Hijaubiru

Jumat, 24 Januari 2025

Bioakumulator
Januari 24, 20250 Comments

Bioakumulator secara sederhana punya arti organisme yang bisa mengumpulkan suatu zat tertentu dalam tubuhnya. Organisme ini bisa berupa hewan atau tumbuhan. Zat yang bisa mereka kumpulkan ini bermacam-macam dan biasanya merujuk pada zat-zat beracun atau merusak yang terdapat dalam lingkungan. Contohnya logam berat, pestisida, senyawa radioaktif, dsb.

 

Ngomong-ngomong, postingan bertajuk bioakumulator ini terpantik karena ngelihat suatu share-share-an di medsos yang mengajak berhati-hati supaya nggak banyak-banyak makan kerang karena merupakan bioakumulator logam berat. Posting-annya sendiri biasa aja sebenarnya, yang menggelitik adalah beberapa respons dan komentar yang (menurut saya) berlebihan. Beberapa di antaranya panik karena pernah makan kerang, beberapa menyatakan nggak akan pernah makan kerang lagi.

 

Respons yang cukup... ekstrem. Di satu sisi, saya paham bahwa pada beberapa kalangan, artikel atau posting-an senada akan ditanggapi dengan reaktif atau drastis karena merupakan topik yang kurang familiar bagi masyarakat.

 

Oke, balik ke bioakumulator. Pada dasarnya, beberapa tumbuhan dan hewan bisa menjadi bioakumulator. Bahkan tumbuhan/hewan yang buat kita umum banget. Contohnya adalah kerang hijau dan kerang darah yang bisa menyerap logam berat. Contoh rada ekstrem adalah bunga matahari (iya, bunga yang kece abis itu) yang bisa menyerap cemaran limbah radioaktif. 

 

Hewan/tumbuhan bioakumulator ini sudah jamak digunakan sebagai agen bioremediasi. Maksudnya gimana? Hewan/tumbuhan ini bisa dipakai untuk mengatasi cemaran polusi yang ada di lingkungan (remediasi). Contohnya penanaman jenis pohon tertentu untuk mengatasi pencemaran tanah akibat aktivitas pertambangan. Beberapa di antaranya malah menggunakan tumbuhan yang kelihatannya ‘remeh’ seperti rumput dsb; karena mereka ini adalah organisme perintis yang bisa hidup di lingkungan ekstrem/tercemar (tentang tumbuhan perintis bisa dibaca ðŸ”— di sini).

 

Lalu gimana, apakah artinya hewan/tumbuhan itu nggak boleh dimakan?

Tergantung.


Sebab semua yang bisa jadi bioakumulator tidak lantas otomatis menjadi tidak layak konsumsi.

 


Supaya gampang, kita pakai contoh kerang tadi aja.

Betul bahwa kerang bisa jadi bioakumulator logam. Dia menyerap logam berat yang jika kerangnya kita makan, maka logam berat itu akan masuk ke tubuh thus membahayakan kesehatan kita. Namun bukan berarti semua kerang lalu berbahaya dimakan. Kalau kerangnya hidup di lingkungan yang tercemar, tentu bahaya bila dikonsumsi. Kalau kerangnya hidup di lingkungan yang baik, ya aman-aman aja untuk kita makan. Mengapa? Karena kan lingkungannya bersih, nggak ada cemaran logam berat; sehingga kerang itu nggak menyerap logam (karena nggak tersedia). Hal yang sama juga berlaku pada hewan/tumbuhan lainnya.

 

Soal mau tetap mengonsumsi atau enggak, itu pilihan pribadi. Namun ada baiknya untuk mengingat bahwa kalau sama sekali nggak mau mengonsumsi hewan/tumbuhan yang bisa menyerap polutan (bukan sudah menyerap), wah... ini banyak dan panjang banget daftarnya. Bisa-bisa pola makannya lebih strict daripada orang yang sedang diet mati-matian karena daging/sayur yang umum pun bisa jadi bioakumulator. Kangkung aja bisa. 


(Of course, penghindaran sama sekali ini bisa dipahami kalau ada kondisi tubuh tertentu. Misal alergi, punya badan yang rentan sakit, sedang hamil, dan semacamnya.)

 

Intinya tergantung pada tercemar/enggaknya tempat tumbuh mereka.


Mungkin ibarat tisu.

Tisu bisa menyerap zat cair. Tisu bisa nyerap air bersih, tapi juga bisa nyerap air kencing. Tisu yang ketetesan air bersih tentu aman-aman aja kita pegang biasa, tapi tisu yang ketetesan air kencing tentu kotor kalau dipegang tangan telanjang. Namun apa itu artinya semua tisu pasti kotor? Kan enggak. Secara default, biasa aja; kemudian tergantung dia menyerap zat apa.

 

Itulah mengapa di beberapa tempat yang emang berfungsi untuk bioremediasi atau sedang di-bioremediasi, tumbuhannya dilarang diambil apalagi untuk dikonsumsi. Selain supaya nggak ganggu proses remediasi (dan nggak ngambil yang bukan miliknya), karena alasan kesehatan juga. Misalnya di lahan bekas tambang atau lahan dekat pabrik.

 

Saya nggak lihat sendiri, sih, cuma pernah dengar dari cerita teman. Ada pabrik yang menyediakan lahan khusus untuk remediasi limbahnya. Di lahan itu ditanami beberapa pohon dan semak, terus dikasih papan “dilarang mengambil” dan semacamnya. Tujuannya ya supaya tumbuhan di situ nggak diambil (baik dimakan atau diambil kayunya untuk furnitur), karena kan mereka memang ‘bertugas’ menyerap polutan. Kalau diambil, polutannya nggak terolah dengan baik dan orang yang ngambil bisa terpapar cemarannya.

 

Polutannya sendiri juga bervariasi. Tumbuhan/hewan A bisa nyerap logam/polutan X, belum tentu tumbuhan/hewan B bisa juga. Bahkan jika mereka berkerabat. Misalnya, kerang darah bisa nyerap kadmium (jenis logam berat). Tapi kerang bambu, meski sama-sama jenis kerang, belum tentu nyerap itu juga.

 

Ini baru jenis polutannya/pencemarnya, belum lagi ‘ketersediaan’ polutan itu sendiri (ada dalam bentuk ‘tersedia’ atau siap diserap organisme atau nggak). Beda ‘bentuk’ udah menentukan bakal diserap atau enggak meski ‘intinya’ sama. Misal, organisme A bisa nyerap besi yang bentuknya Fe2+ aja, tapi nggak bisa nyerap Fe3+. Jadi misal di lingkungannya banyak besi Fe3+, si A nggak akan nyerap itu besi. (Ini misalnya, ya. Kalau yang betulan saya nggak hafal apa aja reaksi kimianya, wkwkwk). Supaya bisa diserap si A, polutannya harus berubah dulu jadi Fe2+.

 

Hubungan bioakumulator dan polutan ini seringkali spesifik, kadang jadi pembatas untuk bioremediasi. Pathway alias alur metabolisme tiap senyawa dan tiap organisme pun bisa beda-beda. Kalau diingat-ingat, lumayan ribet dan bikin mumet, hahaha. Tapi asyik kalau udah kadung dikulik (meski tetap mumet juga, wkwkwk).

 

Postingan ini nggak bermaksud untuk menegasikan bahaya polutan yang masuk ke sumber makanan, tapi ngasih gambaran aja supaya nggak memukul rata kejadian-kejadian yang sekilas tampak mirip. Kalau makanan kena cemaran, gimana-gimana juga tetap bahaya; dan kita memang harus hati-hati dan kritis tentang makanan yang masuk ke tubuh kita.


Reading Time:

Jumat, 17 Januari 2025

Makanan Khas Jawa Timur: Rawon
Januari 17, 20250 Comments


Kalau ada teman yang sedang berkunjung ke Jatim dan nanya ke saya,
"Makanan apa yang kudu dicobain di sini?"
maka 
rawon pasti jadi salah satu hidangan di antara deretan makanan khas Jatim lainnya yang saya rekomendasikan. Namun sebelumnya saya pastikan lagi ke yang bersangkutan,
"Kamu kalau makan rada
adventurous, nggak?"

 

Bukan apa-apa, tapi kadang rawon cukup 'menantang' buat yang pertama nyobain. Bukan rasanya, tapi lebih ke tampilannya. Kuah hitam-coklat dengan potongan daging berwarna senada itu cukup menimbulkan tanda tanya karena beda banget dari tampilan makanan pada umumnya. Beberapa kali saya ketemu orang yang nggak makan rawon karena nggak selera duluan ngelihat bentukannya.


(Sementara baru kemarin saya habis dua piring sekali makan...)

 

Jadi, gimana rasa rawon?

Asin dan gurih, khas citarasa makanan dari Jawa Timur. Rawon terdiri dari kuah, potongan daging sapi, dan kecambah pendek. Kecambah pendek ini nambahin tekstur crunchy dan rasa segar karena dia mentah (jangan diganti kecambah panjang atau kecambah direbus! Aneh banget nanti). Biasanya ditambahkan juga sambal, bawang goreng, telur asin, atau kerupuk (bisa putih atau kerupuk udang).

 

Semua komponen di atas rasanya gurih banget. Jadi bisa dibayangin seberapa gurih kalau dikombinasikan dalam satu  masakan. Kalau kata orang sekarang mungkin, "Umami-nya kerasa banget." Meski dominan asin-gurih, rasa rawon tetap balance. Maksudnya bukan yang asin banget gitu, tapi seimbang. Ada manisnya, tapi dikit banget.

 

Kuah rawon yang warnanya hitam itu terbuat dari kaldu daging sapi yang diberi bumbu rempah-rempah. Saya nggak hafal bumbunya apa aja karena banyak, lumayan kompleks. Dan ternyata tiap daerah atau bahkan tiap keluarga resepnya bisa rada beda. Namun, komposisi utamanya tetap sama.

 

Satu hal yang orang Jatim setuju: rawon itu warnanya harus hitam. Kalau nggak hitam, namanya bukan rawon. Awalnya saya heran, "Emang ada rawon yang nggak hitam?" Sampai kemudian seorang teman yang merantau ke Jakarta bercerita kalau dia pernah nemu rawon yang warnanya kuning.

 

Like... whaaat?

 

"Iya beneran, aku nunjuk makanannya terus ibu yang jual bilang jelas kalau itu rawon," katanya saat saya menyangsikan ceritanya, berpikir kalau ia salah dengar.


"Terus kon tuku?" (Lalu kamu beli?)

"Gaklah! Rawon opo kok gak ireng. Yok opo iku engkok rasane, lak gak mantep." (Nggaklah! Rawon apa kok nggak hitam. Gimana nanti rasanya, pasti nggak mantap)

 

Seperti dia dan sebagian besar warga Jatim lainnya, saya juga menganut konsep bahwa rawon harus hitam. Pasalnya, kemantapan rasanya ini bergantung pada 'si pemberi warna hitam' pada rawon, yakni kluwek.

 

 

Kluwek/Keluak, Bumbu Utama Rawon

Kluwek/kluwak (Wikimedia Commons Image). Bagian hitamnya itu yang dipakai untuk bumbu masakan

Orang Jawa menyebutnya 'kluwek/keluwek', Kamus Besar Bahasa Indonesia mengejanya 'keluak'. Kluwek adalah buah dari sebuah pohon tinggi berkayu, Pangium edule. Orang Sunda menyebutnya pucung atau picung. Orang lain ada yang menyebutnya buah kepayang.

 

Konon istilah 'mabuk kepayang' berasal dari buah kepayang/kluwek ini. Buah kluwek yang dimakan mentah tanpa diolah bisa menimbulkan mabuk/teler atau gejala keracunan. Hal ini karena buahnya memang mengandung racun. Jadi, sebelum dikonsumsi memang harus diproses dulu supaya racunnya hilang.

 

Prosesnya seperti apa?

Saya sendiri kurang tahu persisnya, tapi yang jelas ada proses fermentasi di sana. Kayaknya terjadi alami; maksudnya tanpa nambahin starter atau semacamnya. Yang saya tahu hanyalah: ada proses pendiaman selama beberapa hari, pemasakan, perebusan, lalu entah apa lagi.

 

Buah yang 'sudah jadi' bisa dibelah dan isinya berupa 'daging buah' yang relatif empuk dan berwarna hitam. Warna hitam dari kluwek inilah yang membuat kuah rawon jadi hitam.

 

(By the way, soal asal-usul istilah mabuk kepayang punya beberapa versi. Penjelasan di atas cuma salah satunya. Ada lagi versi menarik lainnya tentang daerah bernama mirip di Pulau Sumatra, yang nanti nyambung ke buah ini juga.)

 

Lalu gimana dengan dagingnya, apa hitam karena kluwek juga?

 

 

Rawon dan Daging Rawonan

Ada dua versi penyajian daging dalam rawon: dimasak sekalian dalam kuahnya atau dijadikan empal. Untuk yang empal, kayaknya warna hitamnya bukan dari kluwek karena setahu saya bumbu empal nggak ada kluweknya. Jadi mungkin ‘hitam’/cokelatnya karena bumbu lain dan proses penggorengan? Jika dagingnya dimasak sekaligus dalam kuah, maka warna hitamnya jelas dari kluwek di kuah.

 

Ngomong-ngomong soal daging, ada istilah ‘daging rawonan’. Entah di daerah lain, tapi di tempat saya, istilah ini nggak merujuk secara khusus pada daging yang digunakan untuk rawon. Daging rawonan adalah jenis daging yang nggak daging ‘aja’, alias ada gajih/lemaknya, jaringan lunak, dsb. Beda dengan empal yang tersusun atas daging aja (kalau di tempat saya istilahnya ‘daging bagus’/’daging apik’. Teksturnya mirip daging buat steak).

 

Daging rawonan ini juga bisa digunakan untuk rawon. Famili saya malah ada yang lebih suka makan rawon dengan daging rawonan, bukan daging ‘aja’. Lebih gurih dan mantap katanya. Kalau dirasa-rasain, memang iya. Mungkin karena lemak dsb-nya yang menempel kemudian luruh bercampur dengan kuah; beda dengan ‘daging aja’ yang nggak berlemak.

 

Saya jadi kepikir, apa masakan ‘rawon’ kuning itu asal mulanya dari daging rawonan ini? Karena daging yang dipakai (kelihatannya) adalah daging jenis rawonan, sehingga nyebut daging yang dikuahin itu jadi rawon? Entahlah.

 

 

Rawon Instan

Ketika merantau, rawon adalah salah satu makanan yang saya kangenin karena susah banget nemunya di luar Jatim. Ada, sih, beberapa tempat makan yang nyediain rawon (karena emang jual makanan khas Jatim). Alhamdulillah kalau nemu yang mantap, apes aja kalau nemu yang enggak. Mana harganya di luar Jatim relatif mahal, lagi. Dan dagingnya sedikit, hiks.

 

Akhirnya beberapa kali saya ngide bikin sendiri. Namun karena bumbunya banyak, kompleks, dan makan waktu apalagi saya masak buat seorang aja, saya pun memilih pakai bumbu instan. Pilihan saya jatuh pada bumbu instan Bamboe yang bentuknya pasta. Dirasa-rasa, kayaknya itu yang paling mendekati rasa rawon buatan rumah (meski ya tetap beda).

 

Intermezzo dikit, entah kenapa bumbu instan yang bentuknya pasta (bumbu basah) pasti lebih mantap daripada yang bentuknya bubuk. Mau rawon, soto lamongan, kare, gule, dsb.

 

Balik ke rawon. Apa pakai bumbu instan sudah cukup? Sayangnya belum. Kalau menurut saya, rasanya udah mirip tapi masih kurang medok. Kayaknya emang masih harus ditambahin rempah-rempah lagi supaya lebih mantap. Namun kalau baru pengin coba, bisalah dipakai. Jika mau agak lebih mantap, airnya pakai kaldu betulan dan tambahan sereh.

 

 

Jadi gimana, setelah ini apakah tertarik coba rawon? Atau malah udah pernah?

 

(Ngomong-ngomong soal rawon, saya jadi keingat brongkos. Makanan khas Yogya ini warnanya rada mirip rawon; cokelat kehitaman. Tapi rasanya beda jauh; manis pol. Waktu pertama makan brongkos, saya kira rasanya bakal kayak rawon. Kagetlah ini lidah saat di suapan pertama.

Reading Time:

Selasa, 31 Desember 2024

Foraging - Meramban
Desember 31, 2024 2 Comments



Apa yang terlewat di pikiran ketika mendengar kata “akhir tahun”? Hujan, liburan, tutup buku, atau yang lain? Hujan jadi hal pertama yang hinggap di pikiran saya, foraging jadi hal kedua.

 

Menjelang akhir tahun dan bulan-bulan hujan, postingan dan foto-foto bertema mendung dan foraging selalu muncul di explore page medsos saya. Biasanya bermula dari foto-foto jamur edible yang mulai bermunculan di alam liar. Di sini, kemunculan jamur adalah salah satu penanda bahwa musim hujan sudah benar-benar datang. Di negara empat musim—menilik dari caption orang-orang aja, sih, haha—sepertinya ia juga jadi penanda datangnya musim gugur sekaligus musim panen.

 

Apa hubungannya jamur dan foraging? Salah satu kegiatan foraging yang sering mampir ke beranda saya adalah foto-foto jamur liar atau postingan orang-orang yang memetiknya untuk dimakan. Nggak cuma jamur sebenarnya, kadang juga buah atau sayur liar. Nggak dilakukan di musim hujan/autumn juga sebetulnya, sepanjang musim juga bisa. Hanya saja nggak tahu kenapa konten foraging lebih menjamur saat masuk musim gugur atau musim semi.

 

Pernah lihat film kartun, ketika tokohnya kemping di hutan kemudian metik beri liar untuk dimakan? Yup, semacam itulah yang namanya foraging/meramban.

 


 DAFTAR ISI 



 
Peringatan:
Sebelum memutuskan untuk foraging atau mengonsumsi hasil foraging, harap hati-hati banget. Kalau ragu, nggak yakin, atau nggak cukup tahu lebih baik nggak usah dimakan karena salah konsumsi bisa fatal.

==========



Apa Itu 'Foraging' atau 'Meramban'?

Ada macam-macam makna dari dua kata ini. Namun saya nangkepnya gini: kegiatan memetik(?) jamur, buah, atau sayuran liar yang edible alias aman dikonsumsi manusia. Tentu edible ini ada kriterianya dan kita harus hati-hati kalau mau metik/konsumsi. Jangan sampai lalu keracunan atau kehilangan nyawa. (Beberapa contoh dan ciri tumbuhan edible ada nanti di bawah).

 

Kalau mau arti yang lebih definitif, ini dia dari kamus:

  • 'meramban' menurut KBBI:

mencari daun-daunan yang muda untuk makanan kambing dan sebagainya; mencari daun-daunan yang muda untuk sayuran; (satu lagi tentang internet)

  • 'foraging' menurut Kamus Oxford, Merriam Webster, Cambridge:

(asal kata: forage) to search widely for food

the act of foraging, to strip of provisions

to go from place to place searching for things that you can eat or use


Arti dalam bahasa Inggris ini kayaknya nggak terbatas pada meramban di alam aja tapi juga mencari makanan di mana pun, termasuk di jalanan. Jadi artinya lebih luas, pun pelakunya nggak cuma manusia. Namun di bahasan ini, konteksnya secara istilah foraging sumber daya alam dari alam aja.

 

Pun dalam KBBI, secara definitif memang nyari daun untuk pakan kambing atau cari sayuran aja. Namun secara penggunaan (apa sebutannya secara bahasa, ‘makna secara istilah’?) nggak hanya untuk pakan kambing, tapi juga manusia. Plus, nggak hanya sayur aja.

 

Apakah foraging dan meramban itu sama?

Iya, satunya bahasa Inggris, satunya bahasa Indonesia. Versi Indonesia ini kayaknya serapan dari bahasa Jawa karena sering dengar orang-orang di sekitar saya bilang mau ngramban.

 

Meski kesannya foraging ini dilakukan di alam liar, tapi nggak harus di alam yang liar-liar banget macam hutan atau pegunungan. Di barongan (istilah Jawa untuk lahan yang penuh semak dan pohon tanpa ditata), di kebun, di halaman, atau di tanah terlantar. Asal itu bukan tumbuhan/jamur yang  sengaja ditanam. Tapi ada juga yang berpendapat tumbuhan/jamur yang sengaja ditanam juga bisa, tapi bukan yang perawatannya intensif banget seperti di pertanian.


Buah dan bunga wijayakusuma. Bunganya biasa ditanam untuk tanaman hias. Buahnya bisa dimakan (edible). Masih keluarga buah naga.

 - NB: klik gambar untuk tampilan yang lebih jelas dan tajam. Nggak tahu kenapa kalau tampilan biasa gambarnya jadi kelihatan kurang tajam dan ukurannya ketarik/dikecilin dari gambar aslinya. -


Foto-foto yang sering beredar di medsos saya menunjukkan orang-orang yang nemu serta metikin jamur di pinggiran hutan, buah beri liar yang warnanya mencolok, atau daun bawang liar yang harum di tepi jalan asri. Warna-warni (dan asyik) banget kelihatannya, cakep! Kebetulan foto-fotonya dari negara empat musim.


Saat ngelihat itu jadi ngebatin,

"Wah, asyik ya bisa metik-metik di dekat rumah. Asyik ya, tiap ganti musim, sayur/beri/jamurnya ganti thus ada vibes yang khas tiap ganti musim."

Lalu kepikir,

"Di Indonesia, kok, kayaknya nggak ada, ya?"

 

Weits, pikiran itu langsung terbantahkan dengan apa yang saya dan orang-orang di sekitar saya pernah alami sendiri. Saya dan teman-teman pernah metik beri dan selada liar saat naik gunung (seladanya dibuat sandwich makan siang, beuh seger!). Para sepuh keluarga saya pernah cerita mereka ngramban rebung dan sayur lain di barongan di zaman duluuu. Beberapa famili (dan saya) sampai sekarang masih metikin daun yang tumbuh liar di halaman: daun singkong untuk dibumbu rendang, kenikir dan beluntas untuk urap-urap, telang untuk dibuat teh. Nggak sesering orang zaman dulu memang, tumbuhannya pun nggak banyak dan tumbuh seuprit aja, so yeah... not exactly wild lha wong pas di pinggir pagar.

 

Pendek kata, setelah browsing, nemu juga soal foraging di Indonesia. Setengahnya saya berterima kasih pada algoritma Instagram karena dari konten foraging luar negeri, kemudian dikasih konten foraging dalam negeri kemudian lanjut lihat-lihat akun serupa :D  

 

Ternyata jumlahnya lumayan juga, banyak. Saya akui foto/videonya kadang memang nggak seestetik konten luar, tapi udah lumayan. Mungkin menyesuaikan demografi? Tapi yang estetis pun ada beberapa.

 

Ternyata foraging alias meramban ini lumayan juga peminatnya, pun di Indonesia. Ada grup-grup Facebook yang isinya sharing foto jamur dan tumbuhan liar, baik yang edible ataupun untuk cari tahu identitas/namanya. Dari identitas kemudian bisa ditelusuri manfaatnya: bisa dimakan enggak, bisa dibuat obat tertentu nggak, dsb. Untuk yang suka tumbuhan atau botani aja tanpa foraging pun juga asik banget jadinya.

 

Jadi, ya... di negeri sendiri pun foraging alias meramban itu juga ada dan amat sering dilakukan. Apalagi di desa, yang memang dekat dengan alam. Takjub banget sama pengetahuan orang-orang yang sering meramban di pinggir kebun atau sawah: bisa tahu jamur/tumbuhan unik, sekali lihat dan nyentuh bisa langsung ngebedain jenisnya. Pengetahuan lokal yang menarik banget!

 

So, yes, saya ngerasa jarang ngelihat simply karena jarang ngelakuin dan tinggal di kota yang lebih banyak aspal dan betonnya daripada tanaman.

 

 

Kemiripan Foraging dan Survival Botani dalam Kepencintaalaman 

Lumut di hutan. Dalam kondisi darurat, lumut bisa digunakan sebagai sumber air (diperas sampai keluar airnya)


Saya mengenal foraging dari materi survival botani yang diberikan di diklat Pencinta Alam. Survival botani ini mengajari kita untuk mengenali ciri-ciri tumbuhan yang aman dimakan di alam. Buat apa, untuk coba-coba aja? Enggak, fungsinya untuk jaga-jaga kalau sampai kesasar saat berkegiatan dan logistik sudah menipis atau bahkan habis. Dengan memanfaatkan apa yang ada di sekitar, harapannya kita bisa tetap makan dan bertahan hingga kembali ke peradaban.

 

Survival botani jadi salah satu ilmu dasar yang sebaiknya dipahami sebelum berkegiatan di alam, macam naik gunung dan semacamnya. Ya dari dikasih materi inilah kemudian saya jadi kenal beberapa tumbuhan yang aman dimakan atau umum didapatkan di hutan, karena setelah diberi materi kemudian kami disuruh praktik langsung di hutan. (Lebih lengkap tentang survival botany bisa ðŸ”—dibaca di sini)


Jadi kalau dicari kemiripan antara foraging/meramban dan survival botani, keduanya seperti satu sisi mata pisau yang sama. Alias, dua-duanya sama; persis. Bedanya kalau survival botani kadang situasinya lebih darurat (namanya juga survival alias bertahan hidup). 

 

Pucuk bambu, umbut/ubi-ubian, tunas pakis, atau biji pohon tertentu, bisa banget dimakan. TAPI nggak semuanya bisa dimakan. Bahkan beri warna-warni yang di film kartun tinggal petik-petik lalu makan, nyatanya bisa jadi beracun. Luntur sudah fantasi kemping sambil metik beri-berian serantang karena kalau nemu beri yang diragukan, ya cuma dilihat dan difoto aja tapi nggak dimakan, hahaha.


Meski suka ngulik tentang foraging, tapi saya juga belum berani-berani amat makan tumbuhan yang saya temukan. Bahkan tumbuhan yang saya yakin pasti aman. Baru berani nyoba beberapa aja, hehe. Sama halnya kalau nemu arbei yang warnanya belum pernah saya temui.

 

Ketertarikan saya pada beri inilah yang menghubungkan antara survival botani dan foraging. Ketika tahu bahwa ada banyaaak banget jenis beri di negara empat musim (sebagian jenisnya bisa ðŸ”— dilihat di sini), jadi kepikir bahwa di Indonesia harusnya juga ada banyak jenis beri. Apalagi di alam liar. Apalagi kita di negara tropis yang tumbuhan relatif lebih gampang tumbuh.

 

Namun, selama naik gunung, saya dan teman-teman baru menjumpai beberapa jenis aja. Umumnya beri/arbei merah (Rubus sp.). Pernah, sih, nemu yang warnanya hitam dan kuning rada oranye (kayak cloudberry), tapi jarang. Dan bentuknya relatif itu-itu aja. Padahal harusnya banyak, kan?

 

Saya pun jadi cari tahu tentang macam-macam beri ini, juga tumbuhan tropis edible lainnya. Cara paling mudah adalah cari handbook atau field guide. Namun saat itu nggak nemu. Ada field guide, tapi semuanya untuk negara 4 musim. Nggak ada yang untuk tropis atau Indonesia, huhu. Ada pun isinya pendek dan relatif umum, di buku panduan Pencinta Alam organisasi sebagian udah ada.

 

Saya pun beralih ke field guide untuk botanis. Kalau cari-cari bukunya, bagus banget! Ilustrasinya warna-warni dan cakep! Isinya lebih umum memang, nggak mencakup tumbuhan yang edible aja. Jadi kita yang harus teliti-teliti membaca.

 

Contoh isi buku field guide atau panduan lapangan untuk tumbuhan


Pendek kata, nemu, sih. Namun namanya memang buku botani, sehingga fokusnya ya tumbuhannya sedangkan info tumbuhan edible-nya nggak banyak. (Anyway buku macam ini biasanya bisa ditemukan di perpus kampus.) Namun, again, yang banyak ditemui adalah seri untuk tumbuhan negara empat musim. *sigh

 

Saya pernah nanya apakah ada handbook untuk survival botany di Indonesia. Jawabannya memang nggak ada. Kenapa? Narasumber menjawab, karena tumbuhan di sini banyak banget. Pun, beda daerah, beda jenis tumbuhan. Beda daerah, beda pula nama lokalnya. Cukup menyulitkan untuk dijadikan buku. Jadi pengetahuan edible/enggak ini umumnya memang dari orang ke orang.

(Sekilas info! Sudah ada beberapa buku panduan atau kompilasi tumbuhan edible Indonesia yang terbit)

 

Okelah. Setelah browsing-browsing lagi, nemulah beberapa postingan tentang tumbuhan yang di-forage di Indonesia. Saya ikutin beberapa akun itu. Dari situlah kemudian saya tahu bahwa kata kunci yang saya pakai untuk cari foraging di Indonesia tampaknya kurang pas sehingga susah nemunya. Begitu saya pakai keyword ‘meramban’ dan semacamnya, hasil pencarian yang muncul jadi lebih variatif.

 

Nice! We’ve found the key!

 

Dari postingan orang, kemudian nemu grup dan komunitas. Kadang ada juga yang buka kelas foraging. Siapa pun bisa join. Di sana kita dikasih banyak banget contoh tumbuhan/jamur/buah/bunga liar yang edible. Jadi nyambung banget dengan materi survival botani.

 


Apa aja contoh tumbuhan/jamur liar edible?

  • cantigi/manisrejo (Vaccinium varingiaefolium) ðŸ † semak, banyak di dekat puncak gunung. Buahnya kayak blueberry, memang masih satu keluarga (tentang cantigi pernah ðŸ”— dibahas sedikit di sini )
  • daun dan bunga ketul (Bidens sp.) ðŸ † ini sering nemu banyak di pinggir jalan
  • daun pegagan air (Hydrocotile sp.) ðŸ † ini beda sama centella yang sering dipakai buat komposisi skincare itu
  • selada air ðŸ † banyak banget di Sunga Kolbu-nya savana Cikasur, G. Argopuro
  • buah galing/lakum (Cayratia trifolia🠆 pernah nemu di pekarangan, liar
  • buah lantana/tembelekan/saliara (Lantana sp.) ðŸ † sering dijual untuk tanaman hias, dulu sering lihat di hutan
  • jamur lot, jamur bulan, dsb (khusus jamur, saya belum berani nyoba makan karena risiko keracunannya sepertinya lebih tinggi daripada tumbuhan dan bentuknya mirip-mirip satu sama lain sehingga saya belum bisa ngebedain dengan pasti).
  • dsb.

 

Yang jelas, tumbuhan/jamur liar yang biasa dan bisa diramban di negara ini tuh nggak kalah banyak, variatif, dan warna-warni daripada tumbuhan/jamur yang di-forage di luar negeri. Saya percaya tiap daerah punya keunikan biodiversitas sendiri-sendiri. Yang ada di luar negeri belum tentu ada di sini, yang ada di sini juga nggak ada di luar negeri. Bedanya mungkin yang di luar lebih populer karena lebih terekspos di internet.

 

 

Meramban yang Menjadi Lifestyle

Autumn foraging basket  | Credit: Vladimir Srajber on Pexels

Ada satu hal yang belum saya sebut di atas. Selain awal kenal foraging dari survival botani, saya juga kenal dari... kanal Youtube. Tepatnya dari channel Liziqi. (Pernah dengar? Channel mbaknya kayaknya terkenal banget. Setelah bertahun-tahun vakum, bulan lalu akhirnya dia rilis video lagi! Yesss!)

 

Saat itu nemunya nggak sengaja. Waktu itu lagi senang-senangnya sama soundtrack film-film studio Ghibli. Waktu nyetel Youtube secara random, tayanglah video mbaknya yang pakai OST Ghibli. Saat itu saya nggak terlalu ngeh. Beberapa bulan (atau tahun?) berlalu, video itu kesetel lagi. Karena kali itu sedang pandemi, saya ngabisin waktu dengan Youtube-an. Setelah ngelihat isi kanalnya, saya pun makin jatuh cinta sama kontennya.

 

Liziqi nggak hanya berkebun, tapi juga foraging. Yang paling saya ingat adalah dia metik jamur liar di hutan dan bunga dari pohon (magnolia?) untuk dijadikan berbagai hidangan. Saya ngebatin, “Mbak ini kreatif banget!” Dialah salah satu sumber yang bikin saya tahu bunga-bunga apa aja yang ternyata edible (edible flowers), bahkan bisa dibuat manisan atau sirup. Foraging sudah menjadi salah satu lifestyle-nya. 

 

Terus apa hubungannya foraging dengan lifestyle?

Ada dua poin yang terpikir. Satu, gimana aktivitas foraging jadi sesuatu yang jadi ciri khas suatu musim dan mempengaruhi hidup manusia. Dua, gimana foraging mulai menghilang lalu kembali.

 

Soal ciri khas suatu musim ini, yang kebayang adalah vibes akhir tahun. Terutama tentang musim gugur. Mungkin ini karena algoritma medsos, sehingga rasanya autumn vibes—yang bahkan di sini nggak ada autumn, wkwkjadi terasa karena orang-orang di daerah empat musim banyak banget yang upload foto aktivitas autumn foraging-nya atau hasil rambanannya.

 

Di beberapa artikel disebut bahwa autumn foraging jadi kegiatan favorit dan populer di beberapa negara (daerah Nordik, kalau nggak salah) dan jadi kebiasaan tahunan. Nggak hanya autumn, spring atau summer juga ada. Kalau cari dengan kata kunci ‘(musim) foraging’, banyak banget muncul panduannya dan apa aja yang sedang musim/bisa dipetik.

 

Dua dari sekian macam arbei hutan/beri liar. Yang ini edible (Dua ini cuma saya foto, tapi pernah nyobain yang serupa di tempat lain, rasanya kecut segar)


Poin kedua, tentang ‘siklus’ foraging.

Di banyak video Liziqi dan konten kreator serupa, ada banyak komentar senada, yaitu ingin hidup metikin bahan makanan dari kebun dan hutan tapi nggak mungkin. Seperti mayoritas manusia sekarang, kita mendapat bahan makanan dari pasar.

 

Bukannya mendapat bahan makanan dari pasar/supermarket/semacamnya itu selalu buruk. Enggak, bisa juga bagus. Gaya hidup manusia toh selalu berubah; menyesuaikan keadaan dan mempermudah kebutuhan. Yang menarik bagi saya adalah betapa kehidupan dan kebiasaan umat manusia itu kadang seperti siklus yang berulang; yang dulu ada, lalu ditinggal, lalu balik dilakukan lagi.

 

Bingung, ya? (iya kalimatnya memang mbulet)

Sebagai ilustrasi, kayak gini:

Masih ingat istilah hunting and gathering? Ini istilah sering muncul di pelajaran Sejarah karena manusia awalnya cari makanan dengan cara ini, yaitu berburu dan metik dari alam. Inilah awal mula foraging. Seiring waktu, manusia mulai bertani dan berkebun dan mendapat makanan dari lahan sendiri. Waktu berlalu, kemudian manusia mulai berdagang; baik barang atau skill. Sampai sekarang.

 

Dengan membeli bahan makanan dari pasar, manusia jadi hanya mengetahui barang-barang yang dijual di pasar aja. Dan mekanisme pasar ini kan emang untung-rugi, ya, jadi barang yang kurang diminati ya bakal nggak dijual; salah satunya bahan makanan. Banyak tumbuhan/jamur yang biasa di-forage bahkan umum banget dikonsumsi oleh orang zaman dulu, yang sekarang orang-orang nggak tahu itu bisa dimakan.

 

Ada pengetahuan yang hilang. Ada informasi yang terputus. Nggak jauh-jauh, contohnya di keluarga saya. Masih ingat contoh buah galing di atas? Info itu saya dapat dari ibu. Ibu sendiri nggak pernah mengonsumsi galing, hanya tahu dari cerita eyang. Info itu bisa jadi terputus seandainya saya nggak kebetulan nemu galing di pekarangan. Ini baru ‘kehilangan’ satu tumbuhan dari satu keluarga.

 

Begitu banyak informasi yang hilang dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Dan ini nggak cuma soal foraging aja. Bila ditarik lebih jauh, mungkin banyak banget pengetahuan lokal atau bahkan local wisdom yang terhapus zaman, seperti apa pun manusia berusaha mempertahankannya.

 

Udah sifat alamiah peradaban, kayaknya.

Ada yang muncul, ada yang hilang.

 

Di sinilah ‘siklus’ lifestyle. Jika di atas saya bilang bahwa pengetahuan soal SDA yang di-forage makin menghilang, maka ada orang-orang yang melestarikannya. Mulai dari yang nggak nyadar melestarikan (simply foraging for fun) atau yang memang niat. Masyarakat kita yang hidup di lingkungan yang lebih asri, misalnya di desa, masih banyak yang melakukan ini.


Belakangan, meramban nggak hanya berhenti di situ. Nggak hanya pada masyarakat yang sehari-hari memang melakukannya, atau berjualan hasil foraging baik mentah maupun olahan homemade; tapi muncul restoran-restoran yang menyajikan menu-menu dari hasil meramban di sekitar lokasi.

 

Tempo hari saya nemu video tentang restoran yang makanannya dibuat dari bahan-bahan yang diramban. Uniknya, hasil rambanan itu adalah sayur/buah yang dulu sering dikonsumsi oleh penduduk suku lokal di negara itu (lupa di mana). Kabarnya resto macam ini kemudian jadi tren di beberapa daerah. Kesan yang dibawa (mungkin oleh tim marketing) adalah produk lebih fresh, sehat, dan green plus sustainable untuk lingkungan.

 

Mengusahakan bahan pangan secara lokal memang sering digaungkan akhir-akhir ini, di mana-mana. Entah mengusahakan dengan foraging atau membeli produk lokal di pasaran. Kenapa? Karena

  1. relatif lebih ramah lingkungan (misal, memperpendek rantai distribusi -> ngirimnya nggak jauh -> ngurangi emisi kendaraan/pabrik)
  2. relatif lebih murah, mudah, dan sehat untuk manusia alias pelanggan (misal, karena lokal -> nggak butuh pengawet -> lebih fresh dan bergizi.

Garis bawahi kata 'relatif', ya, karena plus-minusnya pasti ada.


Kalau diingat-ingat, zaman wabah Covid-19 dulu jadi banyak orang yang berkebun. Antara ngisi waktu atau jaga-jaga kalau pasokan makanan dari desa/kota lain nggak bisa masuk karena ada pembatasan transportasi. Supaya lebih self-sufficient dalam skenario yang nggak diinginkan, nggak seratus persen tergantung pihak lain.

 

Ending-nya, foraging atau meramban dengan bijak (atau lebih ke konsumsi lokal, ya, bukan foraging?) bisa nyambung dengan ketahanan pangan serta konservasi biodiversitas dan budaya.

 

 

💡  TIPS MERAMBAN / FORAGING 

Kalau tadi kita udah bicara soal manfaat meramban dan efek positifnya terhadap lingkungan dsb dll dst, sekarang kita bicara syarat-ketentuannya. Tujuannya supaya aman untuk manusia (kita) yang mengonsumsi, juga aman untuk lingkungan.

 

Bagaimana cara meramban/foraging/survival botani?

NB: ini sejauh yang saya tahu aja, untuk gambaran. Ini belum cukup. Jika ingin betulan meramban, harap cari sumber yang lebih detail supaya lebih aman.


[1] Pastikan tumbuhan/jamurnya betul-betul aman

  • Pastikan identitasnya.
    Secara visual bisa jadi sama, tapi jika dilihat lebih teliti bisa jadi identitasnya lain. Perhatikan nama lokal; karena kadang nama lokalnya sama, tapi sebetulnya beda tumbuhan. Ini kriterianya lumayan banyak, bisa beda-beda per (kelompok) tumbuhan.
  • Perhatikan tempat tumbuhnya.
    Tumbuhannya bisa jadi edible, tapi karena tempat tumbuhnya jorok atau tercemar, ya jadi nggak layak makan.
  • Terutama jika tumbuhannya jenis rumput-rumputan, perhatikan apa pernah kesemprot herbisida atau nggak. Pun kalau ada di area budidaya tanaman (sawah/kebun/dsb), pernah kena pestisida atau nggak? Kalau kena, maka nggak layak dimakan karena udah kena racun.
  • Jangan konsumsi tumbuhan dari tempat tercemar atau yang dijadikan agen penyerap cemaran.
    Sebagai gambaran (rada ekstrem): bunga matahari. Bijinya aman dimakan dan dia mampu nyerap limbah radioaktif (a.k.a nuklir). Jadi kalau dia ditanam di tempat tercemar limbah radioaktif untuk memperbaiki lingkungan itu, ya jangan dikonsumsi.
  • Cara pengolahan. Ada yang bisa dimakan mentah, ada yang harus dimasak dulu supaya racun/zat alergennya hilang.
  • Kalau ragu, jangan dimakan.
  • Makan sedikit-sedikit, apalagi kalau baru pertama nyoba.
    Kalau mau lebih aman oleskan dulu ke kulit (tunggu reaksi), lalu bibir (tunggu reaksi), dikunyah (tanpa ditelan, tunggu reaksi), dimakan sedikit (tunggu), dst. Lama? Memang.
  • Khusus jamur, lebih hati-hati.
    Ada jamur yang bisa dimakan berkali-kali, ada yang bisa dimakan sekali (karena mematikan). Saran saya kalau meramban tumbuhan aja masih ragu, jangan coba jamur dulu, deh. Serius. RIskan banget.
  • Bukan berarti tumbuhan nggak berisiko. Kadang sama aja. Jadi, please kalau ragu atau nggak paham, hentikan aja demi keselamatan. Konsultasikan ke orang yang benar-benar ahli atau terbiasa.

 



Tips di atas umumnya untuk tumbuhan di alam liar atau kurang umum dibudidayakan. Kalau yang umum ditanam tapi kita temukan liar gimana? Misalnya, nemu kangkung di lahan terlantar. Bentuk kangkung kan jelas dan kita udah pasti tahu, ya. Maka kangkungnya sendiri relatif aman. Tapi perhatikan juga tempat tumbuh dan faktor lainnya.

 

Pernah dapat cerita, nemu kangkung gemuk-gemuk. Di kemudian hari baru diketahui kalau di lahan tempat kangkung itu tumbuh ternyata ada temuan leaching limbah logam. Berita buruknya, kangkung itu penyerap logam yang baik. So....

 


👉  Funfact!

Di hutan tropis, kita bisa mengamati perilaku primata seperti kera untuk menentukan buah/sayur liar tsb aman dikonsumsi manusia atau enggak. Kalau mereka makan itu, biasanya relatif aman juga buat manusia, karena kita punya pencernaan yang mirip (bukan persis) dengan mereka.

Tapi tetap hati-hati, ya. Paling aman emang makan logistik bawaan aja.


 

 Peringatan:

Nggak semua perilaku konsumsi hewan bisa kita tiru. Misalnya burung. Buah yang aman dimakan burung bisa jadi beracun bagi manusia. Balik lagi, karena pencernaan dan fisiologi tubuhnya berbeda.

 

Hati-hati dalam mengonsumsi jamur. 
Jamur di atas hanya ilustrasi, belum tentu edible (saya sendiri cuma ngelihat tapi nggak juga nemu identitasnya, jadi cuma difoto aja buat kenang-kenangan, haha. Soalnya saya jarang nemu jamur berwarna cerah gini, biasanya cuma putih kusam.)


[2] Pastikan lingkungannya juga aman

Jika di atas kita ngomongin soal keamanan kita, sekarang kita bicara soal keamanan lingkungan itu sendiri. Kenapa? Karena lingkungan harus dijaga. Apalagi kalau kita foraging dari alam liar. Jangan sampai malah ngerusak ekosistem.


Gimana? Salah sedikit caranya adalah:

  • Ambil sedikit/secukupnya
    Jangan ambil banyak-banyak atau dihabisin semuanya. Apalagi kalau kondisi kita nggak darurat alias pengin sekadar nyoba atau pengin tahu rasanya aja. Biasanya buah ‘umum’ macam arbei liar yang begini.
    Kenapa jangan dihabisin semuanya meski ada banyak?
    Karena yang untuk kita cuma untuk dicoba, bagi hewan-hewan di area itu bisa jadi sumber makanan mereka. Jangan sampai mereka yang memang hidup di situ kelaparan dan susah cari makan karena kita ‘pengin coba aja’.
    Nggak menghabiskan juga untuk ngejaga keberlanjutan hidup tumbuhannya. Supaya mereka bisa hidup lebih lama dan berkembang biak lebih banyak. Kalau misal daun/buahnya dihabiskan manusia, gimana mereka bisa tetap hidup buat tahun-tahun selanjutnya? Ini ngaruh ke keberlangsungan ekosistem.
  • Untuk jamur, selain nggak diambil semua, tepuk-tepuk juga.
    Ditepuk gimana? Tepuk-tepuk aja tudung jamurnya di area tempat dia tumbuh. Jamur berkembang biak dengan spora. Saat kita tepuk-tepuk, sporanya terbang dan jatuh di tanah, memungkinkan jamur itu untuk tumbuh lagi dan nggak benar-benar habis.
  • Ini mungkin agak nggak berhubungan dengan foraging tapi lebih ke manajemen sampah bekas makanan saat naik gunung, terutama makanan segar atau buah yang ada bijinya. Biji/bagian untuk regenerasi jangan dibuang sembarangan atau dipendam di lokasi. Biji ini bisa jadi tumbuh menjadi tumbuhan invasif (alias tumbuh banyak banget) sehingga bisa ngerusak ekosistem lokal. Misal karena tumbuhnya rimbun banget, tumbuhan asli situ jadi tersaingi atau bahkan mati. (Credit: buku “Zerowaste Adventure” tulisan Kak Siska Nirmala. Yang suka aktivitas outdoor coba baca, deh. Bagus!)



Berawal dari ngelihat unggahan foto-foto estetik autumn vibes dan rainy vibes di medsos, jadi  keinget foraging dan mbleber ke hal-hal lainnya.... Bicara soal bahan makanan, manusia, dan alam (plus kultur dan sebagainya) memang saling mempengaruhi. Di sekolah mungkin kesannya ilmu alam dan sosial terpisah banget, tapi di kehidupan sehari-hari kita sebetulnya dekat dan saling terkait dan terikat.


Anyway, pada lebih suka vibes akhir tahun yang gerimis-sejuk-sendu atau vibes tengah tahun yang lebih cerah-bersemangat?



Updated


Reading Time:

Jumat, 13 Desember 2024

Hujan dan Love-Hate Relationshipnya
Desember 13, 20240 Comments


Iseng-iseng buka notes, menyadari eh ternyata di hari-hari hujan, isi notes lebih banyak. Saya emang lebih gampang nulis kalau hujan. Inspirasi lebih ngalir aja rasanya daripada waktu cuaca cerah.

 

Tapi ini bukan soal hujan, cuma preambule aja.

(Dan ini… panjang. Dan topiknya kadang lompat-lompat. So… read at your own caution?)

 

Beberapa minggu lalu, saat hari-hari hujan dimulai dan banyak orang ngomongin kesukaannya terhadap hujan, saya nemu sebuah kalimat yang menggelitik. Kurang lebih begini:

 

Orang yang bilang suka saat hujan turun itu bukan orang yang pernah ngerasain susah saat hujan.

 

Di bawahnya bermunculan jawaban, kalimat dan foto, tentang kesusahan saat hujan. Potret para pencari rezeki yang berhujan-hujanan di atas motor dengan jas hujan kelelawar, testimoni pejalan kaki yang menerjang jalanan becek dan banjir, orang-orang yang hatinya kebat-kebit takut rumahnya bocor atau kebanjiran.

 

Saat itulah saya sadar, saya pun pernah berada dalam situasi seperti yang disebutkan di atas. Dan perasaan, kok, kayaknya saya pun punya love-hate relationship sama hujan, ya?

 

Saya suka hujan. Hawanya sejuk, aroma petrichor-nya segar menenteramkan. Masih banyak segudang alasan lainnya; alasan yang simpel dan se-‘remeh’ suka ngelihat tetes air jatuh dari pucuk daun atau perasaan melankolis yang muncul saat ngelihat kaca ruangan berembun.

 

Nggak bisa dipungkiri, hujan juga jadi salah satu bahan bakar untuk nulis karena serasa adaaa aja hal-hal yang tiba-tiba terpikir. Catatan saat bulan-bulan berhujan jumlahnya jadi (jauh) lebih banyak. Ibarat tiap hari hujan bisa nulis minimal satu notes (bahkan lebih), sedangkan saat kemarau, tiga/empat catatan sebulan aja udah dianggap banyak. (Apakah ini ada hubungannya sama SAD alias Seasonal Affective Disorder? Entah)

 

Sesuka dan se-inspiring itukah hujan? Iya, bagi beberapa orang.

Namun, baca postingan medsos di atas, saya juga jadi sadar bahwa ada kalanya saya nggak suka hujan.

Bahkan, nggak suka banget.

 

Terbayang beberapa keribetan dan kesusahan yang pernah saya alami saat hujan. Kudu jalan nyeker supaya sepatu sekolah nggak basah kuyup, takut hujan ngerembes ke dalam tas meski udah dipasang rain cover, baju yang terasa lembap dikekep jas hujan karena menempuh jarak jauh dengan motor. Zaman ngekos, sering kerasa was-was kamar kos bocor. Kudu lebih hati-hati juga ngerawat rak buku karena buku jadi rentan berjamur (sempat syok awal-awal ngekos karena buku saya jadi penuh bercak hitam RIP my books).

 

Ada saat-saat ketika saya berdoa supaya nggak turun hujan. Saat-saat ini adalah momen saya langsung bad mood begitu ngelihat rintik yang masih jarang. Momen itu salah satunya saat hiking. Butuh beberapa tahun pembiasaan dan satu pendakian super-berhujan untuk berdamai dengan hujan-saat-naik-gunung. Sebelumnya, kena rintik kabut lewat aja, saya udah cemberut karena kepikir betapa perjalanan ini akan lebih sulit.

 

Hujan juga pernah jadi pengingat menyakitkan; saat lagi nge-drop dan turunnya hujan jadi pengingat kalau saya masih dalam masa penyembuhan meski udah berbulan-bulan dan hampir nggak ada yang percaya kalau saya butuh recovery selama itu; ketika aroma petrichor yang biasanya segar menenteramkan jadi menusuk hati dan hidung sekaligus.

 

Jadi… apakah masih bisa dibilang suka hujan?

Bicara soal suka, atau cinta, saya jadi keinget kutipan dari Bob Marley, penyanyi musik reggae itu.

 

 

Saya jadi mikir, sebenarnya saya beneran suka hujan atau suka sensasinya aja?

Apakah suka hujan dengan segala keindahan dan keribetannya, atau suka sensasi senangnya aja tapi kalau kena efek jeleknya kemudian nggak suka?

 

“Ngapain, sih, mikir sampai kayak gitu?”

Suara hati saya yang lain protes. So what kalau menyadari suka/nggak suka hujan, nggak ada efek signifikannya.

 

Memang enggak, tapi ini sedikit membantu saya untuk ‘nyortir’ perasaan terhadap hal lainnya. Hobi, barang yang ingin dibeli, dan in some level kekaguman dan kedekatan terhadap orang-orang tertentu. What did I say in the first paragraph: hujan cuma preambule, pembukaan aja.

 

Balik ke topik soal suka-nggak suka. Gara-gara mikir itu tadi, jadi keingat kutipan lain (banyak amat keingatnya, tapi ya gimana lagi lha kutipan tentang perasaan kayaknya emang salah satu yang mendominasi dunia per-quote-an). Kurang lebih isinya gini:


Do you really love?

Or do you just like that fluttery flitter feeling?

 

Orang Barat punya ungkapan: ketika jatuh cinta, rasanya seperti ada banyak kupu-kupu beterbangan dalam perut kita. Kalau versi Indonesianya mungkin perasaan deg-degan, gugup, dan senang kali, ya. Dan, itu emang benar, kan? Jangankan ketemu orang, nemu barang yang disukai aja rasanya excited sekali.

 

Namun, perasaan ini bisa berarti dua: suka aja, atau beneran cinta. Yang kedua, lebih butuh effort. Gampangnya, kalau diibaratkan ke soal hujan-hujanan tadi, suka itu kalau suka sensasi saat hujan aja kemudian mengutuk saat dapat keribetannya, sedangkan kalau cinta ya menerima dua-duanya; baik-buruknya.

 

Karena kalau cinta, nggak cukup pakai rasa. Juga butuh usaha.

Perasaan (that fluttery flitter feeling) bisa luntur seiring waktu kalau nggak dipupuk dan dirawat.

 

Orang-orang yang awet bersama pasangannya mungkin bisa ngasih testimoni gimana usaha mereka untuk bertahan meski diterpa berbagai badai cobaan (ceilah…). Tapi okelah, mungkin itu kejauhan, mari bicara soal yang nggak terlalu dalam aja, misalnya: hobi.

 

Hobi artinya aktivitas yang suka dilakukan di waktu luang. Semua orang suka ngelakuin hobi, betul? Baca buku, masak, nulis, sepedaan, olahraga, scrolling medsos, you name it. Namun, kalau aja butuh usaha lebih untuk ngelakuin hobi itu, apa akan tetap dilakukan?

 

Soal hobi ini pernah kejadian di saya sendiri. Alkisah saya suka motret. Kepikiranlah untuk nyambi jualan foto di platform online. Sebelum bikin akun, saya baca syarat foto yang diterima: resolusi minimal sekian, no noise, dll dsb dst—yang, ketika dicocokkan dengan koleksi potret saya, kok, rasanya banyak yang nggak memenuhi syarat meski secara jumlah ada bejibun. Oke, saya pikir, berarti saya harus upgrade skill. This is a challenge!

 

Mulailah saya berburu foto dengan mikirin segala teknisnya. Sebelum jepret satu, diem dulu nentuin angle, setting, dsb. Setelah itu pulang, transfer data, cek foto, eh… ternyata banyak yang missed. Oke, coba lagi. Dan begitu seterusnya. Sampai pada satu titik saya menyadari: kok, rasanya saya mulai nggak enjoy motret, ya?

 

Hal di atas masih saya lakukan sampai saya ‘tiba’ di titik kedua:

Kenapa ya, sekarang rasanya males motret? Kayak ada beban gitu. Beda sama dulu.

 

Oh la la~ Kamu yang sekarang sudah berubah, tidak seperti kamu yang dulu!

Kedengaran familiar? Iya, ini salah satu trope di cerita atau film romance, hahaha.

 

Sampai pada satu titik (lagi), saya menyadari bahwa kalau mau terjun ke ranah (lebih) profesional, ya memang kudu lebih effort. Meski itu berawal dari ‘sekadar’ hobi. Butuh kesabaran untuk upgrade skill, lebih disiplin, lebih rajin, dsb. Ini mirip sama kejadian ketika banyak penghobi nulis kemudian ngerasa stuck atau terbebani ketika memutuskan mau serius nulis naskah. Memang lebih berat daripada kalau menulis bebas semaunya.

 

Pada akhirnya, saya memutuskan nggak jadi jual foto. Biarlah hobi satu ini jadi pereda stres daripada nambahin stres. Upgrade skill tetap, tapi nggak se-ngoyo dulu. Biarlah fotografi ini jadi hobi aja.  Biarlah saya ambil minat lain yang kiranya saya bisa compromise ketika masuk ranah kerjaan.

 

Dan that’s okay. Punya hobi sebagai hobi aja juga nggak apa-apa. Nggak ada yang salah dengan itu.

 

Jadi, apa bisa dibilang saya mencintai fotografi?

Menurut saya, enggak. Cuma suka aja. Kalau beneran cinta, saya akan tahan itu semua kesulitan (atau tantangan) demi foto yang jauh lebih baik. Kan, memang butuh usaha, suka aja nggak cukup.

 

Jadi keingat sebuah kutipan (lagi!) yang diucapkan tokoh Rangga di film “99 Cahaya di Langit Eropa”:


Cinta itu tanggung jawab.

 

To put it to further context (sehingga paragraf ini jadi agak out-of-context, lol), kalimat tadi diucapkan Rangga saat Stefan nanya kenapa dalam Islam seorang lelaki boleh beristri 4. Rangga jawab, boleh tapi harus adil dan itu susah, makanya tetap disarankan satu aja, 4 itu kalau mampu. Stefan jawab, kalau cinta, dia yakin bisa mencintai semua sama besarnya. Rangga respons: enggak, beda, cinta itu tanggung jawab. Lalu dilanjut,

R: “Cinta itu tanggung jawab. Ibarat kuliah, kamu harus nyelesaiin semuanya.”

S: “Satu (kuliah) aja pusing.”

R: “Nah, you got the point. Satu aja pusing.”

 

Jika memang cinta sesuatu/seseorang, saat ada hambatan akan diatasi dan bukan ditinggal. Saat ada ketidakcocokan, akan dicari titik temunya, bukan menitikberatkan ke siapa masalahnya. It’s both of you vs the problem, not you vs him/her/it. Akan selalu diusahakan (within reasons tapi, selama nggak malah jadi toksik atau obsesif).

 

Jadi… apakah saya suka hujan atau cinta hujan?

Bahkan setelah refleksi berhalaman-halaman ini, saya masih diam berpikir. Iya atau nggak? Entahlah, seperti perasaan, rasanya masih nggrambyang. Kalau ini adegan di film atau novel, mungkin akan muncul ‘jawaban’ klise,

“Beri aku waktu untuk berpikir.” 😂

 

Untungnya, hujan nggak butuh jawaban. Untungnya dia bukan orang juga, kan, jadi nggak perlu dikasih kepastian. Dan lagi, emangnya dia pernah nanya? ðŸ˜‚ (PD bener, padahal nanya sendiri, jawab sendiri, hahaha)

 

And, although kind of abstract, this way of thinking helps me to sort out things more clearly.

Reading Time: