Hijaubiru

Jumat, 28 Maret 2025

Catatan Perjalanan Pendakian Argopuro (part 0)
Maret 28, 20250 Comments

 

Akhir-akhir ini hujan turun hampir setiap hari. Hari-hari mendung kelabu begini bikin keingat bermacam memori terutama yang terjadi di musim hujan. Salah satu hal yang hampir selalu muncul di ingatan saya saat hujan turun deras tanpa henti begini adalah perjalanan pendakian ke Gunung Argopuro.

 

Satu hal ikonik yang membuat pendakian  itu identik dengan musim hujan adalah: karena selama enam hari hiking itulah kami bertujuh selalu diguyur hujan. Kami melalui jalur Baderan-Bermi jadi memang jalannya panjang. Waktu itu juga akhir Januari, jadi emang lagi musim penghujan.

 

Kejadiannya memang udah bertahun-tahun lalu, tapi masih memorable. Selain karena ingatan digembleng hujan saban hari, pendakian ke Argopuro jadi salah satu perjalanan paling berkesan buat saya karena banyak ceritanya! Trek ini merupakan jalur pendakian terpanjang di Jawa dan menjadi salah satu gunung yang pemandangannya bagus banget (vegetasinya macam-macam!). Flora dan faunanya juga kaya. Ditambah lagi dengan jejak sejarah berupa puing-puing bangunan dari zaman kolonial hingga zaman kerajaan Hindu yang masih berdiri di tengah-tengah hutan, tegak bergeming meski diterpa ganasnya cuaca pegunungan dan digerus zaman selama ratusan tahun.

 

Nature and history in one place? Yes, please!

 

By the way, karena pendakiannya lama (total 7 hari = 6 hari hiking + 1 hari perjalanan antarkota) maka catper (catatan perjalanan) ini bakal dibagi ke beberapa bagian. Soalnya kalau digabung satu postingan bakal panjaaang banget dan pasti pembaca (sekaligus yang nulis, wkwkwk) pusing.

 

Rencananya akan bikin satu postingan yang ngerangkum tujuh hari pendakian ini dalam satu postingan pendek. Well let’s see later...

 

Link postingan catatan perjalanan pendakian Argopuro:

🔗 Hari 0

🔗 Hari 1: Baderan – Mata Air 1

🔗 Hari 2: Mata Air 1 – Cikasur

🔗 Hari 3: Cikasur – Rawa Embik

🔗 Hari 4: Rawa Embik – Puncak

🔗 Hari 5: Sabana Lonceng – Danau Taman Hidup (DTH)

🔗 Hari 6: DTH – Desa Bermi

 

  

[NB: beberapa kisah dan penjelasan yang berhubungan dengan sejarah dan  kebumian diambil dari beberapa referensi. Namun, bisa aja ada kekeliruan dalam tulisan ini entah karena saya keliru memahami/interpretasi/ambil sumber. Jadi mohon maaf kalau ada ketidaktepatan isi, harap cross-check ke sumber yang lebih kredibel atau sumber primer]

 

 

Hari 0

 To be continued...

Reading Time:

Rabu, 26 Maret 2025

Refleksi Menulis: Ketika Berlatih Menulis dari Awal (part 2)
Maret 26, 20250 Comments


 


Ada beberapa hal yang harusnya masuk di tips postingan 🔗Langkah-Langkah Berlatih Menulis dari Awal (Lagi). Tapi karena nggak tahu mau dimasukin di mana supaya semua paragrafnya masih koheren, jadi ditulis terpisah aja, hehe.

 

By the way, dua postingan ini emang kesannya personal dan spesifik karena sebetulnya ditulis buat ngurai hambatan yang saya temuin waktu latihan nulis kemarin. Rasanya lebih clear aja kalau ditulis, nggak dibayangin ngawang. Mau ditulis di notes tapi biasanya ketumpuk dan kelupaan sehingga nggak dibaca. Jadi ditulis di blog aja supaya keinget kalau buka browser.

 

Here we go...


 

Kosakata Fiksi vs Non-Fiksi

Jadi gini, ada beberapa perbedaan yang saya rasakan waktu ngelakuin rangkaian latihan yang ditulis di bagian 1 di atas. Perbedaan itu kerasa banget saat nulis fiksi dan non-fiksi. Tentu, tulisan non-fiksi lebih rigid daripada fiksi. Namun karena saya nulisnya non-fiksi naratif, maka harusnya bisa juga dibuat ngalir dan emosinya lebih kerasa.

 

Namun non-fiksi naratif saya masih kaku. Banget. Too much data kalau saya rasa. Yang sebenarnya nggak apa-apa asalkan dibarengi dengan selingan kalimat dan kata yang memicu timbulnya emosi ke permukaan. Masalahnya, ini enggak. Dan saya nemu satu akar masalahnya: kosakatanya nggak variatif.

 

Yes, entah mengapa kosakata yang saya pakai di non-fiksi lebih nggak variatif dibanding fiksi. Mungkin karena kalau fiksi, saya nyadar ‘rodanya’ adalah emosi sehingga saya pun ngasih effort dan perhatian lebih untuk cari kata yang sesuai dengan tujuan. Nah, non-fiksi, asal informasinya udah kesampaian, saya ngerasa udah cukup. Dan penyampaian info ini nggak butuh variasi kata yang gimana-gimana, beda dengan penyampaian emosi yang butuh kata-kata tertentu yang bikin saya menguras otak dan lebih rajin buka kamus dan tesaurus.

 

Jadi, kesimpulan untuk poin ini:

Pilihan kata atau diksi yang saya pakai kurang variatif, khususnya dalam non-fiksi. Thus, tulisan non-fiksinya kaku karena emosi yang saya rasain di lokasi nggak nyampai ke tulisan/pembaca.

 

Solusi:

(1) lebih libatkan emosi di non-fiksi atau variasikan diksinya, (2) latihan nulis fiksi terus jalan supaya kosakatanya kebawa di jenis tulisan apa pun.

 

 

Emosi yang Kurang Mengena di Non-Fiksi Naratif

Saya pun baru nyadar bahwa beda dengan catatan perjalanan (catper) atau travel notes yang saya buat duluuu sekali, catper saya akhir-akhir ini lebih banyak datanya daripada cerita pengalaman pribadi saya. Kalau dulu, itu cerita perasaan, kesan tentang pemandangan, dan semacamnya bisa jadi 1-2 halaman sendiri. Di catper yang paling terakhir kemarin, itu deskripsi palingan cuma 1 paragraf. Kadang malah beberapa baris aja.

 

Catper yang baik seharusnya seimbang antara cerita pengalaman diri sendiri dan kisah tentang tempat itu sendiri. Nah, ini yang saya nggak balance. Kalau dulu lebih banyak pengalaman pribadinya, sekarang malah banyakan datanya.

 

Jadi PR kedua adalah: memperbaiki imbalance pengalaman pribadi dan data-data ini.

 

Hm... apa lagi ya...

 

 

Menulis Rutin Itu Berat

Oh iya, menulis sesuai jadwal itu... berat. Jangankan setiap hari, sekali seminggu aja kadang rasanya udah mengisap energi.

 

Saya pun bukan tipe orang yang bisa nulis setiap hari. Sejak dulu, saya memang menggunakan hari-hari tertentu aja buat nulis. Masalahnya adalah semakin ke sini, semakin saya menulis sambil mengedit sehingga di hari-hari menulis itu malah tulisan saya mandek karena penginnya itu tulisan langsung selesai. Akhirnya malah sering berhenti lamaaa buat mikir dan malah nggak enjoy nulis seperti dulu karena kebanyakan mikir. Akhirnya, saya merasa pikiran dan jari saya pun macet mengetikkan kalimat-kalimat yang dulu mengalir lancar.

 

Tulisan nggak kunjung tamat, isi pikiran macet di ujung lidah tanpa diketik. Stuck.

 

‘Nggak bisa begini, nih’, batin saya.

 

Apalagi di saat yang bersamaan, saya ngerasa kosakata saya berkurang drastis. Ini juga yang jadi alasan kenapa mikirnya lama.

 

In the end, I resorted to one thing I rarely considered doing: nulis setiap hari tanpa mikir panjang. Tujuan nulis-30-hari ini memang sejatinya bukan buat ‘nulis’, tapi lebih buat melenturkan kosakata dan melancarkan pikiran. Cuma nulis 1-2 paragraf pendek pun oke.

 

Dan... bener aja, setelah nulis-bebas-30-hari, saya jadi lebih loss mengutarakan maksud dalam tulisan. Kosakata yang sempat hilang, perlahan kembali.

 

Setelah ngetiknya mulai lancar, frekuensi nulisnya saya kurangi jadi seminggu 1-2 kali aja. Itu pun ternyata masih kerasa berat, hahaha. Tapi ya udahlah, kalau nurutin mood kayaknya tulisan saya bakal lamaaa selesainya.

 

Jalanin dulu, evaluasi lagi nanti.




Photo by M. Harris on Unsplash

Reading Time:

Senin, 10 Maret 2025

Refleksi Menulis: Langkah-Langkah Berlatih Menulis dari Awal (Lagi)
Maret 10, 2025 16 Comments

 


Ketika udah lama nggak nulis atau nggak nulis tipe tulisan tertentu, biasanya kemampuan menulis seseorang jadi kaku. Skill-nya nggak hilang, tapi mungkin butuh dibangkitkan alias dibiasakan lagi.

 

Cara ‘membangkitkan’ kemampuan nulis (lagi) ini bisa beda-beda tiap orang. Bahkan, di satu orang pun caranya bisa beda-beda tergantung tipe tulisan yang ingin dibuat. Seenggaknya itu yang saya rasain kemarin.

 

Pendek cerita, jelang akhir tahun lalu saya pengin ngerutinin nulis lagi. Pasalnya kalau dilihat-lihat kayaknya udah lama nggak nulis panjang dan (rada) serius. Dirasa-rasa juga skill nulis khususnya perbendaharaan kosakata makin menurun. Jadi, mungkin udah saatnya nggak menulis random demi nyoret to-do-list di agenda aja.

 

Bukan berarti nulis random yang kayak menggugurkan kewajiban tadi jelek. Menurut saya itu udah lumayan. Daripada nggak sama sekali. Namun setelah berbulan-bulan berasa nulis tanpa arah, mungkin kini saatnya nulis dengan lebih terarah.

 

Jadi, langkah pertama untuk mulai menulis dari awal (lagi) adalah...


 

1. Temukan Masalahnya Apa

Langkah ini bisa dilewati kalau baru mau menulis dari nol. Menemukan masalah maksudnya adalah mendaftar apa aja kekurangan tulisan (atau skill menulis) kita. Tujuannya supaya kita bisa tahu apa aja yang harus diperbaiki atau dilatih lagi, sehingga di langkah selanjutnya bisa ngerumusin latihan macam apa yang cocok. 

 

 

2. Berlatih Menulis Setiap Hari Selama 1 Bulan

Yup, setiap hari. Bukan rutin. Rutin artinya teratur, yang berarti bisa jadi dua hari sekali, seminggu sekali, bahkan sebulan sekali tapi dilakukan setiap bulan juga bisa dibilang teratur. Nah, kalau mau nulis lagi setelah sekian lama vakum, menulis tiap hari membantu banget buat menciptakan suasana alias vibes menulis.

 

Tahun lalu, saya mencoba menulis setiap hari selama sebulan. Berat? Iya. Apalagi saya tahu bahwa saya bukan tipe orang yang bisa nulis tiap hari, tapi lebih pada tipe yang lebih optimal jika meluangkan—katakanlah—1 atau 2 hari dalam sepekan untuk menulis. Namun cara ini tetap saya lakukan untuk ‘memancing suasana’ tadi.

 

Tulisannya pendek-pendek? Nggak apa-apa. Namun saya membatasi diri sendiri: minimal 1-2 paragraf. Panjang tulisan ini saya tentukan supaya saya terbiasa mengeluarkan kata-kata. Tujuan langkah kedua ini memang supaya lebih lancar menghasilkan kalimat, agar tangan dan otak lebih lentur dan bebas.


Awalnya mungkin sulit. Kata-kata seperti mandek. Itu-itu aja. Namun lama-lama, kalimat itu memanjang dan menjadi paragraf. Bahkan kadang sampai satu halaman A4 atau lebih.

 

2.1. Tulis Sekarang, Edit Kapan-Kapan

Ngerasa tulisan belum bagus? Nggak apa-apa. Edit nanti, tulis dulu sekarang. Kemarin pada tahap ini saya cuma ngedit ejaan, isi sama sekali nggak saya sentuh. Seperti di atas, menulis tiap hari ini bertujuan agar kita lancar meluncurkan kata-kata dulu.

 

2.2. Tentukan Ide Tulisan Selama Sebulan

Bingung apa aja yang mau ditulis selama 30-31 hari?

Ada banyak cara. Di internet ada banyak tips ‘mencari ide menulis’. Paling gampang ya cerita sehari-hari yang kita alami. Tapi gimana kalau pengin nulis fiksi? Bisa pakai tema atau prompt. Kemarin saya pakai 30-days prompts yang saya temukan di akun-akun Instagram penulis. Ambil satu fragmen kejadian di hidup kita dan diselipkan ke tulisan fiksi pun bisa banget. Intinya banyak topik yang bisa dipakai.

 

Cara lebih mudah supaya nggak tiap hari cari tema baru:

Siapkan tema selama sebulan itu, di awal. Misalnya, kemarin saya sempat pakai topik “tempat-tempat yang bercerita”. Jadi sebulan itu saya nulis kisah tentang tempat-tempat di beragam lokasi; keunikannya, legenda, kebiasaan masyarakat, dsb. Kalau bosan, saya ganti dengan bikin cerpen yang setting-nya di sebuah lokasi.

 

Itu tadi tulisan non-fiksi. Gimana kalau fiksi? Sama aja. Malah enaknya kalau fiksi, kita bisa pakai kesempatan ini untuk menggali dan mengenal cerita kita lebih dalam. Apalagi kalau cerita itu kita niatkan untuk dijadikan novel. Bisa banget tuh tiap hari kita nulis tentang, misalnya: karakterisasi tokoh-tokohnya, eksplorasi setting dan konflik, dsb.

 

Kemarin kalau lagi kehabisan ide, saya pakai satu kejadian lalu diceritakan dari sudut pandang berbagai karakter. Contohnya kejadian barang hilang. Hari ini diceritakan dari POV tokoh utama A, besok dari POV tokoh B, lusa dari POV tokoh sampingan C, dsb. Satu kejadian bisa habis seminggu sendiri, tuh.


 

3. Menulis Rutin Selama 1 Bulan + Koreksi

Setelah jemari dan otak kita sudah lentur meluncurkan kata-kata, langkah selanjutnya adalah mengurangi frekuensi menulis. Bisa 4 kali saja dalam sebulan, 2 kali, atau bahkan hanya 1 tulisan dalam sebulan. Lho, kok?

 

Kelihatannya seperti berkebalikan, tapi ini adalah tahap selanjutnya untuk ningkatin skill tulisan. Bila di tahap sebelumnya kita menulis ngalir tanpa editing, maka di tahap ini kita mulai mengedit. Oleh karena itu frekuensi nulisnya dikurangi karena diseling dengan memperbaiki kekurangan kita dalam menulis (yang udah terumuskan di poin 1. Atau nemu kekurangan baru setelah melalui langkah 2)


Langkah ini nggak sengaja kepikiran setelah saya baca ulang tulisan selama 30 hari di atas. Rasanya, kok, tulisanku gitu-gitu aja, ya? Saya ngerasa ada (banyak) yang kurang. Kekurangan inilah yang kemudian dirumuskan di poin 1 tadi, untuk kemudian diatasi di poin 3 ini.

 

 

3.1. Beda Kasus, Beda Koreksi

Kekurangan tiap orang bervariasi sehingga koreksi di tahap ini bisa beda-beda tergantung kasusnya. 


Buat saya, masalahnya adalah:

  • Untuk tulisan fiksi, emosinya masih kurang terasa/berasa datar
  • Untuk tulisan fiksi, eksekusi konfliknya masih biasa aja
  • Untuk non-fiksi, kadang terlalu info-dump
  • Untuk non-fiksi, kosakata atau diksi yang digunakan kurang bervariasi, sehingga
  • Untuk non-fiksi naratif, emosi pembaca jadi kurang bangkit karena terfokus di data
  • Untuk non-fiksi, alurnya masih lompat-lompat sehingga pembaca (termasuk saya) ngerasa kurang ngalir/paham saat dibaca.

Setelah masalahnya ketemu, baru kita rumuskan koreksinya.

3.2. Membaca: Solusi Semua Koreksi

Koreksi dari semua persoalan di atas umumnya beda-beda. Namun ada satu yang hampir meng-kover semuanya: lebih banyak baca!

 

Emosi kurang terasa? Baca buku fiksi dan perhatiin gimana penulisnya membangkitkan emosi pembaca. Kosakata itu-itu aja? Baca apa pun itu, koran kalau perlu, supaya perbendaharaan kosakata nambah. Cara paling praktis: buka kamus atau tesaurus.

 

3.3. Buat dan Bedah Strukturnya

Untuk persoalan lain, seperti alur dan info dump, bisa dikoreksi dengan membedah struktur tulisan. Oh my... sesungguhnya saya bukan tipe orang yang suka nulis berbekal kerangka yang rigid. Lebih suka ngalir aja gitu. Namun untuk beberapa kasus, mau-nggak-mau saya harus ngaku kalau saya butuh kerangka.

 

Kerangka tulisan di sini nggak harus yang detail banget per bagian. Kalau ada orang yang suka ngerumusin detail, it’s okay. Saya sendiri tipe yang kerangkanya lebih kayak garis besar (bahkan kadang nggak ditulis, tapi ngawang di kepala aja) terutama saat nulis fiksi. Kalau nulis non-fiksi yang ada banyak data, barulah saya bikin kerangka lebih detail supaya nggak bersusah-payah inget-inget data bejibun dalam kepala.


Setelah masalah + koreksi ditemukan, selanjutnya adalah menentukan rutinitas. Mau berapa kali nulis dalam seminggu/sebulan?


3.4. Tentukan Rutin

Untuk langkah satu ini, saya pakai cara hitung mundur. Mirip cara tracking progress gitulah. Misal targetnya satu tulisan final tiap minggu. Maka tulisan itu jadi tiap weekend, sehingga 1-2 hari sebelumnya tulisan itu sudah harus jadi sehingga bisa diedit. Artinya saya punya waktu 2-3 hari untuk nulis. Hari 1-2 bisa dipakai untuk ‘membedah’ tulisan, termasuk menyusun kerangka, alur, cari data, dsb.


Contoh gampangnya seperti ini:

  • Hari 1: tentukan isi, cari data, tentukan kerangka
  • Hari 2: temukan kekurangan kerangka, perbaiki
  • Hari 3-5: nulis (bisa selama 3 hari itu, bisa 1 hari aja. Tergantung keinginan dan kemampuan/waktu luangnya)
  • Hari 6-7: editing
  • Hari 7: naskah jadi. Kalau mau bisa di-upload ke medsos dsb.

 

Ini contoh aja. Dalam kenyataannya, semua tergantung kita cocoknya gimana. Saya pernah maksain, dan hasilnya nggak begitu bagus karena malah stres dan nggak rileks nulis. Pernah juga malah nggak kegarap semuanya karena bikin plan yang terlalu padat.

 

Contoh 1 tulisan per minggu di atas juga cuma gambaran. Saya rasa, panjang dan isi tulisan amat menentukan durasi yang dibutuhkan. Pun tipe tulisan. Untuk tulisan yang data-driven atau panjang, saya bisa butuh waktu satu bulan sendiri buat satu naskah. Ngumpulin datanya bisa habis 1-2 pekan sendiri. Belum kalau ada foto, maka harus nyortir dan milihin mana yang sekiranya cocok.

 

‘Perlakuan’ untuk tulisan fiksi dan non-fiksi pun berbeda. Tergantung kita lebih lihai di mana, di situlah kita mungkin butuh waktu lebih sedikit untuk memolesnya (karena udah lebih ahli).

 

Pada akhirnya saya memutuskan mengambil ‘resep’ ini:

  • 1 tulisan non-fiksi atau panjang per bulan
  • 1 tulisan fiksi per bulan
  • 1 tulisan (pendek) per minggu

 

Apakah berhasil? Bulan kemarin, sih, belum, hahaha. Masih ada missed karena fiksinya nggak kegarap. Entahlah bulan ini. Let's see 😄




Update: 

🔗 bagian 2 | Ketika Berlatih Menulis dari Awal



(Photo by M. Harris on Unsplash)

 

 

Reading Time:

Selasa, 28 Januari 2025

Kilas Balik 3 Ranu di Lumajang: Ranu Klakah, Pakis, Bedali
Januari 28, 2025 2 Comments

 

Kalau dengar kata ‘ranu’, yang terbetik di benak sebagian orang mungkin adalah Ranu Kumbolo, sebuah danau yang terletak di trek pendakian Gunung Semeru. Namun sebenarnya ada banyak danau lain yang punya nama depan ‘ranu’. Ranu Klakah, Ranu Pakis, dan Ranu Bedali di Kabupaten Lumajang contohnya.

 

Kata ‘ranu’ sendiri punya arti ‘danau’ dalam bahasa Jawa. Nggak tahu ini istilah khusus di Jawa Timur aja atau ada juga di Jawa bagian lainnya. Soalnya kayaknya saya nggak/belum pernah dengar istilah ini dipakai di danau Jateng/DIY.

 

Di Jatim ada banyak danau yang disebut ranu. Maksudnya, nama resminya memang pakai ‘ranu’ di depannya. Dan—nggak tahu ini saya kebetulan nemunya yang mayoritas kayak gini atau gimana—ranu-ranu ini terbentuk akibat aktivitas vulkanik a.k.a aktivitas gunung berapi. Termasuk tiga ranu yang bakal kita obrolin sekarang.

 

Perjalanan ke Segitiga Ranu itu sebenarnya nggak direncanakan. Waktu diajakin jalan, saya ditawarin antara ke Pacet-Trawas (Mojokerto) atau Malang. Saya mengusulkan tempat yang belum pernah dikunjungi sebelumnya: Lumajang. Tujuan utamanya: Ranu Klakah.

 

“Jauh itu. Kita naik motor, lho,” sanggah partner jalan saat itu.

 

“Terus ke mana? Lumajang pemandangannya juga bagus-bagus, lho.”

 

Pendek kata, berangkat juga kami ke salah satu kota di Kawasan Tapal Kuda itu dengan ‘iming-iming’: tempatnya bagus dan nggak begitu ramai jadi bisa lebih santai.

 

Itu percakapan beberapa tahun lalu. So, perjalanan ini emang kejadiannya nggak barusan di 2025 atau 2024 tapi beberapa tahun sebelum itu. Jadi beberapa info terkait tempat-tempat ini, terutama view secara visual, bisa jadi udah berubah banyak. Namun karena momennya pas, jadi pengin nostalgia nyeritain jalan-jalan ke tempat cakep ini. Nanti deh bakal cerita kenapa momennya pas.

 

Pemandangan alam Kabupaten Lumajang emang bagus-bagus, nggak kalah sama kota wisata lain di Jatim. Bahkan sebagian area Semeru dan Ranu Pani-Regulo-Kumbolo pun secara administratif masuk Lumajang. Air terjun Tumpak Sewu, air terjun Kapas Biru, dan pemandangan Mahameru dari Pronojiwo juga kayaknya kece abis (jadi makin pengin ke sana, hehe).

 

Cuma mungkin nama Lumajang kurang akrab aja di sebagai tujuan wisatawan apalagi yang berasal dari luar Jatim. Yang paling terkenal, ya, sekitaran Surabaya atau Malang/Batu. Sekarang mungkin ketambahan Banyuwangi dan sekitarnya, karena kayaknya belakangan pariwisata mereka lagi digenjot. Namun kalau nyari tempat yang lebih tenang, Lumajang bisa banget jadi tujuan.

 


 DAFTAR ISI 


 Postingan ini panjang, haha. Banyak selipan cerita di antara perjalanannya. Jika ingin to-the-point ke ranunya, bisa klik poin di daftar isi supaya langsung ke bagian itu 

 

[NB: meski beberapa penjelasan dalam postingan ini ditulis berdasarkan referensi, bisa jadi ada yang kurang tepat (terutama tentang sejarah dan kebumian). Mungkin data yang dirujuk udah terlalu lama, sumber yang saya ambil keliru, atau saya salah tulis/interpretasi. Oleh karena itu mohon maaf kalau ada yang kurang tepat dan pembaca disarankan cross-check ke sumber yang lebih pasti]

 

 

Segitiga Ranu Lumajang

Ranu Klakah, Ranu Pakis, dan Ranu Bedali adalah danau-danau yang disebut ‘Segitiga Ranu Lumajang’ karena letaknya yang dekat satu sama lain. Jarak Ranu Klakah ke Ranu Pakis kurang lebih cuma 1 km, sedangkan Ranu Klakah ke Ranu Bedali cuma 5 km-an.

 

Kalau ngelihat data di file foto, perjalanan Ranu Klakah-Pakis cuma 5 menitan. Jam 5.50-an WIB masih ambil foto di Ranu Klakah, jam 6 pas udah siap berpose di Ranu Pakis. Padahal waktu itu nyetir motornya nyantai banget.

(Aslinya mah saya nggak begitu merhatiin seberapa jauh/lama perjalanannya, haha. Cuma rasanya emang cepat. Akhirnya cek properties di file foto buat ngecek waktu pengambilan. Ternyata tips nulis catatan perjalanan yang pernah dibahas di 🔗di postingan ini berguna juga buat nguprek-uprek perjalanan meski udah lamaaa banget jalan-jalannya).

 

Ranu Klakah berlokasi di antara Ranu Pakis dan Bedali. Apa titik lokasi tiga ranu ini membentuk segitiga? Nggak juga. Kalau ditarik garis malah lebih mirip satu garis lurus. Kemungkinan dinamain segitiga karena lokasinya yang dekat banget. Jadi sekali jalan, bisa berkunjung ke tiga danau dalam sehari.

 

Selain tiga ranu ini, di Kab. Lumajang sebenarnya punya banyak ranu lainnya. Begitu juga di kabupaten tetangganya. Uniknya, banyak di antara ranu-ranu ini yang kayak muncul mengelilingi kaki Gunung Lemongan. Nah, Gunung Lemongan ini adalah gunung berapi yang lokasinya di tepat di depan Ranu Klakah.

 

Sebaran ranu di sekitar Gunung Lemongan
(Klik tiap gambar untuk tampilan lebih jelas/nggak ke-stretch)

Fenomena gunung yang dikelilingi banyak danau ini disebut-sebut cukup unik oleh para geolog. Soalnya, danau yang mengelilingi G. Lemongan ini banyak banget: ada 27 biji! Di antara 27 itu, 13 ranu masih terisi air seenggaknya sampai tahun 1990. Namun dengar-dengar makin ke sini makin susut airnya.

 

Kenapa bisa banyak danaunya?

Karena ranu-ranu itu emang hasil aktivitas vulkanik Gunung Lemongan. Makanya mereka disebut juga sebagai danau maar. Danau-danau ini terletak di kaki gunung karena aktivitas G. Lemongan cukup aktif sampai ke dasar gunung; nggak di puncaknya aja, tapi ‘tepi’-nya juga.

 

Franz Wilhelm Junghuhn (naturalis Jerman yang direkrut Belanda untuk mengeksplor nusantara) mengajukan pendapat bahwa ranu-ranu ini sepertinya bukan hasil/bekas kawah yang meledak, tapi lebih karena ada tumpukan material vulkanik hasil erupsi gunung yang kemudian (1) runtuh di bagian yang berpori, atau (2) mengalami penurunan tanah secara tiba-tiba, kemungkinan akibat gempa.

 

Makanya, menurut Junghuhn, ranu-ranu di sekitar G. Lemongan ini berbentuk telaga kecil dan cekung yang serupa mangkuk di sekitar tanah datar, sedangkan dindingnya curam. Telaga-telaga ini ia sebut-sebut terletak di kaki gunung dan tersembunyi di antara hutan.

 

Kalau dilihat-lihat, memang iya. Ranu Bedali jadi salah satu yang paling memenuhi deskripsi di atas. Di sisi lain, Ranu Klakah nggak punya ‘dinding’ dan kelihatan kayak danau ‘biasa’. Ranu Pakis? Kombinasi keduanya.

 

Kayak gimana, sih, penampakan danaunya? Sebelum ke arah sana, kita bahas dulu gimana caranya ke sana.

 

 

Naik Apa ke Sana?

Karena ini catatan perjalanan, maka selain ngomongin lokasinya, kita juga ngomongin gimana perjalanannya. Keep in mind kalau ini berdasarkan yang saya lakuin bertahun-tahun lalu, jadi sekarang beberapa hal mungkin udah berubah meski ada yang tetap sama.

 

Ada beberapa opsi: kereta api, mobil, atau motor.

 

Buat kereta api, enaknya adalah kita nggak capek di jalan. Tinggal duduk dan kemudian sampai di Stasiun Klakah, yang masih satu kecamatan sama segitiga ranu ini. Kekurangannya adalah begitu sampai di sana, kita harus sewa kendaraan untuk muter-muter. Naik transpor umum atau angkot kayaknya nggak ngatasin karena beberapa tempat lokasinya masuk banget alias mblusuk sehingga nggak kekover angkot. Waktu itu sempat ngobrol sama mas-mas di dekat Pasar Klakah, dia bilang di sekitar situ ada persewaan tapi mobil aja, motor nggak ada. Jadi mungkin opsi ini lebih cocok buat yang jalan ramean supaya biaya patungan sewa mobilnya lebih murah. (Meski waktu itu teman jalan sempat nyeletuk, “Minta tolong petugas hotel aja, siapa tahu bisa nyewa motornya”. Yaa bisa dicoba, tapi nggak menjamin pasti akan dipinjamin.)

(NB: nggak semua kereta berhenti di Stasiun Klakah)

 

Buat mobil dan motor, rasa-rasanya mirip-mirip. Minus pakai motor pasti lebih capek. Jalan yang ditempuh juga sama. Waktu itu tolnya belum selesai, jadi mobil ya lewat jalan biasa. Namun sekarang tolnya udah sampai Probolinggo, sehingga bisa lebih cepat mobilan sampai Leces (Probolinggo) terus keluar ke arah Klakah.

 

Oh iya, untuk travelling di Lumajang juga bisa pakai jasa open trip. Jadi peserta tinggal saling ketemuan aja di meeting point yang ditentuin agen tur, terus nanti mobilan bareng. Opsi open trip ini lebih murah daripada nyewa mobil dan cocok buat yang pengin nyantai tanpa ngatur itinerary. Di sisi lain, kekurangannya adalah tujuannya udah fixed sehingga kurang cocok untuk yang pengin travelling sambil eksplor tempat-tempat lain. Waktunya juga terbatas. Beberapa tujuan yang sering saya temuin di iklan tur wisata biasanya ke tempat-tempat yang amat happening seperti air terjun Tumpak Sewu atau Kapas Biru. Jadi tiga ranu ini biasanya nggak termasuk.

 

Kalau naik motor, enaknya adalah kita bisa eksplor sampai ke tempat-tempat yang mblusuk bahkan jalannya nggak aspal. Namun risikonya ya itu... capek. Perjalanan Surabaya-Lumajangnya aja udah makan waktu sepagian.

 

Waktu itu kami juga naik motor. Kami cabut dari Surabaya jam 06.00-an pagi dan sampai Ranu Bedali jam 10.30-an. Ini pakai kecepatan standar dan nyetirnya santai, plus sempat berhenti 30 menitan di rest area.

 

Lewat mana? Cukup ikuti petunjuk di Google Maps. Jalan arah Lumajang ini jalan gede (banget); termasuk jalur lintas-kota dan lintas-provinsi. Jadi untuk sampai sana akan kecil kemungkinan nyasar karena ada papan petunjuk hijau gede-gede.

 

👉 RUTE: 

Sepanjang jalan ini ada beberapa tempat/daerah yang kami jadiin checkpoint (supaya antartitik nggak berasa jauh-jauh amat, hehehe). Rutenya yaitu (nama kota digarisbawahi): Surabaya > Sidoarjo > Gempol > belok kiri > Bangil > Pasuruan > Grati (ada ranunya juga di sini!) > Tongas > Probolinggo > Leces > Klakah (Lumajang).

 

Kalau dilihat di peta, ini perjalanan arahnya ke selatan (bawah) sampai Sidoarjo, lalu belok ke timur, lalu belok lagi ke selatan.

 

Waktu itu musim hujan. Cuaca mendung sejak jam enam, tapi untungnya nggak hujan. Malah di beberapa daerah tepi pantai macam Pasuruan, matahari terik banget sampai pengin rasanya lepas jaket.

 

Kami menyusuri jalan-jalan amat lebar. Kadang di sisi kanan jalan barengan dengan truk atau kontainer. Kadang ngeri-ngeri sedap rasanya, meski antarkendaraan ada jarak dan nggak mepet-mepet banget.

 

Di kiri-kanan sering nampak rest area dari kecil sampai besar. Saya ngebayangin pas musim mudik lebaran, ini rest area pasti penuh orang. Beda sama sekarang yang sepi mamring. Di sebelah kiri, beberapa kali kami berkendara bersisian dengan kereta yang sedang melaju. Sepertinya itu kereta tujuannya kalau nggak ke Jember ya Banyuwangi. Sempat saya tangkap tulisan “Sri Tanjung” di badan kereta; kereta yang beberapa kali saya naiki kalau ke Yogya.

 


Cerita di Jalan

Debu halus beterbangan, terasa lengket di kulit. Meski slayer menutupi separuh wajah, tetap aja kening rasanya kotor. Jalan masih lebar memanjang di depan mata.

 

Jalan lintas provinsi ini memang ramai dan jadi jalur transportasi utama sejak berabad-abad lalu. Yes, you guess it right, ini adalah potongan Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) yang diperbagus tim Daendels di era 1800-an. Lintasan ini mengular sepanjang Pulau Jawa; dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Jatim).

 

Sebelum era Daendels, jalan-jalan ini udah ada. Malah, beberapa ruas jalan ditengarai udah sering dipakai sejak kerajaaan-kerajaan di Pulau Jawa sedang jaya-jayanya. Nah di era Daendels jadi gubernur jenderal Hindia-Belanda, jalan-jalan ini dibagusin (dan beberapa ruas disambungin) supaya jalur komunikasi dia dengan staf-stafnya lebih lancar dan lebih gampang ngirim barang atau mobilisasi pasukan.

 

Jadi jangan takut nyasar di area ini karena sejak zaman kerajaan aja jalurnya udah jelas. Apalagi sekarang.

 

Jejak-jejak masa lalu masih bisa kita lihat sepanjang perjalanan. Kadang berkelebat di antara gedung dan bangunan lawas yang gayanya vintage banget. Apalagi ketika jalan ini sedang membawa kita melintasi area-area kota lama seperti daerah Bangil, misalnya. Bangunan-bangunan tumbuh berderet berdempetan dengan warna hampir seragam; putih kekuningan atau kecokelatan.

 

Kadang rasanya kayak ‘diizinkan’ mengintip tabir waktu ketika daerah-daerah itu sedang hidup di awal 1900-an atau 1990-an. Vibes-nya... khas.

 

Saya beruntung di perjalanan kali ini jadi pihak yang membonceng di jok belakang, sehingga bisa lebih santai lihat pemandangan. Kalau nyetir kayaknya nggak bisa sesantai itu karena harus fokus di lalu lintas padat ini. Gimana enggak, belum sampai Leces aja kami udah ngelihat dua kecelakaan.

 

Macet onok opo, Mas? Truk mogok ta?” tanya pengendara di depan kami pada seorang pemuda yang membantu mengatur lalu lintas.

 

“Gak, onok sing tabrakan.”

 

Mendapati beberapa kecelakaan dalam satu lintasan, tak pelak muncul rasa ngeri. Yah, beberapa titik di jalur perjalanan ini emang udah terkenal sebagai ‘jalur tengkorak’ sejak lama, alias titik yang rawan/sering terjadi kecelakaan.

 

Berhasil menerobos kemacetan, motor pun kembali melaju.

 

Matahari sudah tinggi ketika kami bertemu dengan plang besar bertuliskan ‘Bromo’. Ah, akhirnya sampai juga di Probolinggo. Sebentar lagi udah Lumajang.

 

Pintu masuk Bromo yang paling terkenal (dan paling gampang diakses transum, kayaknya) memang via Malang. Namun, TNBTS (Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru) sebenarnya punya empat pintu masuk lewat empat kota berbeda, Probolinggo salah satunya.

 

Jalur masuk lewat Probolinggo itu bisa dicapai via daerah bernama Tongas. Di pinggir jalan ada penunjuk arah untuk masuk Tongas.

 

Ngomong-ngomong soal Tongas, jadi ingat cerita yang bilang bahwa Patih Gajahmada dulu juga lewat daerah ini untuk mencapai Bromo. Untuk mencapai Air Terjun Madakaripura tepatnya, yang jadi tempat terakhir ia terlihat dan konon jadi tempat ia moksa setelah pensiun dari jabatannya di Majapahit.

 

Beberapa tempat memang seperti melampaui batas waktu.

Sudah ada sejak dulu dan bertahan dengan nama yang sama hingga sekarang.

 

Tentunya Tongas (dan jalanan) di masa itu beda banget sama sekarang. Lebih padat hutannya, lebih sepi perkampungannya.

 

Oke, balik ke masa kini. Singkat cerita sampailah kami di (daerah kecamatan) Klakah. Tujuan pertama memang ke Ranu Klakah. Namun, rencana itu berubah setelah saya ngecek GPS dan melihat ada dua bulatan warna biru lainnya di dekat Ranu Klakah.

 

“Ada satu danau lagi, nih, yang lebih dekat. Mau ke sana dulu, nggak?” tawar saya.

“Ya udah. Tapi kasih tahu jalan yang bener, ya.”

“Iyaaa,” saya menjawab dengan rada sewot. Dari tadi juga gue yang jadi navigator ngelihatin jalan, kan?

 

Kesewotan saya udah bermula sejak pertengahan perjalanan sebenarnya, ketika partner jalan kali ini bolak-balik meragukan jalan yang saya tunjukin. “Bener ini jalannya?” tanyanya bolak-balik. Ya Gusti... kalau ini jalan kecil mah saya paham kalau dia nggak yakin mulu. Tapi tadi kan jalan GEDE banget, banyak plang pula. Meski GMaps sering nyasarin orang, tapi di jalan seluas itu jelas masih bisa dipercaya, deh.

 

Tarik napas, embuskan...

Inget, kamu ke sini buat jalan-jalan, bukan buat nambah stres, saya berkali-kali mengingatkan diri sendiri.

 

 

Ranu Bedali

Ranu Bedali, airnya hijau

Iya, perjalanan ke Ranu Bedali dan Ranu Pakis nggak direncanakan karena aslinya mau pergi ke Ranu Klakah doang. Namun karena ngelihat GPS tadi jadi ngeh ada danau lain di sekitar situ dan bisa dikunjungi. So, here we go!

 

Tips kali ini mungkin ini:

Kalau mau eksplor, waktu lihat peta jangan terpaku ke tempat tujuan aja. Lihat penanda atau simbol di sekitar, siapa tahu ada tempat lain yang nggak kalah asyik, hehe.

 

Di jalan raya sebelum belokan ke Ranu Bedali, kami ketemu satu kecelakaan lagi. *Speechless

 

Meninggalkan jalan raya, motor kami masuk ke jalan yang lebih kecil dan rimbun dengan semak tinggi. Kali ini, pertanyaan (berulang) partner yaitu, “Beneran, nih, ini jalannya?” nggak lagi bikin sewot karena saya pun mulai ragu. Ya sudah, mari cari warga lokal dan tanya jalan.

 

Nuwun sewu...,” partner menyapa warga yang kebetulan lewat.

 

“Nggih...”


Fyuh, untunglah bapaknya bisa bahasa Jawa. Kalau bapaknya bisa bahasa Madura aja, mandeklah komunikasi kami karena kami nggak bisa bahasa Madura. Lumajang, sebagai salah satu Kawasan Tapal Kuda, setahu saya, lebih lazim menggunakan bahasa Madura.

 

Dari penuturan bapak tersebut, memang benar ini jalannya. Oke lanjut.

 

Sekitar lima menit kemudian, sampailah kami di tempat dengan penanda ‘Ranu Bedali’. Danaunya nggak terlihat langsung dari tepi jalan depan parkiran. Meski, nanti setelah kami melanjutkan perjalanan, sempat terlihatan kelebatannya dari pinggir jalan.


Motor kami parkir (Rp2.000,00 kalau nggak salah), kemudian setelah bayar tiket Rp5.000,00 per orang, kami pun masuk.


Setelah masuk, kami berjalan sedikit. Di dekat warung jajanan, ada sebuah platform kayu yang menjorok ke tepi tebing. Ketika berdiri di sanalah, seluruh lanskap ranu terlihat jelas.

 

Hawa panas yang menemani sepanjang jalan kini lenyap digantikan cuaca mendung-mendung sendu. Debu jalanan dan pengap asap kendaraan rontok dilibas angin semilir.


Pemandangan danau Ranu Bedali dilihat dari atas/platform kayu

Permukaan air berwarna kehijauan menyeruak di tengah lebat hutan dan vegetasi yang rapat. Tepiannya dikelilingi pohon-pohon yang menjulang seperti dinding dan semak-semak yang sepertinya hampir setinggi orang dewasa, bahkan lebih. Persis deskripsi Junghuhn, ‘seperti mangkuk dengan dinding curam’.

 

Dalam catatannya Junghuhn mengatakan, Ranu Bedali adalah danau yang cekungannya dalam tapi airnya nggak begitu tinggi/banyak. Thus, ketinggian air muka danau ini jadi yang terendah di antara danau-danau di sekitar sini.

 

Pemandangan Ranu Bedali bisa banget dinikmati dari atas; dari platform tadi. Namun kalau pengin lebih dekat ke bibir danau, pengunjung juga bisa turun melintasi ‘dinding mangkuk’ lewat jalan setapak. Karena kurang puas ngelihatin dari atas aja, kami pun memutuskan turun.

 

Jalan setapaknya sudah dipaving. Namun entah karena iklimnya yang lembap atau jarang dilewati orang, banyak permukaannya yang ditumbuhi lumut. Nggak yang ketutup lumut banget tapi tetap bikin licin. Pengunjung kudu hati-hati kalau jalan. Apalagi ini jalannya turun yang artinya makin gampang tergelincir. Seperti... saya.

 

Yup, saya kepeleset di lima menit perjalanan. *Sigh


Kamera yang saya tenteng di bahu pun terbanting ke atas paving block. Bunyinya cukup keras sampai jantung ini ikut berdebam DEG!

Oh no...

 

Usai cepat-cepat memastikan badan baik-baik aja, saya langsung panik ngecek kamera. ‘Jangan rusak, please... You’re the only one I have.’ Mulai drama. Padahal kaki masih njarem dikit.

 

Untunglah nggak apa-apa dan bisa berfungsi normal. Kayaknya lecet dikit di moncongnya, tapi ya udahlah ya... Semoga ‘dalamnya’ betulan nggak kenapa-napa.

 

Untunglah jalan setapak selanjutnya nggak begitu licin. Mungkin karena makin mendekati tepi danau dan tutupan kanopi pohonnya berkurang, jadi lebih kena matahari sehingga nggak lembap. Permukaan danau mulai terlihat dekat.

 

Kami terus berjalan. Ada kali sepuluh menit. ‘Tapi, mana tepi danaunya?’

 

Ranu Bedali dilihat dari jalan setapak - Hutan lebat, perbukitan, dan palem di sisi kanan bikin berimajinasi, "Apa kayak gini dulu pemandangan dan kekaguman orang Barat waktu datang ke daerah tropis?"

Kami masih melangkah, sesekali berhenti untuk minum dan ambil foto. Setelah lima belas menit meniti jalan dan nggak kunjung menemukan tepi ranu, kami berkesimpulan: kayaknya ini jalannya muterin ranu, bukan mengarahkan sampai persis ke bibir danau atau nyentuh airnya. Kalau lihat foto-foto orang lain, bisa, sih, sampai tepinya pas, tapi kayaknya harus meniti jalan sendiri alias keluar jalur paving ke rumput-rumput tinggi.

 

Dengan berdiri di jalan paving pun sebenarnya kita udah bisa ngelihat danau dengan lebih jelas dan lebih besar. Namun karena kami penasaran, okelah kita lanjut jalan.

 

Lima belas menit berlalu...

Ternyata lumayan panjang, Saudara-Saudara! 15-20 menit sejak meninggalkan platform di atas, kami masih berada di jalan paving tanpa kelihatan ujungnya. Kadang pavingnya berganti jalan tanah bercampur rumput. Di kiri tampak permukaan air danau berkilau disinari matahari tengah hari, di kanan masih didominasi pepohonan dan semak-semak tinggi. Syukurlah hawanya sejuk jadi nggak begitu ‘berat’ kalau jalan lama.

 

Akhirnya kami berhenti sejenak di tepi jalan karena partner udah capek. Saya nemu tempat datar yang lumayan terbuka. Kami nggak bawa tikar (karena emang nggak ada niatan piknik), tapi rumput tebal yang hijau-hijau kelihatannya lumayan empuk buat duduk sebentar.

 

Asli empuk seperti permadani mahal.

Badan yang sedari pagi tegak di atas jok keras berasa ketemu kasur.

 

Tepi danaunya ‘dipagari’ rumput berbunga dan semak. Warna airnya hijau. Sekelilingnya tertutup dataran yang lebih tinggi dan pohon-pohon besar yang menjulang. Kayak danau muncul dari balik hutan aja gitu. Cantiknya alami!

 

 

Bunga pagoda (Cledrodendrum paniculatum) dan kupu-kupu di tepi danau

Setelah rehat sejenak, kami pun lanjut jalan meski perut udah mulai kerasa lapar. Sempat menyesal kenapa nggak kepikir bawa jajanan atau beli camilan di warung atas tadi. Sekarang udah jauh dari mana-mana, nggak ada siapa-siapa (kecuali nelayan di tengah ranu), dan nggak ada apa-apa. Untung bawa air putih.

 

Kepalang tanggung, kami melangkah lagi. Beberapa jurus kemudian kami mendapati jalan setapak ini berbelok tajam. Kayaknya kami udah sampai ke sisi lain ranu.

 

Sekitar 20-25 menit dari tempat rehat tadi, kami mendapati sebuah saung bambu. Dalam hati saya memuji orang yang membangun saung itu karena cerdik milih lokasi. Tempatnya datar, terbuka, serta punya ketinggian yang pas untuk ngelihat ranu dari saung.


Saung bambu, tempat istirahat di ketinggian. Ranu Bedali tampak di sisi kiri, warna airnya kehijauan

Kawanan monyet di dekat saung. Lucu banget ada yang masih anak-anak dan gelendotan terus ke induknya.

 

Asal-Muasal dan Legenda Ranu Bedali ...

... kami ketahui saat bertemu dengan seorang warga lokal di saung bambu itu. Bapak tersebut berkisah, nama ‘Bedali’ berakar dari sebuah tingkah kuda di zaman Majapahit.

 

Saat itu Lumajang masih bernama Lamajang. Daerah ini berada dalam wilayah Kerajaan Majapahit. Seperti layaknya pemerintah pusat, mereka ngirim pejabat untuk inspeksi keliling. Ada beberapa pendapat tentang siapa pejabat yang inspeksi ini; bahkan ada yang bilang orang itu adalah si raja sendiri dan bukan bawahannya.

 

Rombongan kerajaan itu pun sampai di sebuah danau. Setelah perjalanan panjang, mereka memutuskan istirahat di sini, di bawah sebuah pohon besar. Namun sepertinya kuda-kuda tunggangan mereka sudah pada kehausan sehingga saat melihat kilau air di kejauhan, kuda-kuda itu langsung lepas dari kekangan lalu lari cepat menuju danau.

 

Dalam bahasa Jawa, ‘lepas dari kekangan’ atau ‘lepas tiba-tiba’ istilahnya adalah ‘mbedhal’. Dari situlah nama ‘Bedali’ disematkan, karena ada kejadian kuda yang mbedhal saat sampai di dekat ranu.

 

“Pohon besarnya udah nggak ada, tapi ranunya masih ada sampai sekarang,” tutur bapak tersebut mengakhiri legenda kali ini.

 

Melihat sekitar, rasanya emang cukup mudah membayangkan sedang berada di zaman berabad lalu itu. Pasalnya pemandangan di sini tampak masih alami sekali. Seluas mata memandang yang nampak adalah lebatnya hutan dan tingginya pepohonan. Nggak ada bangunan sama sekali. Suasana sepi, hampir tanpa aktivitas manusia. Hanya terdengar bunyi kisikan angin semilir dan cericit burung liar. Suasana yang, saya bayangin, mirip dengan suasana berabad lalu. Minus permukaan air danau yang makin menurun.

 

Ranu Bedali dan Ranu Yoso ...

... adalah salah duanya. Air di danau-danau sekitar Gunung Lemongan memang dilaporkan makin menyusut. Kalau dibandingkan dengan berabad lalu, ada yang sekarang udah kering. Salah satunya adalah sebuah ranu yang letaknya persis di sebelah Ranu Bedali, namanya Ranu Yoso.

 

“Dulu ada airnya, tapi sekarang sudah nggak ada. Tinggal bekas-bekasnya. Sekarang buat bertani,” begitu kurang-lebih tutur warga tadi.

 

Nama ranu di samping Ranu Bedali itu adalah Ranu Yoso. Kalau dilihat lewat citra satelit, emang tampak sebuah cekungan di situ. Di antara Ranu Bedali dan Ranu Yoso dibentengi sebuah bukit bak dinding pemisah.

 

Ranu Yoso kering seenggaknya udah dua abad ini. Saat ngecek di peta lawas keluaran tahun 1825, danau ini (ejaan waktu itu: Ranoejasa) tampak udah difungsikan sebagai lahan pertanian. Namanya sekarang dijadikan nama kecamatan di mana dua ranu ini berlokasi, Kec. Ranuyoso (digabung).

 

Di antara anggota Segitiga Ranu, Ranu Bedali boleh jadi yang letaknya seperti terkucil dipagari perbukitan dan vegetasi lebat, tapi dia juga punya keistimewaan tersendiri. Eks danau Ranu Yoso yang pas di sebelahnya tadi, juga sebuah air terjun.

Peta lawas Ranu Bedali dan Ranuyoso zaman Belanda (sekitar 1875-1880)
 

Air Terjun Indrowati ...

... terletak di sisi lain Ranu Bedali. Dari saung bambu tadi, kita harus jalan lagi. Katanya, kira-kira 30 menitan. Rute menuju Air Terjun Indrowati masih sama dengan jalan setapak tadi; kita tinggal terus jalan aja.

 

Awalnya saya udah ngajakin ke air terjun. Udah sampai sini, kan. Masa nggak sekalian? Namun sayangnya batal karena partner jalan ngerasa capek. Mungkin udah ngebayangin kudu jalan kaki lagi. Belum lagi dari yang dia dengar, jalurnya agak curam.

 

Ya udahlah gimana lagi. Saya menggerutu karena awalnya dia udah menyanggupi. Namun kemudian saya melunak karena dibilangi sekawanan anak sekolah yang usai bertandang dari air terjun, “Airnya lagi dikit, Kak.”

 

Setelah puas istirahat sampai letihnya hilang, kami balik ke parkiran. Saya lupa berapa lama jalan baliknya, tapi menurut timestamp foto, sih, 1 jam 20 menitan.

 

Saat nulis ini, saya sendiri ngebatin, ‘Kok lama?’ karena kayaknya waktu itu nggak selama itu dan nggak sepanjang itu. Apa cuma perasaan saya aja? Atau mungkin dalam perjalanan pulang, kami jalannya nyantai pol dan banyak berhentinya? Entahlah.

 

Oh iya, beberapa saat lalu nemu foto jepretan orang lain. Ternyata dari ketinggian (area parkiran), kita bisa ngelihat sunset di Ranu Bedali. Di potret tsb tampak matahari oranye cerah tenggelam perlahan di balik bukit yang jadi ‘dinding’ ranu.

 


 HIGHLIGHT + TIPS KE RANU BEDALI: 

📝Danaunya asri banget dan masih alami. Recommended buat yang suka danau dan hutan

📝Danaunya seperti mangkuk. Cekung dipagari perbukitan. Mungkin ini yang bikin suasananya sunyi: karena suara dari sekitar terhalang bukit-bukit.

📝 Ada air terjunnya (Air Terjun Indrowati) dan bekas danau yang sudah kering pas di baliknya (Ranu Yoso)

👉 Pengeluaran @orang+motor

Tiket + parkir = 5.000 + 2.000 = Rp7.000,00


 Tips: 

👉 Bawa bekal, khususnya air putih. Bawa camilan lebih baik, karena penjual camilan hanya ada di area parkiran dan nggak banyak

👉 Jalan ke bawah apalagi ke air terjun jaraknya jauh dari parkiran. PP ± 2 jam. Untuk yang nggak biasa jalan jauh, lebih baik turun sampai jalan paving dekat-dekat parkiran aja



 

Usai dari Ranu Bedali, kami makan siang di sebuah warung dekat situ sebelum melanjutkan ke Ranu Klakah. Karena sudah hampir sore (udah asar malah), kami memutuskan untuk cari penginapan. Awalnya kami sama sekali nggak ada niat menginap. Namun dihitung-hitung, pasti bakal kemalaman di jalan kalau maksain langsung balik Surabaya. Dan maksain berkendara di jalan lintas provinsi dalam kondisi capek di waktu malam bukanlah resep yang tepat untuk menjamin keselamatan di jalan raya.

 

Oke, cari penginapan. Pikiran buruk mulai hinggap: gimana kalau nggak ada penginapan?

Mengingat daerah ini bukan kawasan wisata yang ramai pengunjung, yang artinya minim penginapan. Habislah kalau ternyata nggak ada dan kami harus nginap di Lumajang kota, yang jaraknya ada kali 15 km.

 

Untungnya sekarang peta online sudah bagus. Saya cari penginapan via internet dan ternyata ada hotel di sekitar situ. Partner nanya referensi ke warga lokal, memastikan kalau penginapannya masih beroperasi.

 

Nemulah sebuah hotel sederhana di tepi jalan raya. Dengan bayar Rp250.000,00 kami dapat satu kamar double bed dan sarapan untuk esok pagi. Kamarnya cukup bersih. Buat kami, dalam kondisi unexpected kayak gini yang penting dapat kamar bersih yang nyaman dibuat istirahat. Fasilitas lain atau soal dapat amenities atau enggak, bukan masalah. Dapat alhamdulillah, tapi kalau nggak ada ya udah.

 

Setelah ngecek kamar, drama selanjutnya dimulai.

Partner: “Kubayar dulu aja.” *ngeluarin dompet, dibuka, lalu terdiam. “Bisa bayar pakai kartu?”

Resepsionis: “Maaf, belum bisa. Bisanya tunai.”

Partner: “Wah, uangnya nggak cukup. ATM terdekat di mana, ya?”

Resepsionis: *mulai tampak ragu. “Yang dekat nggak ada, tapi di dekat pasar ada.”

Mind you, pasarnya berjarak dua kilometer jauhnya. Dalam kondisi udah rada capek, harus bolak-balik? Terus masih ke Ranu Klakah? No way.

Saya: *ngeluarin Rp250.000 dari dompet

 

Tips perjalanan yang selalu bisa dipakai mungkin ini:

Selalu bawa uang tunai! Meski sekarang transaksi online udah jamak, uang tunai dipakai untuk jaga-jaga. Siapa tahu internetnya ngadat (atau malah nggak kejangkau sinyal), siapa tahu HP/aplikasi/kartu error, atau seperti saat ini: hanya menyediakan pembayaran tunai.

 

Kamar udah aman ter-booking, meluncurlah kami sore itu ke tujuan sebenarnya: Ranu Klakah.

 

 

Ranu Klakah

Pemandangan di tepi Ranu Klakah. Keramba untuk budidaya ikan mengapung di permukaan dengan latar belakang Gunung Lemongan


Saya pertama kali tahu tentang Ranu Klakah dari... komik Webtoon. Salah satu webtun yang saya baca judulnya Dracko Diary, yang bercerita tentang keseharian komikusnya yang tinggal di Lumajang. Ada beberapa episode yang nyeritain Dracko—si tokoh utama—sepedaan sore-sore ke Ranu Klakah. Karena namanya mirip Ranu Kumbolo yang saya suka (sama-sama ada ‘ranu’-nya, hehe), saya jadi tertarik pergi ke sana.

 

Terima kasih udah mengenalkan Ranu Klakah, Mas Drack!

 

Rute menuju Ranu Klakah lebih ramai daripada jalan ke Ranu Bedali tadi. Sepanjang jalan berderet rumah, kampung, warung. Satu hal yang selalu ada di rumah-rumah itu: tiap rumah hampir selalu punya tanaman buah naga. Buah-buah merah menyala bergelantungan di ‘dahan’ serupa kaktus.

 

Kami sampai di Ranu Klakah sore hari. Karena terlihat jelas kalau kami wisatawan, maka kami dihentikan untuk bayar tiket Rp4.000,00 per orang. Besok paginya saat kami ke sana lagi, mungkin karena kepagian dan loket belum buka, orang bisa keluar-masuk gratis.

 

Pernah ngebayangin pemandangan danau luas dengan gunung menjulang di depannya? Seperti itulah Ranu Klakah.

 

Danau biru luas terhampar ke ujung hutan. Di tepinya tampak warung-warung makan sederhana. Rakit-rakit bambu milik nelayan juga bersandar di sana. Agak ke tengah, keramba ikan belasan meter mengapung di atas air. Beberapa pria tampak hilir-mudik berbasah-basahan di antara keramba dan rakit bambu.

 

Di depannya, Gunung Lemongan dengan gerumbul hijau pepohonan di kakinya. Sayang waktu itu mendung sehingga puncaknya nggak terlihat. Kalau nampak pasti cakep banget. Beberapa kanal berita bahkan menyandingkan kemiripan G. Lemongan+Ranu Klakah dengan G. Fuji+Danau Kawaguchi di Jepang.

 

Ngelihat foto yang bertebaran di dunia maya, sekilas banget emang mirip karena komposisinya sama persis: gunung dan danau. Bedanya kayaknya yang di Jepang kelihatan lebih kering, yang di sini lebih hijau.

 
Ranu Klakah dan Gunung Lemongan ...

... memang nggak bisa dipisahkan. Gunung dengan ketinggian 1.668 mdpl ini adalah faktor utama mengapa Ranu Klakah bisa ada: karena aktivitas gunung apinya. Bahkan mungkin karena hubungan yang erat, beberapa sumber menyebut Ranu Klakah sebagai ‘Ranu Lamongan’. Mungkin karena dianggap sebagai ranu utamanya Gunung Lamongan.


Ranu Klakah dan G. Lemongan di masa lalu, 1920 (by: Kurkdjian)
 

Jadi... Lamongan atau Lemongan?

Ada perbedaan penulisan nama pula: beberapa nyebut LAmongan, beberapa nyebut LEmongan. Catatan Junghuhn di abad 19 menyebutnya LAmongan, begitu juga peta-peta lawas di abad itu. Di zaman sekarang pun portal resmi pemerintah Indonesia dan beberapa jurnal ilmiah pakai ejaan LA. Di sisi lain, ada juga peta lawas yang nyebut pakai LE. Beberapa orang luar Lumajang dan warga sana yang saya sempat berinteraksi, juga menyebut dengan ejaan LE.

 

Apa pun itu, yang jelas ini gunung letaknya jauh banget dari Kota Lamongan. Gunung ini letaknya hampir di tengah Jawa Timur, sedangkan Lamongan lokasinya jauh di pesisir utara Jawa, hampir 200 km jauhnya. Dan dengar-dengar, meski tingginya ‘cuma’ 1.600-an mdpl, jalur pendakian gunung ini lumayan susah.

 

💡 Funfact!

Kalau dilihat di peta, posisi Gunung Lemongan ini lurus dengan Kaldera Tengger, tempat Lautan Pasir di mana Gunung Bromo berdiri sekarang.

 

Selain nama Ranu Lamongan, Junghuhn juga menulisnya sebagai Ranu Glagah. Mungkin karena nggak familiar atau dia salah dengar saat warga lokal menyebut ‘Klakah’.

 

Junghuhn dan Klakah-Lamongan ...

... kayaknya sering disebut-sebut, ya, di postingan ini? Iya, karena cerita lawas tentang danau-gunung ini saya temuin di buku Junghuhn. Tulisannya tentang tempat ini lebih panjang daripada sumber lawas lainnya, jadi saya emang banyak ngambilnya dari sana.

 

Junghuhn adalah seorang penjelajah dan ilmuwan. Pada Juli 1838, dia dan temannya berkunjung ke Ranu Klakah dan menginap beberapa hari di sana. Dia bermalam di sebuah pondok di tepi barat ranu. Pondok bambu ini letaknya agak tinggi sehingga mereka bisa ngelihat Ranu Klakah dari pondok.


Sketsa lawas Gunung Lemongan dan Ranu Klakah, digambar oleh Franz Wilhelm Junghuhn
 


Saat Gunung Lamongan erupsi di 1838, Junghuhn kebetulan turut jadi saksi mata. Saya nggak bisa terjemahin penuturannya kata per kata, tapi kurang lebih gini:

Ketika senja yang tenang mulai turun dan suhu tidak sepanas siang, kami duduk di depan pondok kecil ini. Di kejauhan, sendiri di antara pohon-pohon hutan yang tinggi, terhampar sebuah danau. Bebek dan waterhen (burung kareo padi? *cmiiw) berenang di permukaannya, sementara burung plotus hinggap di dahan pohon dan diam lama. Kami bisa melihat kepala iguana di permukaan air. ...

 

... Tiba-tiba puncak gunung menyala. Gumpalan berapi mengembang di pinggiran kawah dan awan tebal membubung, memecah gumpalan api. Dengan kecepatan seperti cahaya, asap itu naik cepat seperti kolom. Warna hitamnya jauh lebih hitam dari langit malam. Percikan menyembur di udara dan hujan api pun turun. Gemuruh keras terdengar, bebatuan meluncur dari puncak gunung. 

  

(NB: terjemahan otomatis dari Google Translate lalu diringkas)


Junghuhn menuturkan bahwa peristiwa itu berlangsung sepanjang malam. Kadang erupsinya berhenti beberapa saat, lalu bermuntahan lagi. Begitu terus. Semalaman mereka ngamatin erupsi Gunung Lemongan dengan teleskop.

 

Gunung Lemongan masih aktif sampai sekarang, meski hampir tanpa erupsi belakangan ini. Ia tercatat pernah meletus beberapa kali. Laporan terakhir dari PVMBG, tahun 2024 kemarin aktivitasnya sempat naik meski nggak meletus. Tercatat terjadi kegempaan, tapi nggak besar.

 

Dan, mungkin karena efek aktivitas vulkanisnya (sehingga tanah di sana jadi subur) dan keberadaan banyak sumber air tawar di daerah itu, Ranu Klakah dan sekitarnya dimanfaatkan sebagai tempat tinggal dan tempat bertani oleh manusia, bahkan sejak masa prasejarah.

 

Pemukiman kuno di sekitar Klakah ...

... usianya amat bervariasi. Ada jejak kampung dari masa kesultanan Islam, kerajaan Hindu-Buddha, bahkan sejak zaman prasejarah.

 

Nggak jauh dari Klakah, di sebuah tempat bernama Tegalrandu, ditemukan arca dan reruntuhan candi yang ditengarai peninggalan kaum brahmana. Di sekitar ranu juga pernah ditemukan artefak zaman prasejarah seperti punden, beliung, dan perkakas rumah tangga lainnya.

 

Dan bicara tentang manusia di masa lalu, biasanya nggak lepas dari cerita rakyat setempat. Klakah pun memiliki itu.


Geliat aktivitas perikanan di Ranu Klakah

Legenda Ranu Klakah ...

... bercerita tentang ular Selanceng yang mendiami ranu. Konon ukuran ular ini bisa berubah-ubah; kadang seperti ular biasa, tapi kadang bisa besar sekali hingga kepala dan ekornya berada di ujung-ujung danau yang berbeda. Ular Selanceng ini dipercaya adalah peliharan Dewi Rengganis.

 

Saya nggak tahu gimana cerita Dewi Rengganis bisa terhubung di sini. Di mitos lain, Dewi Rengganis ini adalah penjaganya Gunung Argopuro. Argopuro ini letaknya di timur Gunung Lemongan. Dewi Rengganis dipercaya adalah keturunan raja Majapahit yang mengasingkan diri ke Argopuro dan membangun istana di sana.

 

Pendek cerita, ular Selanceng di zaman dulu sering mencelakai penduduk. Akhirnya ada seorang kiai (efek masa keislaman?) yang memberinya makan kue tepung yang dibentuk seperti anak-anak. Setelah itu, masyarakat aman kembali. Namun kabarnya hingga kini penduduk kadang melihat ular ini muncul di danau.

 

Oh iya, di Ranu Klakah juga ada ‘musim koyo’ (atau ‘koyok’). Yang ini bukan legenda, tapi peristiwa di masa ini. Di musim koyo, ikan-ikan di ranu bisa mabuk dan muncul di permukaan sehingga lebih mudah diambili. Ada beberapa alasan musim koyo bisa terjadi: antara suhu yang ekstrem, kadar oksigen yang turun, atau kandungan belerang yang naik.

 


 HIGHLIGHT RANU KLAKAH: 

👉 Tiket masuk: Rp4.000,00/orang

👉 Buka setiap saat

👉 Ada warung

👉Menikmati sunrise: Menghadap Gunung Lamongan dan menghadap timur, jadi bisa lihat matahari terbit dari balik gunung.

Tips: cek cuaca kalau mau lihat sunrise karena bisa jadi ketutup kabut/mendung

 

 

Usai dari Ranu Klakah, kami balik ke hotel. Setelah mandi dan shalat, kami cari makan di sekitaran jalan raya. Pilihan jatuh ke warung penyetan di tepi jalan. Saya pilih menu ikan.

 

“Ikannya hasil tangkapan dari ranu?”

 

“Ada yang iya, ada yang enggak,” jawab ibu penjual.

 

Geliat perikanan di ranu-ranu menjadi penyuplai ikan bagi warga untuk dikonsumsi atau dijual. Namun nggak semua ikan air tawar dibudidayakan di sana, sehingga untuk beberapa jenis ikan, masyarakat tetap membeli di pasar.

 

Kelar cari minum dan camilan untuk besok (nggak mau mengulangi jalan-jalan tanpa bekal di Ranu Bedali, hahaha) di sebuah minimarket lokal, kami pun balik ke hotel.

 

Sampai penginapan, partner langsung tepar dan tidur. Tinggallah saya yang terjaga sambil  nonton TV dan ngelihatin hasil jepretan hari itu. Saat itulah terjadi (salah satu) momen yang membuat perjalanan kali ini jadi nggak terlupakan.

 

Di sebuah berita lokal, saya mendengar telah terjadi kecelakaan maut (pemotor/mobil, lupa) dengan truk gede. Lokasi kejadiannya? Ada kali cuma 2-3 km dari tempat kami. Dan, kejadiannya di jalan raya yang hari ini kami lalui bolak-balik entah berapa kali. Rasanya dekat sekali... Jadi jeri.

 

Berita selanjutnya adalah berita global: sebuah outbreak penyakit tak diketahui di Wuhan. Yes you guess it right, Covid-19. Sejak itulah saya jadi mantau berita perkembangan Covid-19 dan pergerakannya sampai ke negara ini (sekaligus inkompetensi segolongan regulator yang, ampun dah, bikin geram dan ngelus hati).

 

Perjalanan ke Segitiga Ranu adalah perjalanan jauh saya di tahun 2020. Tepatnya, jalan-jalan jauh pertama dan terakhir di tahun itu. Buat orang yang dalam setahun seenggaknya travelling beberapa kali (meski nggak jauh-jauh banget), angka satu itu jadi memorable karena alasan yang pilu. Walau nggak sepilu peristiwa-peristiwa yang kemudian terjadi setelah itu hingga tahun-tahun setelahnya.

 

Malam itu, saya jatuh tertidur tanpa terpikir bahwa hidup saya, kita, dan hampir semua orang di seluruh dunia, dalam setahun bahkan beberapa tahun ke depan menjadi amat berubah.

 

 

Ranu Pakis


Karena pengin ngelihat sunrise di Ranu Klakah, jam lima lebih kami sudah ready. Pukul setengah enam kami sampai di sana. Sayang cuaca waktu itu sedang mendung. Awan abu-abu menutupi separuh tubuh gunung, menghalangi hangat pijar mentari yang sedang naik.

 

Setelah nunggu beberapa saat dan awannya nggak kunjung hilang, kami pun menyerah berburu sunrise. Motor kami jalankan menuju destinasi selanjutnya: Ranu Pakis.

 

Ranu Pakis jaraknya nggak jauh dari Ranu Klakah. Cuma setengah kilometer alias lima menit saja. Jalannya udah aspal tapi di beberapa bagian agak rusak berkerikil. Waktu itu. Kalau lihat berita terakhir, sih, katanya jalannya udah mulus.

 

Masih ingat soal ranu yang kata Junghuhn seperti mangkuk dalam berceruk? Nah, Ranu Pakis ini ‘dinding mangkuknya’ hanya separuh. Sebagian sisinya datar dengan permukaan tanah, sedangkan separuhnya lagi berdinding tebing.

 

Dari arah kami datang, kami berdiri di atas tebing/punggungan ini. Kami memutuskan berhenti di pinggir jalan karena ragu mau lanjut; jalannya rada ancur. Saat itu kami ragu apakah jalan itu bisa dilewati atau enggak, karena jalannya nggak begitu lebar dan sepiii hampir nggak ada orang lalu-lalang. Motor yang lewat bisa dihitung jari di satu tangan, yang banyakan adalah rombongan penghobi sepeda.


Sepi. Yang terdengar hanya kicauan burung liar dan desik angin yang menggesek daun-daun. Sinar matahari belum sampai di sisi ini sehingga hawanya lebih dingin daripada di Klakah tadi. Selapis kabut melayang di tepi danau, membungkus perbukitan.

 

‘Jangan-jangan ini jalur trail,’ pikir kami sebelum mengurungkan perjalanan.

 

Sebulanan lalu, saya baru tahu kalau itu bukan jalur sepedaan aja tapi bisa dilalui motor juga. Kayaknya belakangan emang diperbaiki. Pasca Covid-19 sempat viral juga kayaknya, hingga didirikan warung-warung di pinggir jalan dan ditarik tiket. Sekarang dengar-dengar warung itu sepi.

 

Saat kami travelling ke Ranu Pakis saat itu, nggak ada satu pun warung. Manusia lewat pun jarang. So, nggak ada tiket juga. Kayaknya, sih, waktu itu nggak difungsikan buat tempat wisata pula.

 

Kami berdiri di pinggir jalan, nggak terlalu ke semak-semak karena khawatir di depan udah jurang. Di hadapan kami, danau luas terhampar di bawah. Tampak keramba dan perkampungan di seberang danau. Terlihat pula satu-dua rakit bambu nelayan yang tengah berkegiatan di tengah danau. Rakit panjang itu tampak mini sekali dibandingkan danau seluas seratusan hektare itu (tepatnya 112 ha).

 

Rantai pegunungan memanjang di kejauhan. Satu puncak tertinggi menarik perhatian karena bentuknya familiar. Saya arahkan moncong kamera untuk nge-zoom maksimal. Tuh, kan, perasaan saya benar. Itu Gunung Semeru!

 

Pemandangan di Ranu Pakis. Gunung di tengah merupakan Gunung Semeru. Dataran tinggi di sebelah kanannya adalah rantai Pegunungan Bromo-Tengger-Semeru

Rasanya pengin lompat-lompat kegirangan. Sekujur badan kayak dipenuhi kembang api yang berpijar cerah.

 

Senang banget! Karena saya udah bertahun-tahun nggak ngelihat Semeru. Kangen!

 

Nggak nyangka bisa ngelihat gunung yang jadi atap tertinggi Pulau Jawa dari sini. View danau, gunung, hutan, dan aktivitas manusia, semuanya dalam satu frame! Pemandangan yang nggak diduga dan paling cakep sepanjang perjalanan ini lah. Mana deretan rangkaian Pegunungan Tengger kelihatan juga dari sini, lagi!

 

Speechless lah saya.

 

... Kemudian kembang api dalam hati itu padam. Kamera saya berkedip. Baterainya habis.

 

Tidaaaak!

 

Kamera itu mati-ti. Yah... gimana lagi. Akhirnya saya motret pakai kamera HP. Padahal waktu itu cahaya belum begitu terang dan kamera HP saya nggak terlalu bagus. Jadilah foto-fotonya nggak memuaskan.

 

Oleh karena itu kalau ada yang ngerasa kalau foto di Ranu Pakis ini kayaknya diedit banget, maka  memang iya. Saking gelap dan buruknya potret sampai saya kudu edit banyak kalau mau ngehasilin pemandangan yang mendekati dengan yang mata saya lihat saat itu.

 

Ranu Pakis adalah danau yang terluas di antara anggota Segitiga Ranu lainnya. Seberapa luas? Lima kalinya Ranu Klakah. Jaraknya dengan Gunung Lemongan memang nggak sedekat Ranu Klakah, tapi dari sisi yang berseberangan dengan tempat kami berdiri waktu itu, pemandangan gagahnya Gunung Lemongan dilengkapi luasnya Ranu Pakis, bisa kelihatan. (Kayaknya di sisi keramba/perkampungan, kalau lihat dari foto orang-orang)

 

Ranu Pakis meski hingga kini letaknya terpencil dan lumayan out of the radar, toh ternyata sudah tercatat dalam buku tahun 1850-an. Yak, tebakan Anda benar, lagi-lagi bukunya Junghuhn.


Atas: Ranu Pakis, 2020 - Bawah: Ranu Pakis, 1931. Bentuk bukitnya sama.

Legenda Ranu Pakis ...

... adalah salah satu hal yang dicatat Junghuhn dalam bukunya. Kalau menurut saya bukan legenda, tapi lebih tepat disebut genesis atau cerita terjadinya Ranu Pakis.

 

Dalam buku itu, regent (bupati?) Lemadjang menuturkan bahwa area yang sekarang jadi ranu Pakis adalah tanah datar dan kering 50-100 tahun sebelumnya. Di atasnya tumbuh kayu/pohon peletholtz (ini pohon apa ya? Cari terjemahannya nggak nemu) yang keras dan biasa digunakan untuk gagang keris. Namun tanah itu tiba-tiba turun, tenggelam, lalu terisi air. Awalnya cuma 5 kaki, lama-lama makin ambles dan terisi air hingga sedalam 450 kaki atau sekitar 137-an meter. 

 

Bila penuturan itu benar, maka dugaan Junghuhn yang berkata bahwa ranu-ranu ini bukan bekas kawah yang meledak jadi cocok. Dia menduga ranu-ranu ini adalah material hasil erupsi yang runtuh (karena materialnya porus); sama seperti penuturan sang regent.

(Atau dia kepikir teori ini justru setelah dengar perkataan regent?)

 

Well, apa pun itu, pemandangan dari Ranu Pakis jadi salah satu panorama yang super-cakep dan nggak terlupakan.

 

Kadang travelling emang nggak se-nggak disangka-sangka itu. Sesuatu (tempat) yang kirain biasa-biasa aja, ternyata malah jadi salah satu yang paling istimewa.

 

Mitigated, but still unpredicted and unexpected. Sama seperti hidup.



📷  TIPS 

Kalau ingin lihat pemandangan

  1. Ranu Pakis + Gunung Semeru = lihat/datang dari arah utara
    (dari arah Ranu Klakah, langsung ada jalannya di Google Maps)
  2. Ranu Pakis + Gunung Lemongan = lihat dari arah selatan
    (bisa dari arah pasar/stasiun lalu masuk ke perkampungan. Di Maps masukin aja Pasar/Stasiun Klakah buat titik awal)


 


==========


(Updated) 

 

 

Referensi:

Junghuhn, F. (1854). Java, Seine Gestalt, Pflanzendecke und Innere Bauart, Part 2. Arnoldische Buchandlung, Leipzig.

Kasnowihardjo, G. (2007). Penelitian dan pengembangan situs permukiman lingkungan danau di Jawa Timur: satu upaya menjalin kemitraan dalam pengelolaan sumberdaya arkeologi. Berkala Arkeologi (27): 1-9.

Kasnowihardjo, G. (2017). Manusia dan Ranu: Kajian Arkeologi Permukiman. Kepel Press, Yogyakarta.

Pemkab Lumajang. www.klakah.lumajangkab.go.id

Yudiantoro, D.F., R.T. Perwira, dan M.O.B. Nugroho. (2019). Geology of Lamongan volcanic rocks study at Ranu Pakis, Klakah, Lumajang, East Java Province, indonesia. JGGET (4): 263-270.


Reading Time: