Kalau dengar kata ‘ranu’, yang
terbetik di benak sebagian orang mungkin adalah Ranu Kumbolo, sebuah danau yang
terletak di trek pendakian Gunung Semeru. Namun sebenarnya ada banyak danau
lain yang punya nama depan ‘ranu’. Ranu Klakah, Ranu Pakis, dan Ranu Bedali di
Kabupaten Lumajang contohnya.
Kata ‘ranu’ sendiri punya arti
‘danau’ dalam bahasa Jawa. Nggak tahu ini istilah khusus di Jawa Timur aja atau
ada juga di Jawa bagian lainnya. Soalnya kayaknya saya nggak/belum pernah
dengar istilah ini dipakai di danau Jateng/DIY.
Di Jatim ada banyak danau yang
disebut ranu. Maksudnya, nama resminya memang pakai ‘ranu’ di depannya. Dan—nggak
tahu ini saya kebetulan nemunya yang mayoritas kayak gini atau gimana—ranu-ranu
ini terbentuk akibat aktivitas vulkanik a.k.a aktivitas gunung berapi. Termasuk
tiga ranu yang bakal kita obrolin sekarang.
Perjalanan ke Segitiga Ranu itu
sebenarnya nggak direncanakan. Waktu diajakin jalan, saya ditawarin antara ke Pacet-Trawas
(Mojokerto) atau Malang. Saya mengusulkan tempat yang belum pernah dikunjungi
sebelumnya: Lumajang. Tujuan utamanya: Ranu Klakah.
“Jauh itu. Kita naik motor, lho,”
sanggah partner jalan saat itu.
“Terus ke mana? Lumajang
pemandangannya juga bagus-bagus, lho.”
Pendek kata, berangkat juga kami
ke salah satu kota di Kawasan Tapal Kuda itu dengan ‘iming-iming’: tempatnya
bagus dan nggak begitu ramai jadi bisa lebih santai.
Itu percakapan beberapa tahun
lalu. So, perjalanan ini emang kejadiannya nggak barusan di 2025 atau
2024 tapi beberapa tahun sebelum itu. Jadi beberapa info terkait tempat-tempat ini,
terutama view secara visual, bisa jadi udah berubah banyak. Namun
karena momennya pas, jadi pengin nostalgia nyeritain jalan-jalan ke tempat
cakep ini. Nanti deh bakal cerita kenapa momennya pas.
Pemandangan alam Kabupaten
Lumajang emang bagus-bagus, nggak kalah sama kota wisata lain di Jatim. Bahkan
sebagian area Semeru dan Ranu Pani-Regulo-Kumbolo pun secara administratif
masuk Lumajang. Air terjun Tumpak Sewu, air terjun Kapas Biru, dan pemandangan
Mahameru dari Pronojiwo juga kayaknya kece abis (jadi makin pengin ke sana,
hehe).
Cuma mungkin nama Lumajang kurang
akrab aja di sebagai tujuan wisatawan apalagi yang berasal dari luar Jatim. Yang
paling terkenal, ya, sekitaran Surabaya atau Malang/Batu. Sekarang mungkin
ketambahan Banyuwangi dan sekitarnya, karena kayaknya belakangan pariwisata
mereka lagi digenjot. Namun kalau nyari tempat yang lebih tenang, Lumajang bisa
banget jadi tujuan.
DAFTAR ISI
Postingan ini panjang, haha. Banyak selipan cerita di antara
perjalanannya. Jika ingin to-the-point ke ranunya, bisa klik poin di
daftar isi supaya langsung ke bagian itu
[NB:
meski beberapa penjelasan dalam postingan ini ditulis
berdasarkan referensi, bisa jadi ada yang kurang tepat (terutama tentang
sejarah dan kebumian). Mungkin data yang dirujuk udah terlalu lama, sumber
yang saya ambil keliru, atau saya salah tulis/interpretasi. Oleh karena itu mohon
maaf kalau ada yang kurang tepat dan pembaca disarankan cross-check ke sumber
yang lebih pasti]
Segitiga Ranu Lumajang
Ranu Klakah, Ranu Pakis, dan Ranu
Bedali adalah danau-danau yang disebut ‘Segitiga Ranu Lumajang’ karena letaknya
yang dekat satu sama lain. Jarak Ranu Klakah ke Ranu Pakis kurang lebih cuma 1
km, sedangkan Ranu Klakah ke Ranu Bedali cuma 5 km-an.
Kalau
ngelihat data di file foto, perjalanan Ranu Klakah-Pakis cuma 5 menitan.
Jam 5.50-an WIB masih ambil foto di Ranu Klakah, jam 6 pas udah siap berpose di
Ranu Pakis. Padahal waktu itu nyetir motornya nyantai banget.
(Aslinya
mah saya nggak begitu merhatiin seberapa jauh/lama perjalanannya, haha. Cuma
rasanya emang cepat. Akhirnya cek properties di file foto buat
ngecek waktu pengambilan. Ternyata tips nulis catatan perjalanan yang pernah
dibahas di 🔗di postingan ini berguna juga buat nguprek-uprek perjalanan
meski udah lamaaa banget jalan-jalannya).
Ranu
Klakah berlokasi di antara Ranu Pakis dan Bedali. Apa titik lokasi tiga ranu
ini membentuk segitiga? Nggak juga. Kalau ditarik garis malah lebih mirip satu
garis lurus. Kemungkinan dinamain segitiga karena lokasinya yang dekat banget.
Jadi sekali jalan, bisa berkunjung ke tiga danau dalam sehari.
Selain
tiga ranu ini, di Kab. Lumajang sebenarnya punya banyak ranu lainnya. Begitu
juga di kabupaten tetangganya. Uniknya, banyak di antara ranu-ranu ini yang
kayak muncul mengelilingi kaki Gunung Lemongan. Nah, Gunung Lemongan ini adalah
gunung berapi yang lokasinya di tepat di depan Ranu
Klakah.
.png) |
Sebaran ranu di sekitar Gunung Lemongan (Klik tiap gambar untuk tampilan lebih jelas/nggak ke-stretch) |
Fenomena gunung yang dikelilingi
banyak danau ini disebut-sebut cukup unik oleh para geolog. Soalnya, danau yang
mengelilingi G. Lemongan ini banyak banget: ada 27 biji! Di antara 27 itu, 13 ranu masih terisi air seenggaknya sampai tahun 1990. Namun
dengar-dengar makin ke sini makin susut airnya.
Kenapa bisa banyak danaunya?
Karena ranu-ranu itu emang hasil
aktivitas vulkanik Gunung Lemongan. Makanya mereka disebut juga sebagai danau
maar. Danau-danau ini terletak di
kaki gunung karena aktivitas G. Lemongan cukup aktif sampai ke dasar gunung;
nggak di puncaknya aja, tapi ‘tepi’-nya juga.
Franz Wilhelm Junghuhn (naturalis
Jerman yang direkrut Belanda untuk mengeksplor nusantara) mengajukan pendapat
bahwa ranu-ranu ini sepertinya bukan
hasil/bekas kawah yang meledak, tapi lebih karena ada tumpukan material
vulkanik hasil erupsi gunung yang kemudian (1) runtuh di bagian yang berpori,
atau (2) mengalami penurunan tanah secara tiba-tiba, kemungkinan akibat gempa.
Makanya, menurut Junghuhn,
ranu-ranu di sekitar G. Lemongan ini berbentuk telaga kecil dan cekung yang
serupa mangkuk di sekitar tanah datar, sedangkan dindingnya curam.
Telaga-telaga ini ia sebut-sebut terletak di kaki
gunung dan tersembunyi di antara hutan.
Kalau dilihat-lihat, memang iya. Ranu
Bedali jadi salah satu yang paling memenuhi deskripsi di atas. Di sisi lain,
Ranu Klakah nggak punya ‘dinding’ dan kelihatan kayak danau ‘biasa’. Ranu
Pakis? Kombinasi keduanya.
Kayak gimana, sih, penampakan
danaunya? Sebelum ke arah sana, kita bahas dulu gimana caranya ke sana.
Naik Apa ke Sana?
Karena ini catatan perjalanan,
maka selain ngomongin lokasinya, kita juga ngomongin gimana perjalanannya. Keep
in mind kalau ini berdasarkan yang saya lakuin bertahun-tahun lalu, jadi
sekarang beberapa hal mungkin udah berubah meski ada yang tetap sama.
Ada beberapa opsi: kereta api,
mobil, atau motor.
Buat kereta api, enaknya
adalah kita nggak capek di jalan. Tinggal duduk dan kemudian sampai di Stasiun
Klakah, yang masih satu kecamatan sama segitiga ranu ini. Kekurangannya adalah
begitu sampai di sana, kita harus sewa kendaraan untuk muter-muter. Naik
transpor umum atau angkot kayaknya nggak ngatasin karena beberapa tempat
lokasinya masuk banget alias mblusuk sehingga nggak kekover angkot.
Waktu itu sempat ngobrol sama mas-mas di dekat Pasar Klakah, dia bilang di
sekitar situ ada persewaan tapi mobil aja, motor nggak ada. Jadi mungkin opsi
ini lebih cocok buat yang jalan ramean supaya biaya patungan sewa mobilnya
lebih murah. (Meski waktu itu teman jalan sempat nyeletuk, “Minta tolong
petugas hotel aja, siapa tahu bisa nyewa motornya”. Yaa bisa dicoba, tapi nggak
menjamin pasti akan dipinjamin.)
(NB: nggak semua kereta berhenti
di Stasiun Klakah)
Buat mobil dan motor,
rasa-rasanya mirip-mirip. Minus pakai motor pasti lebih capek. Jalan yang
ditempuh juga sama. Waktu itu tolnya belum selesai, jadi mobil ya lewat jalan
biasa. Namun sekarang tolnya udah sampai Probolinggo, sehingga bisa lebih cepat
mobilan sampai Leces (Probolinggo) terus keluar ke arah Klakah.
Oh iya, untuk travelling di
Lumajang juga bisa pakai jasa open trip. Jadi peserta tinggal
saling ketemuan aja di meeting point yang ditentuin agen tur, terus
nanti mobilan bareng. Opsi open trip ini lebih murah daripada nyewa
mobil dan cocok buat yang pengin nyantai tanpa ngatur itinerary. Di sisi
lain, kekurangannya adalah tujuannya udah fixed sehingga kurang cocok
untuk yang pengin travelling sambil eksplor tempat-tempat lain. Waktunya
juga terbatas. Beberapa tujuan yang sering saya temuin di iklan tur wisata
biasanya ke tempat-tempat yang amat happening seperti air terjun Tumpak
Sewu atau Kapas Biru. Jadi tiga ranu ini biasanya nggak termasuk.
Kalau naik motor, enaknya
adalah kita bisa eksplor sampai ke tempat-tempat yang mblusuk bahkan
jalannya nggak aspal. Namun risikonya ya itu... capek. Perjalanan
Surabaya-Lumajangnya aja udah makan waktu sepagian.
Waktu itu kami juga naik motor.
Kami cabut dari Surabaya jam 06.00-an pagi dan sampai Ranu Bedali jam 10.30-an.
Ini pakai kecepatan standar dan nyetirnya santai, plus sempat berhenti 30
menitan di rest area.
Lewat mana? Cukup ikuti petunjuk
di Google Maps. Jalan arah Lumajang ini jalan gede (banget); termasuk jalur
lintas-kota dan lintas-provinsi. Jadi untuk sampai sana akan kecil kemungkinan
nyasar karena ada papan petunjuk hijau gede-gede.
👉 RUTE:
Sepanjang jalan ini ada beberapa tempat/daerah yang
kami jadiin checkpoint (supaya antartitik nggak berasa jauh-jauh amat,
hehehe). Rutenya yaitu (nama kota digarisbawahi): Surabaya > Sidoarjo
> Gempol > belok kiri > Bangil > Pasuruan > Grati
(ada ranunya juga di sini!) > Tongas > Probolinggo >
Leces > Klakah (Lumajang).
Kalau dilihat di peta, ini
perjalanan arahnya ke selatan (bawah) sampai Sidoarjo, lalu belok ke timur,
lalu belok lagi ke selatan.
Waktu itu musim hujan. Cuaca
mendung sejak jam enam, tapi untungnya nggak hujan. Malah di beberapa daerah
tepi pantai macam Pasuruan, matahari terik banget sampai pengin rasanya lepas
jaket.
Kami menyusuri jalan-jalan amat
lebar. Kadang di sisi kanan jalan barengan dengan truk atau kontainer. Kadang
ngeri-ngeri sedap rasanya, meski antarkendaraan ada jarak dan nggak mepet-mepet
banget.
Di kiri-kanan sering nampak rest
area dari kecil sampai besar. Saya ngebayangin pas musim mudik lebaran, ini
rest area pasti penuh orang. Beda sama sekarang yang sepi mamring.
Di sebelah kiri, beberapa kali kami berkendara bersisian dengan kereta yang
sedang melaju. Sepertinya itu kereta tujuannya kalau nggak ke Jember ya
Banyuwangi. Sempat saya tangkap tulisan “Sri Tanjung” di badan kereta; kereta
yang beberapa kali saya naiki kalau ke Yogya.
Cerita di Jalan
Debu halus beterbangan, terasa
lengket di kulit. Meski slayer menutupi separuh wajah, tetap aja kening
rasanya kotor. Jalan masih lebar memanjang di depan mata.
Jalan lintas provinsi ini memang
ramai dan jadi jalur transportasi utama sejak berabad-abad lalu. Yes, you
guess it right, ini adalah potongan Jalan Raya Pos (De Grote Postweg)
yang diperbagus tim Daendels di era 1800-an. Lintasan ini mengular sepanjang
Pulau Jawa; dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Jatim).
Sebelum era Daendels, jalan-jalan
ini udah ada. Malah, beberapa ruas jalan ditengarai udah sering dipakai sejak
kerajaaan-kerajaan di Pulau Jawa sedang jaya-jayanya. Nah di era Daendels jadi
gubernur jenderal Hindia-Belanda, jalan-jalan ini dibagusin (dan beberapa ruas
disambungin) supaya jalur komunikasi dia dengan staf-stafnya lebih lancar dan lebih
gampang ngirim barang atau mobilisasi pasukan.
Jadi jangan takut nyasar di area
ini karena sejak zaman kerajaan aja jalurnya udah jelas. Apalagi sekarang.
Jejak-jejak masa lalu masih bisa
kita lihat sepanjang perjalanan. Kadang berkelebat di antara gedung dan
bangunan lawas yang gayanya vintage banget. Apalagi ketika jalan ini
sedang membawa kita melintasi area-area kota lama seperti daerah Bangil,
misalnya. Bangunan-bangunan tumbuh berderet berdempetan dengan warna hampir
seragam; putih kekuningan atau kecokelatan.
Kadang rasanya kayak ‘diizinkan’
mengintip tabir waktu ketika daerah-daerah itu sedang hidup di awal 1900-an
atau 1990-an. Vibes-nya... khas.
Saya beruntung di perjalanan kali
ini jadi pihak yang membonceng di jok belakang, sehingga bisa lebih santai
lihat pemandangan. Kalau nyetir kayaknya nggak bisa sesantai itu karena harus
fokus di lalu lintas padat ini. Gimana enggak, belum sampai Leces aja kami udah
ngelihat dua kecelakaan.
“Macet onok
opo, Mas? Truk mogok ta?” tanya pengendara di depan kami pada seorang
pemuda yang membantu mengatur lalu lintas.
“Gak, onok sing tabrakan.”
Mendapati beberapa kecelakaan
dalam satu lintasan, tak pelak muncul rasa ngeri. Yah, beberapa titik di jalur
perjalanan ini emang udah terkenal sebagai ‘jalur tengkorak’ sejak lama, alias
titik yang rawan/sering terjadi kecelakaan.
Berhasil menerobos kemacetan,
motor pun kembali melaju.
Matahari sudah tinggi ketika kami
bertemu dengan plang besar bertuliskan ‘Bromo’. Ah, akhirnya sampai juga di
Probolinggo. Sebentar lagi udah Lumajang.
Pintu masuk Bromo yang paling
terkenal (dan paling gampang diakses transum, kayaknya) memang via Malang.
Namun, TNBTS (Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru) sebenarnya punya empat pintu
masuk lewat empat kota berbeda, Probolinggo salah satunya.
Jalur masuk lewat Probolinggo itu
bisa dicapai via daerah bernama Tongas. Di pinggir jalan ada penunjuk arah
untuk masuk Tongas.
Ngomong-ngomong soal Tongas, jadi
ingat cerita yang bilang bahwa Patih Gajahmada dulu juga lewat daerah ini untuk
mencapai Bromo. Untuk mencapai Air Terjun Madakaripura tepatnya, yang jadi
tempat terakhir ia terlihat dan konon jadi tempat ia moksa setelah
pensiun dari jabatannya di Majapahit.
Beberapa tempat memang
seperti melampaui batas waktu.
Sudah ada sejak dulu dan bertahan
dengan nama yang sama hingga sekarang.
Tentunya Tongas (dan jalanan) di
masa itu beda banget sama sekarang. Lebih padat hutannya, lebih sepi
perkampungannya.
Oke, balik ke masa kini. Singkat
cerita sampailah kami di (daerah kecamatan) Klakah. Tujuan pertama memang ke
Ranu Klakah. Namun, rencana itu berubah setelah saya ngecek GPS dan melihat ada
dua bulatan warna biru lainnya di dekat Ranu Klakah.
“Ada satu danau lagi, nih, yang
lebih dekat. Mau ke sana dulu, nggak?” tawar saya.
“Ya udah. Tapi kasih tahu jalan
yang bener, ya.”
“Iyaaa,” saya menjawab dengan
rada sewot. Dari tadi juga gue yang jadi navigator ngelihatin jalan, kan?
Kesewotan saya udah bermula sejak
pertengahan perjalanan sebenarnya, ketika partner jalan kali ini bolak-balik
meragukan jalan yang saya tunjukin. “Bener ini jalannya?” tanyanya bolak-balik.
Ya Gusti... kalau ini jalan kecil mah saya paham kalau dia nggak yakin
mulu. Tapi tadi kan jalan GEDE banget, banyak plang pula. Meski GMaps sering
nyasarin orang, tapi di jalan seluas itu jelas masih bisa dipercaya, deh.
Tarik napas, embuskan...
Inget, kamu ke sini buat
jalan-jalan, bukan buat nambah stres, saya berkali-kali mengingatkan
diri sendiri.
Ranu Bedali
 |
Ranu Bedali, airnya hijau |
Iya, perjalanan ke Ranu Bedali
dan Ranu Pakis nggak direncanakan karena aslinya mau pergi ke Ranu Klakah doang.
Namun karena ngelihat GPS tadi jadi ngeh ada danau lain di sekitar situ
dan bisa dikunjungi. So, here we go!
Tips kali ini mungkin ini:
Kalau mau eksplor, waktu lihat
peta jangan terpaku ke tempat tujuan aja. Lihat penanda atau simbol di sekitar,
siapa tahu ada tempat lain yang nggak kalah asyik, hehe.
Di jalan raya sebelum belokan ke
Ranu Bedali, kami ketemu satu kecelakaan lagi. *Speechless
Meninggalkan jalan raya, motor kami masuk ke jalan yang lebih kecil dan rimbun dengan semak tinggi.
Kali ini, pertanyaan (berulang) partner yaitu, “Beneran, nih, ini jalannya?”
nggak lagi bikin sewot karena saya pun mulai ragu. Ya sudah, mari cari warga
lokal dan tanya jalan.
“Nuwun sewu...,” partner
menyapa warga yang kebetulan lewat.
“Nggih...”
Fyuh, untunglah bapaknya bisa
bahasa Jawa. Kalau bapaknya bisa bahasa Madura aja, mandeklah komunikasi kami karena kami nggak bisa bahasa Madura. Lumajang, sebagai salah satu Kawasan Tapal
Kuda, setahu saya, lebih lazim menggunakan bahasa Madura.
Dari penuturan bapak tersebut,
memang benar ini jalannya. Oke lanjut.
Sekitar lima menit kemudian,
sampailah kami di tempat dengan penanda ‘Ranu Bedali’. Danaunya nggak terlihat langsung dari tepi jalan depan parkiran. Meski, nanti setelah kami melanjutkan perjalanan, sempat terlihatan kelebatannya dari pinggir jalan.
Motor kami
parkir (Rp2.000,00 kalau nggak salah), kemudian setelah bayar tiket Rp5.000,00
per orang, kami pun masuk.
Setelah masuk, kami berjalan sedikit. Di
dekat warung jajanan, ada sebuah platform kayu yang
menjorok ke tepi tebing. Ketika berdiri di sanalah, seluruh lanskap ranu
terlihat jelas.
Hawa panas yang menemani
sepanjang jalan kini lenyap digantikan cuaca mendung-mendung sendu. Debu
jalanan dan pengap asap kendaraan rontok dilibas angin semilir.
 |
Pemandangan danau Ranu Bedali dilihat dari atas/platform kayu |
Permukaan air berwarna kehijauan
menyeruak di tengah lebat hutan dan vegetasi yang rapat. Tepiannya dikelilingi
pohon-pohon yang menjulang seperti dinding dan semak-semak yang sepertinya
hampir setinggi orang dewasa, bahkan lebih. Persis deskripsi Junghuhn, ‘seperti
mangkuk dengan dinding curam’.
Dalam catatannya Junghuhn
mengatakan, Ranu Bedali adalah danau yang cekungannya dalam tapi airnya nggak
begitu tinggi/banyak. Thus, ketinggian air muka danau ini jadi yang
terendah di antara danau-danau di sekitar sini.
Pemandangan Ranu Bedali bisa
banget dinikmati dari atas; dari platform tadi. Namun kalau pengin lebih
dekat ke bibir danau, pengunjung juga bisa turun melintasi ‘dinding mangkuk’ lewat
jalan setapak. Karena kurang puas ngelihatin dari atas aja, kami pun memutuskan
turun.
Jalan setapaknya sudah dipaving.
Namun entah karena iklimnya yang lembap atau jarang dilewati orang, banyak
permukaannya yang ditumbuhi lumut. Nggak yang ketutup lumut banget tapi tetap
bikin licin. Pengunjung kudu hati-hati kalau jalan. Apalagi ini jalannya turun
yang artinya makin gampang tergelincir. Seperti... saya.
Yup, saya kepeleset di lima menit
perjalanan. *Sigh
Kamera yang saya tenteng di bahu
pun terbanting ke atas paving block. Bunyinya cukup keras sampai jantung
ini ikut berdebam DEG!
Oh no...
Usai cepat-cepat memastikan badan
baik-baik aja, saya langsung panik ngecek kamera. ‘Jangan rusak, please...
You’re the only one I have.’ Mulai drama. Padahal kaki masih njarem dikit.
Untunglah nggak apa-apa dan bisa
berfungsi normal. Kayaknya lecet dikit di moncongnya, tapi ya udahlah ya...
Semoga ‘dalamnya’ betulan nggak kenapa-napa.
Untunglah jalan setapak
selanjutnya nggak begitu licin. Mungkin karena makin mendekati tepi danau dan
tutupan kanopi pohonnya berkurang, jadi lebih kena matahari sehingga nggak
lembap. Permukaan danau mulai terlihat dekat.
Kami terus berjalan. Ada kali
sepuluh menit. ‘Tapi, mana tepi danaunya?’
 |
Ranu Bedali dilihat dari jalan setapak - Hutan lebat, perbukitan, dan palem di sisi kanan bikin berimajinasi, "Apa kayak gini dulu pemandangan dan kekaguman orang Barat waktu datang ke daerah tropis?" |
Kami masih melangkah, sesekali
berhenti untuk minum dan ambil foto. Setelah lima belas menit meniti jalan dan
nggak kunjung menemukan tepi ranu, kami berkesimpulan: kayaknya ini jalannya
muterin ranu, bukan mengarahkan sampai persis ke bibir danau atau nyentuh
airnya. Kalau lihat foto-foto orang lain, bisa, sih, sampai tepinya pas, tapi
kayaknya harus meniti jalan sendiri alias keluar jalur paving ke rumput-rumput
tinggi.
Dengan berdiri di jalan paving
pun sebenarnya kita udah bisa ngelihat danau dengan lebih jelas dan lebih
besar. Namun karena kami penasaran, okelah kita lanjut jalan.
Lima belas menit berlalu...
Ternyata lumayan panjang,
Saudara-Saudara! 15-20 menit sejak meninggalkan platform di atas, kami
masih berada di jalan paving tanpa kelihatan ujungnya. Kadang pavingnya
berganti jalan tanah bercampur rumput. Di kiri tampak permukaan air danau
berkilau disinari matahari tengah hari, di kanan masih didominasi pepohonan dan
semak-semak tinggi. Syukurlah hawanya sejuk jadi nggak begitu ‘berat’ kalau
jalan lama.
Akhirnya kami berhenti sejenak di
tepi jalan karena partner udah capek. Saya nemu tempat datar yang lumayan
terbuka. Kami nggak bawa tikar (karena emang nggak ada niatan piknik), tapi
rumput tebal yang hijau-hijau kelihatannya lumayan empuk buat duduk sebentar.
Asli empuk seperti permadani
mahal.
Badan yang sedari pagi tegak di
atas jok keras berasa ketemu kasur.
Tepi
danaunya ‘dipagari’ rumput berbunga dan semak. Warna airnya hijau.
Sekelilingnya tertutup dataran yang lebih tinggi dan pohon-pohon besar yang
menjulang. Kayak danau muncul dari balik hutan aja gitu. Cantiknya alami!
%20dan%20kupu-kupu%20di%20Ranu%20Bedali.jpg) |
Bunga pagoda (Cledrodendrum paniculatum) dan kupu-kupu di tepi danau |
Setelah rehat sejenak, kami pun
lanjut jalan meski perut udah mulai kerasa lapar. Sempat menyesal kenapa nggak
kepikir bawa jajanan atau beli camilan di warung atas tadi. Sekarang udah jauh
dari mana-mana, nggak ada siapa-siapa (kecuali nelayan di tengah ranu), dan
nggak ada apa-apa. Untung bawa air putih.
Kepalang tanggung, kami melangkah
lagi. Beberapa jurus kemudian kami mendapati jalan setapak ini berbelok tajam.
Kayaknya kami udah sampai ke sisi lain ranu.
Sekitar 20-25 menit dari tempat
rehat tadi, kami mendapati sebuah saung bambu. Dalam hati saya memuji orang
yang membangun saung itu karena cerdik milih lokasi. Tempatnya datar, terbuka,
serta punya ketinggian yang pas untuk ngelihat ranu dari saung.
 |
Saung bambu, tempat istirahat di ketinggian. Ranu Bedali tampak di sisi kiri, warna airnya kehijauan |
 |
Kawanan monyet di dekat saung. Lucu banget ada yang masih anak-anak dan gelendotan terus ke induknya. |
Asal-Muasal dan Legenda
Ranu Bedali ...
... kami ketahui saat bertemu dengan seorang warga
lokal di saung bambu itu. Bapak tersebut berkisah, nama ‘Bedali’ berakar dari sebuah
tingkah kuda di zaman Majapahit.
Saat itu Lumajang masih bernama
Lamajang. Daerah ini berada dalam wilayah Kerajaan Majapahit. Seperti layaknya
pemerintah pusat, mereka ngirim pejabat untuk inspeksi keliling. Ada beberapa
pendapat tentang siapa pejabat yang inspeksi ini; bahkan ada yang bilang orang
itu adalah si raja sendiri dan bukan bawahannya.
Rombongan kerajaan itu pun sampai
di sebuah danau. Setelah perjalanan panjang, mereka memutuskan istirahat di
sini, di bawah sebuah pohon besar. Namun sepertinya kuda-kuda tunggangan mereka
sudah pada kehausan sehingga saat melihat kilau air di kejauhan, kuda-kuda itu
langsung lepas dari kekangan lalu lari cepat menuju danau.
Dalam bahasa Jawa, ‘lepas dari
kekangan’ atau ‘lepas tiba-tiba’ istilahnya adalah ‘mbedhal’. Dari
situlah nama ‘Bedali’ disematkan, karena ada kejadian kuda yang mbedhal saat
sampai di dekat ranu.
“Pohon besarnya udah nggak ada,
tapi ranunya masih ada sampai sekarang,” tutur bapak tersebut mengakhiri
legenda kali ini.
Melihat sekitar, rasanya emang
cukup mudah membayangkan sedang berada di zaman berabad lalu itu. Pasalnya
pemandangan di sini tampak masih alami sekali. Seluas mata memandang yang
nampak adalah lebatnya hutan dan tingginya pepohonan. Nggak ada bangunan sama
sekali. Suasana sepi, hampir tanpa aktivitas manusia. Hanya terdengar bunyi
kisikan angin semilir dan cericit burung liar. Suasana yang, saya bayangin,
mirip dengan suasana berabad lalu. Minus permukaan air danau yang makin menurun.
Ranu Bedali dan Ranu Yoso ...
... adalah
salah duanya. Air di danau-danau sekitar Gunung Lemongan memang dilaporkan
makin menyusut. Kalau dibandingkan dengan berabad lalu, ada yang sekarang udah
kering. Salah satunya adalah sebuah ranu yang letaknya persis di sebelah Ranu
Bedali, namanya Ranu Yoso.
“Dulu ada airnya, tapi sekarang
sudah nggak ada. Tinggal bekas-bekasnya. Sekarang buat bertani,” begitu
kurang-lebih tutur warga tadi.
Nama ranu di samping Ranu Bedali
itu adalah Ranu Yoso. Kalau dilihat lewat citra satelit, emang tampak sebuah
cekungan di situ. Di antara Ranu Bedali dan Ranu Yoso dibentengi sebuah bukit
bak dinding pemisah.
Ranu Yoso kering seenggaknya udah
dua abad ini. Saat ngecek di peta lawas keluaran tahun 1825, danau ini (ejaan
waktu itu: Ranoejasa) tampak udah difungsikan sebagai lahan pertanian. Namanya
sekarang dijadikan nama kecamatan di mana dua ranu ini berlokasi, Kec. Ranuyoso
(digabung).
Di antara anggota Segitiga Ranu,
Ranu Bedali boleh jadi yang letaknya seperti terkucil dipagari perbukitan dan
vegetasi lebat, tapi dia juga punya keistimewaan tersendiri. Eks danau Ranu
Yoso yang pas di sebelahnya tadi, juga sebuah air terjun.
 |
Peta lawas Ranu Bedali dan Ranuyoso zaman Belanda (sekitar 1875-1880) |
Air Terjun Indrowati ...
... terletak
di sisi lain Ranu Bedali. Dari saung bambu tadi, kita harus jalan lagi.
Katanya, kira-kira 30 menitan. Rute menuju Air Terjun Indrowati masih sama
dengan jalan setapak tadi; kita tinggal terus jalan aja.
Awalnya saya udah ngajakin ke air
terjun. Udah sampai sini, kan. Masa nggak sekalian? Namun sayangnya batal
karena partner jalan ngerasa capek. Mungkin udah ngebayangin kudu jalan kaki
lagi. Belum lagi dari yang dia dengar, jalurnya agak curam.
Ya udahlah gimana lagi. Saya
menggerutu karena awalnya dia udah menyanggupi. Namun kemudian saya melunak
karena dibilangi sekawanan anak sekolah yang usai bertandang dari air terjun,
“Airnya lagi dikit, Kak.”
Setelah puas istirahat sampai
letihnya hilang, kami balik ke parkiran. Saya lupa berapa lama jalan baliknya,
tapi menurut timestamp foto, sih, 1 jam 20 menitan.
Saat nulis ini, saya sendiri
ngebatin, ‘Kok lama?’ karena kayaknya waktu itu nggak selama itu dan nggak sepanjang itu.
Apa cuma perasaan saya aja? Atau mungkin dalam perjalanan pulang, kami jalannya
nyantai pol dan banyak berhentinya? Entahlah.
Oh iya, beberapa saat lalu nemu
foto jepretan orang lain. Ternyata dari ketinggian (area parkiran), kita bisa
ngelihat sunset di Ranu Bedali. Di potret tsb tampak matahari oranye
cerah tenggelam perlahan di balik bukit yang jadi ‘dinding’ ranu.
HIGHLIGHT + TIPS KE RANU BEDALI:
📝Danaunya asri
banget dan masih alami. Recommended buat yang suka danau dan hutan
📝Danaunya seperti mangkuk.
Cekung dipagari perbukitan. Mungkin ini yang bikin suasananya
sunyi: karena suara dari sekitar terhalang bukit-bukit.
📝 Ada air terjunnya (Air Terjun
Indrowati) dan bekas danau yang sudah kering pas di baliknya (Ranu Yoso)
👉 Pengeluaran @orang+motor
Tiket + parkir = 5.000 + 2.000 = Rp7.000,00
Tips:
👉 Bawa bekal, khususnya air
putih. Bawa camilan lebih baik, karena penjual camilan hanya ada di area
parkiran dan nggak banyak
👉 Jalan ke bawah apalagi ke air terjun
jaraknya jauh dari parkiran. PP ± 2 jam. Untuk yang nggak biasa jalan jauh, lebih baik
turun sampai jalan paving dekat-dekat parkiran aja
Usai dari Ranu Bedali, kami makan
siang di sebuah warung dekat situ sebelum melanjutkan ke Ranu Klakah. Karena
sudah hampir sore (udah asar malah), kami memutuskan untuk cari penginapan.
Awalnya kami sama sekali nggak ada niat menginap. Namun dihitung-hitung, pasti
bakal kemalaman di jalan kalau maksain langsung balik Surabaya. Dan maksain
berkendara di jalan lintas provinsi dalam kondisi capek di waktu malam bukanlah
resep yang tepat untuk menjamin keselamatan di jalan raya.
Oke, cari penginapan. Pikiran
buruk mulai hinggap: gimana kalau nggak ada penginapan?
Mengingat daerah
ini bukan kawasan wisata yang ramai pengunjung, yang artinya minim penginapan.
Habislah kalau ternyata nggak ada dan kami harus nginap di Lumajang kota, yang
jaraknya ada kali 15 km.
Untungnya sekarang peta online
sudah bagus. Saya cari penginapan via internet dan ternyata ada hotel di
sekitar situ. Partner nanya referensi ke warga lokal, memastikan kalau
penginapannya masih beroperasi.
Nemulah sebuah hotel sederhana di
tepi jalan raya. Dengan bayar Rp250.000,00 kami dapat satu kamar double bed dan
sarapan untuk esok pagi. Kamarnya cukup bersih. Buat kami, dalam kondisi unexpected
kayak gini yang penting dapat kamar bersih yang nyaman dibuat istirahat.
Fasilitas lain atau soal dapat amenities atau enggak, bukan masalah.
Dapat alhamdulillah, tapi kalau nggak ada ya udah.
Setelah ngecek kamar, drama
selanjutnya dimulai.
Partner: “Kubayar dulu aja.” *ngeluarin
dompet, dibuka, lalu terdiam. “Bisa bayar pakai kartu?”
Resepsionis: “Maaf, belum bisa.
Bisanya tunai.”
Partner: “Wah, uangnya nggak
cukup. ATM terdekat di mana, ya?”
Resepsionis: *mulai tampak
ragu. “Yang dekat nggak ada, tapi di dekat pasar ada.”
Mind you, pasarnya
berjarak dua kilometer jauhnya. Dalam kondisi udah rada capek, harus
bolak-balik? Terus masih ke Ranu Klakah? No way.
Saya: *ngeluarin Rp250.000
dari dompet
Tips perjalanan yang selalu bisa
dipakai mungkin ini:
Selalu bawa uang tunai! Meski
sekarang transaksi online udah jamak, uang tunai dipakai untuk
jaga-jaga. Siapa tahu internetnya ngadat (atau malah nggak kejangkau sinyal),
siapa tahu HP/aplikasi/kartu error, atau seperti saat ini: hanya
menyediakan pembayaran tunai.
Kamar udah aman ter-booking,
meluncurlah kami sore itu ke tujuan sebenarnya: Ranu Klakah.
Ranu Klakah
 |
Pemandangan di tepi Ranu Klakah. Keramba untuk budidaya ikan mengapung di permukaan dengan latar belakang Gunung Lemongan |
Saya pertama kali tahu tentang
Ranu Klakah dari... komik Webtoon. Salah satu webtun yang saya baca judulnya Dracko
Diary, yang bercerita tentang keseharian komikusnya yang tinggal di Lumajang.
Ada beberapa episode yang nyeritain Dracko—si tokoh utama—sepedaan sore-sore ke
Ranu Klakah. Karena namanya mirip Ranu Kumbolo yang saya suka (sama-sama ada
‘ranu’-nya, hehe), saya jadi tertarik pergi ke sana.
Terima kasih udah mengenalkan
Ranu Klakah, Mas Drack!
Rute menuju Ranu Klakah lebih
ramai daripada jalan ke Ranu Bedali tadi. Sepanjang jalan berderet rumah,
kampung, warung. Satu hal yang selalu ada di rumah-rumah itu: tiap rumah hampir
selalu punya tanaman buah naga. Buah-buah merah menyala bergelantungan di
‘dahan’ serupa kaktus.
Kami sampai di Ranu Klakah sore
hari. Karena terlihat jelas kalau kami wisatawan, maka kami dihentikan untuk
bayar tiket Rp4.000,00 per orang. Besok paginya saat kami ke sana lagi, mungkin
karena kepagian dan loket belum buka, orang bisa keluar-masuk gratis.
Pernah ngebayangin pemandangan
danau luas dengan gunung menjulang di depannya? Seperti itulah Ranu Klakah.
Danau biru luas terhampar ke
ujung hutan. Di tepinya tampak warung-warung makan sederhana. Rakit-rakit bambu
milik nelayan juga bersandar di sana. Agak ke tengah, keramba ikan belasan
meter mengapung di atas air. Beberapa pria tampak hilir-mudik berbasah-basahan
di antara keramba dan rakit bambu.
Di depannya, Gunung Lemongan
dengan gerumbul hijau pepohonan di kakinya. Sayang waktu itu mendung sehingga
puncaknya nggak terlihat. Kalau nampak pasti cakep banget. Beberapa kanal
berita bahkan menyandingkan kemiripan G. Lemongan+Ranu Klakah dengan G.
Fuji+Danau Kawaguchi di Jepang.
Ngelihat foto yang bertebaran di
dunia maya, sekilas banget emang mirip karena komposisinya sama persis: gunung
dan danau. Bedanya kayaknya yang di Jepang kelihatan lebih kering, yang di sini
lebih hijau.
Ranu Klakah dan Gunung
Lemongan ...
... memang nggak bisa dipisahkan. Gunung dengan
ketinggian 1.668 mdpl ini adalah faktor utama mengapa Ranu Klakah bisa ada:
karena aktivitas gunung apinya. Bahkan mungkin karena hubungan yang erat,
beberapa sumber menyebut Ranu Klakah sebagai ‘Ranu Lamongan’. Mungkin karena
dianggap sebagai ranu utamanya Gunung Lamongan.
.png) |
Ranu Klakah dan G. Lemongan di masa lalu, 1920 (by: Kurkdjian) |
Jadi... Lamongan atau Lemongan?
Ada perbedaan penulisan nama
pula: beberapa nyebut LAmongan, beberapa nyebut LEmongan. Catatan Junghuhn di
abad 19 menyebutnya LAmongan, begitu juga peta-peta lawas di abad itu. Di zaman
sekarang pun portal resmi pemerintah Indonesia dan beberapa jurnal ilmiah pakai
ejaan LA. Di sisi lain, ada juga peta lawas yang nyebut pakai LE. Beberapa orang
luar Lumajang dan warga sana yang saya sempat berinteraksi, juga menyebut
dengan ejaan LE.
Apa pun itu, yang jelas ini
gunung letaknya jauh banget dari Kota Lamongan. Gunung ini letaknya hampir di
tengah Jawa Timur, sedangkan Lamongan lokasinya jauh di pesisir utara Jawa,
hampir 200 km jauhnya. Dan dengar-dengar, meski tingginya ‘cuma’ 1.600-an mdpl,
jalur pendakian gunung ini lumayan susah.
💡 Funfact!
Kalau
dilihat di peta, posisi Gunung Lemongan ini lurus dengan Kaldera Tengger,
tempat Lautan Pasir di mana Gunung Bromo berdiri sekarang.
Selain nama Ranu Lamongan, Junghuhn
juga menulisnya sebagai Ranu Glagah. Mungkin karena nggak familiar atau dia salah
dengar saat warga lokal menyebut ‘Klakah’.
Junghuhn dan Klakah-Lamongan ...
... kayaknya
sering disebut-sebut, ya, di postingan ini? Iya, karena cerita lawas tentang
danau-gunung ini saya temuin di buku Junghuhn. Tulisannya tentang tempat ini lebih
panjang daripada sumber lawas lainnya, jadi saya emang banyak ngambilnya dari
sana.
Junghuhn adalah seorang
penjelajah dan ilmuwan. Pada Juli 1838, dia dan
temannya berkunjung ke Ranu Klakah dan menginap beberapa hari di sana. Dia bermalam
di sebuah pondok di tepi barat ranu. Pondok bambu ini letaknya agak tinggi
sehingga mereka bisa ngelihat Ranu Klakah dari pondok.
 |
Sketsa lawas Gunung Lemongan dan Ranu Klakah, digambar oleh Franz Wilhelm Junghuhn |
Saat Gunung Lamongan erupsi di
1838, Junghuhn kebetulan turut jadi saksi mata. Saya nggak bisa terjemahin
penuturannya kata per kata, tapi kurang lebih gini:
Ketika senja yang tenang mulai turun dan suhu tidak sepanas siang, kami duduk di depan pondok kecil ini. Di kejauhan, sendiri di antara pohon-pohon hutan yang tinggi, terhampar sebuah danau. Bebek dan waterhen (burung kareo padi? *cmiiw) berenang di permukaannya, sementara burung plotus hinggap di dahan pohon dan diam lama. Kami bisa melihat kepala iguana di permukaan air. ...
... Tiba-tiba puncak gunung menyala. Gumpalan berapi mengembang di pinggiran kawah dan awan tebal membubung, memecah gumpalan api. Dengan kecepatan seperti cahaya, asap itu naik cepat seperti kolom. Warna hitamnya jauh lebih hitam dari langit malam. Percikan menyembur di udara dan hujan api pun turun. Gemuruh keras terdengar, bebatuan meluncur dari puncak gunung.
(NB: terjemahan otomatis dari Google Translate lalu diringkas)
Junghuhn menuturkan bahwa
peristiwa itu berlangsung sepanjang malam. Kadang erupsinya berhenti beberapa
saat, lalu bermuntahan lagi. Begitu terus. Semalaman mereka ngamatin erupsi Gunung
Lemongan dengan teleskop.
Gunung Lemongan masih aktif
sampai sekarang, meski hampir tanpa erupsi belakangan ini. Ia tercatat pernah
meletus beberapa kali. Laporan terakhir dari PVMBG, tahun 2024 kemarin
aktivitasnya sempat naik meski nggak meletus. Tercatat terjadi kegempaan, tapi
nggak besar.
Dan, mungkin karena efek
aktivitas vulkanisnya (sehingga tanah di sana jadi subur) dan keberadaan banyak
sumber air tawar di daerah itu, Ranu Klakah dan sekitarnya dimanfaatkan sebagai
tempat tinggal dan tempat bertani oleh manusia, bahkan sejak masa prasejarah.
Pemukiman kuno di sekitar Klakah ...
... usianya amat bervariasi. Ada jejak kampung dari masa kesultanan Islam, kerajaan
Hindu-Buddha, bahkan sejak zaman prasejarah.
Nggak jauh dari Klakah, di sebuah
tempat bernama Tegalrandu, ditemukan arca dan reruntuhan candi yang ditengarai
peninggalan kaum brahmana. Di sekitar ranu juga pernah ditemukan artefak zaman
prasejarah seperti punden, beliung, dan perkakas rumah tangga lainnya.
Dan bicara tentang manusia di
masa lalu, biasanya nggak lepas dari cerita rakyat setempat. Klakah pun
memiliki itu.
 |
Geliat aktivitas perikanan di Ranu Klakah |
Legenda Ranu Klakah ...
... bercerita
tentang ular Selanceng yang mendiami ranu. Konon ukuran ular ini bisa berubah-ubah;
kadang seperti ular biasa, tapi kadang bisa besar sekali hingga kepala dan
ekornya berada di ujung-ujung danau yang berbeda. Ular Selanceng ini dipercaya
adalah peliharan Dewi Rengganis.
Saya nggak tahu gimana cerita
Dewi Rengganis bisa terhubung di sini. Di mitos lain, Dewi Rengganis ini
adalah penjaganya Gunung Argopuro. Argopuro ini letaknya di timur Gunung
Lemongan. Dewi Rengganis dipercaya adalah keturunan raja Majapahit yang
mengasingkan diri ke Argopuro dan membangun istana di sana.
Pendek cerita, ular Selanceng di zaman
dulu sering mencelakai penduduk. Akhirnya ada seorang kiai (efek masa
keislaman?) yang memberinya makan kue tepung yang dibentuk seperti anak-anak. Setelah
itu, masyarakat aman kembali. Namun kabarnya hingga kini penduduk kadang
melihat ular ini muncul di danau.
Oh iya, di Ranu Klakah juga ada ‘musim
koyo’ (atau ‘koyok’). Yang ini bukan legenda, tapi peristiwa di masa ini. Di
musim koyo, ikan-ikan di ranu bisa mabuk dan muncul di permukaan sehingga lebih
mudah diambili. Ada beberapa alasan musim koyo bisa terjadi: antara suhu yang
ekstrem, kadar oksigen yang turun, atau kandungan belerang yang naik.
HIGHLIGHT RANU KLAKAH:
👉 Tiket masuk:
Rp4.000,00/orang
👉 Buka setiap saat
👉 Ada warung
👉Menikmati sunrise: Menghadap
Gunung Lamongan dan menghadap timur, jadi bisa lihat matahari terbit dari balik
gunung.
Tips: cek cuaca kalau mau lihat sunrise
karena bisa jadi ketutup kabut/mendung
Usai dari Ranu Klakah, kami balik
ke hotel. Setelah mandi dan shalat, kami cari makan di sekitaran jalan raya. Pilihan
jatuh ke warung penyetan di tepi jalan. Saya pilih menu ikan.
“Ikannya hasil tangkapan dari
ranu?”
“Ada yang iya, ada yang enggak,”
jawab ibu penjual.
Geliat perikanan di ranu-ranu
menjadi penyuplai ikan bagi warga untuk dikonsumsi atau dijual. Namun nggak
semua ikan air tawar dibudidayakan di sana, sehingga untuk beberapa jenis ikan,
masyarakat tetap membeli di pasar.
Kelar cari minum dan camilan
untuk besok (nggak mau mengulangi jalan-jalan tanpa bekal di Ranu Bedali,
hahaha) di sebuah minimarket lokal, kami pun balik ke hotel.
Sampai penginapan, partner
langsung tepar dan tidur. Tinggallah saya yang terjaga sambil nonton TV dan ngelihatin hasil jepretan hari itu. Saat
itulah terjadi (salah satu) momen yang membuat perjalanan kali ini jadi nggak
terlupakan.
Di sebuah berita lokal, saya mendengar
telah terjadi kecelakaan maut (pemotor/mobil, lupa) dengan truk gede. Lokasi kejadiannya?
Ada kali cuma 2-3 km dari tempat kami. Dan, kejadiannya di jalan raya yang hari ini kami
lalui bolak-balik entah berapa kali. Rasanya dekat sekali... Jadi jeri.
Berita selanjutnya adalah berita
global: sebuah outbreak penyakit tak diketahui di Wuhan. Yes you
guess it right, Covid-19. Sejak itulah saya jadi mantau berita perkembangan
Covid-19 dan pergerakannya sampai ke negara ini (sekaligus inkompetensi segolongan
regulator yang, ampun dah, bikin geram dan ngelus hati).
Perjalanan ke Segitiga Ranu
adalah perjalanan jauh saya di tahun 2020. Tepatnya, jalan-jalan jauh pertama dan
terakhir di tahun itu. Buat orang yang dalam setahun seenggaknya travelling beberapa
kali (meski nggak jauh-jauh banget), angka satu itu jadi memorable karena
alasan yang pilu. Walau nggak sepilu peristiwa-peristiwa yang kemudian terjadi setelah itu hingga tahun-tahun setelahnya.
Malam itu, saya jatuh tertidur
tanpa terpikir bahwa hidup saya, kita, dan hampir semua orang di seluruh dunia, dalam setahun bahkan beberapa tahun ke
depan menjadi amat berubah.
Ranu Pakis
Karena pengin ngelihat sunrise
di Ranu Klakah, jam lima lebih kami sudah ready. Pukul setengah enam kami
sampai di sana. Sayang cuaca waktu itu sedang mendung. Awan abu-abu menutupi
separuh tubuh gunung, menghalangi hangat pijar mentari yang sedang naik.
Setelah nunggu beberapa saat dan
awannya nggak kunjung hilang, kami pun menyerah berburu sunrise. Motor kami
jalankan menuju destinasi selanjutnya: Ranu Pakis.
Ranu Pakis jaraknya nggak jauh
dari Ranu Klakah. Cuma setengah kilometer alias lima menit saja. Jalannya udah
aspal tapi di beberapa bagian agak rusak berkerikil. Waktu itu. Kalau lihat berita
terakhir, sih, katanya jalannya udah mulus.
Masih ingat soal ranu yang kata
Junghuhn seperti mangkuk dalam berceruk? Nah, Ranu Pakis ini ‘dinding mangkuknya’
hanya separuh. Sebagian sisinya datar dengan permukaan tanah, sedangkan separuhnya
lagi berdinding tebing.
Dari arah kami datang, kami
berdiri di atas tebing/punggungan ini. Kami memutuskan berhenti di pinggir
jalan karena ragu mau lanjut; jalannya rada ancur. Saat itu kami ragu apakah
jalan itu bisa dilewati atau enggak, karena jalannya nggak begitu lebar dan
sepiii hampir nggak ada orang lalu-lalang. Motor yang lewat bisa dihitung jari di satu tangan, yang banyakan adalah rombongan penghobi sepeda.
Sepi. Yang terdengar hanya kicauan burung liar dan desik angin yang menggesek daun-daun. Sinar matahari belum sampai di sisi ini sehingga hawanya lebih dingin daripada di Klakah tadi. Selapis kabut melayang di tepi danau, membungkus perbukitan.
‘Jangan-jangan ini jalur trail,’ pikir
kami sebelum mengurungkan perjalanan.
Sebulanan lalu, saya baru tahu
kalau itu bukan jalur sepedaan aja tapi bisa dilalui motor juga. Kayaknya
belakangan emang diperbaiki. Pasca Covid-19 sempat viral juga kayaknya, hingga
didirikan warung-warung di pinggir jalan dan ditarik tiket. Sekarang dengar-dengar
warung itu sepi.
Saat kami travelling ke
Ranu Pakis saat itu, nggak ada satu pun warung. Manusia lewat pun jarang. So,
nggak ada tiket juga. Kayaknya, sih, waktu itu nggak difungsikan buat tempat wisata
pula.
Kami berdiri di pinggir jalan,
nggak terlalu ke semak-semak karena khawatir di depan udah jurang. Di hadapan
kami, danau luas terhampar di bawah. Tampak keramba dan perkampungan di
seberang danau. Terlihat pula satu-dua rakit bambu nelayan yang tengah
berkegiatan di tengah danau. Rakit panjang itu tampak mini sekali dibandingkan danau seluas seratusan hektare itu (tepatnya 112 ha).
Rantai pegunungan memanjang di
kejauhan. Satu puncak tertinggi menarik perhatian karena bentuknya familiar. Saya
arahkan moncong kamera untuk nge-zoom maksimal. Tuh, kan, perasaan saya benar. Itu Gunung Semeru!
 |
Pemandangan di Ranu Pakis. Gunung di tengah merupakan Gunung Semeru. Dataran tinggi di sebelah kanannya adalah rantai Pegunungan Bromo-Tengger-Semeru |
Rasanya pengin lompat-lompat
kegirangan. Sekujur badan kayak dipenuhi kembang api yang berpijar cerah.
Senang banget! Karena saya
udah bertahun-tahun nggak ngelihat Semeru. Kangen!
Nggak nyangka bisa ngelihat gunung
yang jadi atap tertinggi Pulau Jawa dari sini. View danau, gunung,
hutan, dan aktivitas manusia, semuanya dalam satu frame! Pemandangan
yang nggak diduga dan paling cakep sepanjang perjalanan ini lah. Mana deretan rangkaian
Pegunungan Tengger kelihatan juga dari sini, lagi!
Speechless lah saya.
... Kemudian kembang api dalam
hati itu padam. Kamera saya berkedip. Baterainya habis.
Tidaaaak!
Kamera itu mati-ti. Yah... gimana lagi. Akhirnya saya motret pakai kamera HP. Padahal waktu itu
cahaya belum begitu terang dan kamera HP saya nggak terlalu bagus. Jadilah foto-fotonya
nggak memuaskan.
Oleh karena itu kalau ada yang
ngerasa kalau foto di Ranu Pakis ini kayaknya diedit banget, maka memang iya. Saking gelap dan buruknya potret sampai saya kudu edit
banyak kalau mau ngehasilin pemandangan yang mendekati dengan yang mata saya lihat saat itu.
Ranu Pakis adalah danau yang
terluas di antara anggota Segitiga Ranu lainnya. Seberapa luas? Lima kalinya Ranu
Klakah. Jaraknya dengan Gunung Lemongan memang nggak sedekat Ranu Klakah, tapi dari sisi yang berseberangan dengan tempat kami berdiri waktu itu, pemandangan gagahnya Gunung Lemongan dilengkapi luasnya Ranu Pakis, bisa kelihatan. (Kayaknya di sisi keramba/perkampungan, kalau lihat dari foto orang-orang)
Ranu Pakis meski hingga kini letaknya
terpencil dan lumayan out of the radar, toh ternyata sudah tercatat
dalam buku tahun 1850-an. Yak, tebakan Anda benar, lagi-lagi bukunya Junghuhn.
 |
Atas: Ranu Pakis, 2020 - Bawah: Ranu Pakis, 1931. Bentuk bukitnya sama. |
Legenda Ranu Pakis ...
... adalah
salah satu hal yang dicatat Junghuhn dalam bukunya. Kalau menurut saya bukan
legenda, tapi lebih tepat disebut genesis atau cerita terjadinya Ranu
Pakis.
Dalam buku itu, regent (bupati?)
Lemadjang menuturkan bahwa area yang sekarang jadi ranu Pakis adalah tanah
datar dan kering 50-100 tahun sebelumnya. Di atasnya tumbuh kayu/pohon peletholtz
(ini pohon apa ya? Cari terjemahannya nggak nemu) yang keras dan biasa digunakan
untuk gagang keris. Namun tanah itu tiba-tiba turun, tenggelam, lalu terisi
air. Awalnya cuma 5 kaki, lama-lama makin ambles dan terisi air hingga sedalam 450 kaki atau sekitar 137-an meter.
Bila penuturan itu benar, maka
dugaan Junghuhn yang berkata bahwa ranu-ranu ini bukan bekas kawah yang meledak
jadi cocok. Dia menduga ranu-ranu ini adalah material hasil erupsi yang runtuh (karena
materialnya porus); sama seperti penuturan sang regent.
(Atau dia kepikir teori ini justru setelah dengar perkataan regent?)
Well, apa pun
itu, pemandangan dari Ranu Pakis jadi salah satu panorama yang super-cakep dan nggak
terlupakan.
Kadang travelling emang
nggak se-nggak disangka-sangka itu. Sesuatu (tempat) yang kirain biasa-biasa
aja, ternyata malah jadi salah satu yang paling istimewa.
Mitigated, but still unpredicted
and unexpected. Sama seperti hidup.
📷 TIPS
Kalau ingin lihat pemandangan
- Ranu Pakis + Gunung Semeru = lihat/datang dari arah utara
(dari arah Ranu Klakah, langsung ada jalannya di Google Maps) - Ranu Pakis + Gunung Lemongan = lihat dari arah selatan
(bisa dari arah pasar/stasiun lalu masuk ke perkampungan. Di Maps masukin aja Pasar/Stasiun Klakah buat titik awal)
==========
(Updated)
Referensi:
Junghuhn, F. (1854). Java,
Seine Gestalt, Pflanzendecke und Innere Bauart, Part 2. Arnoldische
Buchandlung, Leipzig.
Kasnowihardjo, G. (2007).
Penelitian dan
pengembangan situs permukiman lingkungan danau di Jawa Timur: satu upaya
menjalin kemitraan dalam pengelolaan sumberdaya arkeologi. Berkala Arkeologi
(27): 1-9.
Kasnowihardjo, G. (2017).
Manusia dan Ranu: Kajian Arkeologi Permukiman. Kepel Press, Yogyakarta.
Pemkab Lumajang. www.klakah.lumajangkab.go.id
Yudiantoro, D.F., R.T. Perwira, dan M.O.B. Nugroho. (2019). Geology of Lamongan volcanic rocks study at Ranu Pakis, Klakah, Lumajang, East Java Province, indonesia. JGGET (4): 263-270.