evaluasi. Sial, saat evaluasi saya dan Nauval tertidur dan akhirnya harus push up 3 seri sebagai konsekuensi. Kelar evaluasi, gelar sleeping bag, dan ... good night everyone! Kami pun kembali ke peradaban.
HARI KELIMA: SELASA, 21 JUNI 2011
Kami bangun pagi dan shalat. Tidak ada yang mandi kecuali mas Doni, karena hawanya dingin banget. Setelah menghabiskan beberapa saat meng-zombie, kami pun memasak sarapan. Kali ini kami berusaha menghabiskan persediaan makanan yang ada. Jadilah kami makan mie dengan beberapa topping, juga sup merah yang hanya berbahan sosis dan air serta bumbu nasi goreng yang ternyata enak juga.
Setelah itu, kami pun beres-beres secepat mungkin. Soalnya, jeep yang menjemput kami akan datang pukul 11.00 WIB. Setelah semua barang masuk ke dalam carrier, kami pun berpamitan pada pak Hambali dan turun ke pos perizinan, menunggu jeep.
......................
Tapi malesnya, pukul 11.00 WIB lewat, jeep belum juga datang. Mas Wisnu mencoba menghubungi, tapi berkali-kali gagal. Akhirnya berhasil juga sih. Dan jawaban pak jeep-nya adalah, dia lagi nyopirin bule ke Bromo. Aaarrggghhh! Akhirnya kami menghabiskan waktu untuk foto-foto. Mengabadikan Ranu Pani dan kebun-kebunnya. Memuas-muaskan diri sebelum kembali ke Surabaya.
Sambil menunggu, saya mengamati keadaan (halah!). Berjalan-jalan nggak jelas kesana-kemari, ngelihatin papan vandalisme, ngebaca papan larangan dan hal-hal terkait Semeru di papan pos perizinan, tidur sejenak di bangku sambil ngelihatin penduduk yang lalu-lalang dengan motornya, ngelihatin teman sependakian dari Jember yang akhirnya balik ke kotanya dengan motor, ngelihatin truk yang selalu penuh bawa hasil panen. Sebuah kenikmatan tersendiri, ngelihatin doang apa yang ada di depan kita tanpa melakukan apa-apa (bengong mode: on).
Yang bikin saya heran, truk sayuran tadi itu bermuatan penuh. Kalau dijual di kota, kan lumayan itu. Tapi kenapa penduduk di sini kelihatannya nggak makmur-makmur banget? Yah, jawabannya langsung ketemu. Karena mereka jual panennya ke tengkulak yang notabene membeli dengan harga sangat murah. Ya gini ini nih, yang bikin kesenjangan sosial selalu ada dan negara nggak makmur-makmur. Nggak adil macam begini nih. Pft.
Hari sudah menjelang siang, lewat dhuhur. Rupanya, tiap tengah hari, kegiatan berkebun para penduduk selesai. Saya lihat, saat dhuhur, berduyun-duyun penduduk berjalan dari arah perkebunan ke rumah mereka. Baik yang sudah tua, dewasa, maupun anak-anak. Beberapa dari mereka memanggul kayu di punggung. Mungkin untuk kayu bakar.
Tapi jeep belum juga datang. Kelaparan namun malas masak, kami pun pergi ke warung di dekat situ.
Warungnya sederhana. Terbuat dari kayu dan dicat kuning. Samar-samar saya mencium bau kayu terbakar. Ternyata, di situ ada tungku untuk memasak dan bahan bakarnya dari kayu. Bukan maksud apa nih, tapi baru kali ini saya tahu masih ada yang memasak pakai kayu bakar.
Saya dan Nishock lalu memesan nasi goreng telur. Lalu menyusul Afi yang akhirnya ikut makan. Hebatnya hawa di gunung ya gini ini nih. Waktu itu kan kami pesan fanta dingin. Eh, kata ibunya, nggak pakai es pun fantanya udah dingin. Ckckck!
Kelar makan, kami kembali ke pos perizinan. Ternyata jeep belum datang juga! Sebel nungguin, kami (aku, Nishock, mbak Mela) akhirnya jalan-jalan ke Ranu Regulo, sebuah danau di dekat Ranu Pani yang nggak terlalu terkenal.
Jalan masuknya lewat jalan berpaving di depan pos perizinan. Jalannya jelas tapi sempit, cuma cukup buat motor. Dengan pemandangan hutan di sisi kiri dan Ranu Pani di sisi kanan. Nah, setelah ±200 meter berjalan, jalan akan bercabang dua: terus dan ke kiri. Untuk ke Ranu Regulo, kita ambil jalan yang terus. Setelah beberapa ratus meter, tadaaa! Sampailah kami di Ranu Regulo.
Ranu Regulo tidak seluas Ranu Pani. Tapi di danau ini tidak terdapat alga. Bersih, walau airnya nggak bening, tapi bersih. Di tepi danau terdapat pondok kecil dari bambu yang udah nggak terawat. Juga ada 2 papan vandalisme. Danau ini sepi banget. Waktu itu, pengunjungnya cuma kami. Tapi meskipun sepi, duduk di jembatan yang menjorok ke danau dengan teman-teman adalah kedamaian tersendiri.
Kami tidak berlama-lama di sini karena khawatir jeep sudah datang. Tapi ternyata, di tengah jalan kami bertemu dengan Nauval yang bilang bahwa jeep belum datang. Ya sudahlah.
Kami menunggu lagi di pos perizinan.
Pukul 15.00 WIB, jeep yang kami tunggu-tunggu pun tiba. Kami segera menaikkan carrier dan meloncat ke atas jeep terbuka itu.
Ternyata jeep terbuka berisiko juga. Waktu kami melewati jalan yang berdebu, otomatis debunya nempel semua di badan kami. Bahkan rambut mas Wisnu dan Nauval sampai kuning kena debu *ngakak*
Menjelang maghrib sampailah kami di Tumpang. Kami lalu menunggu bemo TA untuk mengangkut kami ke Arjosari. Sambil menunggu, kali ini kami beli jemblem karena saat itu kami yang belum pernah makan jemblem penasaran. FYI, jemblem adalah kue gorengan berbentuk bulat yang terbuat dari ketela yang dalamnya berisi cairan manis. Di dalam bemo, jemblem itu kami makan.
Nggak lama, sampailah kami di terminal Arjosari. Langsung cari bus dan duduk. Kami habiskan perjalanan ke Surabaya dengan tidur. Ketika sampai di terminal Bungurasih, kami naik colt ke sekolah, yang lalu dioper naik bemo. Pukul 20.00 WIB, sampailah kami di sekolah yang sepi, disambut para senior. Setelah masing-masing orang jemputannya sudah datang, kami pun pulang ke rumah masing-masing, dengan tetap membiarkan kenangan akan Semeru di ingatan.
Alhamdulillah...
“Mahameru itu bukan sekedar perjalanan sepasang kaki,
tapi juga perjalanan sebuah hati”
Speechless Sabrince...
BalasHapusNguiri pol aku. Pingin bisa ke sana... :(