Hijaubiru

Minggu, 27 Oktober 2024

Foto Perjalanan: Bagaimana Membuat Foto Lebih Menarik
Oktober 27, 20240 Comments

 

Saat ngelihat foto-foto perjalanan atau lanskap jepretan orang, saya sering ngebatin, “Kok orang-orang ini bisa aja dapat foto yang cantik banget? Gimana caranya?” Nggak cuma cantik, foto-fotonya juga lain daripada yang lain. Biar satu lokasi, tapi fotonya macam-macam.

 

Setelah beberapa saat ngulik fotografi, akhirnya ketemulah beberapa cara supaya dapat foto yang lebih mendingan dan nggak kayak asal jepret aja. Tips-tips ini saya dapat dari berbagai sumber (orang/buku/web/dsb) dan buat saya jadi hal paling bisa dipraktikkan bahkan buat yang nggak terlalu ngulik dunia fotografi. Awal ngulik fotografi dulu, inilah hal-hal yang saya lakukan. Jadi, disclaimer dulu, tips yang di sini emang basic banget dan kurang cocok buat yang sudah expert. And I’m no expert myself.

 

Jadi, langsung aja ke langkah pertama.


 

1. Tentukan objek fotonya

Saat di tempat wisata, kita sering terpesona dengan tempat itu sampai-sampai pengin rasanya mendokumentasikannya ke dalam satu foto. Saya juga sering gitu, haha. Sayangnya, nggak bisa (atau susah) ngerangkum semua keindahan objek dalam satu foto aja. Kalau dipaksa, fotonya jadi nggak fokus.


Pernah nggak, ada di suatu lokasi yang cantik banget, terus pengin motret tempat itu semuanya, tapi waktu fotonya dilihat lagi ternyata jadi nggak sebagus aslinya atau malah jelek?


Saya sering gini waktu motret, haha. Di mata kelihatan cakep, tapi waktu difoto kok enggak?


Ini faktornya bisa macam-macam, tapi kali ini fokus ke satu dulu: karena objeknya kebanyakan. Dalam bukunya, Rob Sheppard (fotografer) berkata yang intinya:

Mata kita bisa otomatis fokus pada objek yang kita inginkan, tapi lensa kamera tidak bisa. Lensa kamera hanya bisa melihat cahaya.


Jadi, pertama-tama, meski pemandangan itu terlihat cantik di segala penjuru, tentukan dulu objeknya: danaukah, pohonkah, komidi putarkah, orangnya, atau apa? Supaya saat orang (atau kita) ngelihat foto yang dihasilkan, arah pandangannya jelas ke mana.


Mana yang lebih bagus, foto kiri atau kanan?
Foto kiri ingin menangkap semua objek (terundak tinggi, pohon, lampion) tapi malah nggak fokus. Foto kanan fokus ke lampion, pepohonan sebagai background


2. Atur komposisi foto

Supaya pandangan bisa langsung fokus ke foto, maka komposisinya harus diatur supaya semua nggak bercampur-baur. Dalam fotografi, ada banyak ‘resep’ komposisi. Yang paling umum didengar mungkin rule-of-third. Ada juga leading lines, golden ratio, dsb. Paling gampang dipraktikkan pertama kali, rule-of-third ini.


Rule-of-third membagi bidang foto jadi tiga. Tiap bagian berbatasan dengan garis imajiner ini sehingga porsinya pas.


Namun bukan berarti semua foto harus nurut aturan ini. Kalau misal ngerasa nggak cocok, suka-suka aja mau dipakai atau enggak.


Kalau pengin ngulik komposisi lebih jauh, coba cari pakai kata kunci: (tipe) komposisi fotografi.

Contoh rule-of-third: garis-garis membagi 3 bidang horisontal dan vertikal. Sepertiga batuan, sepertiga laut, dan sepertiga untuk langit.
.


3. Cari angle lain

... alias cari sudut pengambilan foto yang lain. Kita sering banget ambil foto dari angle setara mata kita (eye-level shot). Kalau ingin hasil yang beda, coba sekali-kali ambil foto dari sudut yang lebih tinggi atau lebih rendah. Lalu bandingkan dengan foto yang diambil setara mata. Kira-kira lebih cocok yang mana?


Angkat kamera/HP lebih tinggi dari posisi mata, mungkin foto yang dihasilkan jadi bisa mencakup lebih banyak area. Coba taruh kamera/HP lebih rendah dari posisi mata, siapa tahu gedung antik di depan kita bisa kelihatan lebih megah.


Coba dua ini dulu (high angle dan low angle). Kalau penasaran, bisa coba cek sudut pengambilan lainnya. Kata kunci: macam angle dalam fotografi atau types of angles in photography.


Kadang, hasil foto bisa lebih keren pakai low angle, kadang high angle, kadang eye-level juga udah bagus. Jadi menyesuaikan aja mana yang lebih cocok.


Dua foto di lokasi yang sama, objek yang sama, tapi sudut pengambilannya berbeda. 
Atas, foto diambil dari posisi setara mata. Hasilnya menunjukkan kesan hamparan penuh bunga.
Bawah, foto diambil dari posisi lebih bawah (low angle). Hasil menunjukkan kesan bunga yang menjulang ke langit. 


 

4. Geser ke lokasi lain

Ke lokasi X, ambil foto di spot foto X, maka foto yang didapat biasanya akan sama dengan bejibun foto lainnya. Coba geser sedikit, beberapa langkah aja. Mungkin foto yang didapat jadi beda. Jadi ini bukan ganti destinasi. Lokasinya masih sama, cuma tempat ambil fotonya aja yang agak beda.


Dengan catatan, gesernya hati-hati dan lihat situasi/kondisi. Misal geser dikit udah jurang, ya nggak usah geser daripada nggak selamat; geser dikit tapi ngerusak alam atau sarana/prasarana, ya nggak usah geser juga.


Hanya geser dan jalan beberapa langkah, potret yang dihasilkan berbeda. Foto kiri, pemandangan tertutup pepohonan rapat. Geser beberapa meter dan bukit terlihat jelas.


5. Sesuaikan timing

Kadang, foto bagus memang tergantung faktor yang tidak diduga-duga. Misalnya: cuaca, pengunjung yang nggak padat, dsb. Namun bukan berarti faktor-faktor ini nggak bisa diantisipasi. Antisipasilah sesuai ‘tantangan’ yang menurutmu ada.


Kalau ingin dapat foto matahari terbit, maka harus siap di tempat atau berangkat tengah malam. Bila ingin potret sendiri di pantai yang dikenal padat wisatawan, mungkin bisa cari alternatif untuk berkunjung di hari-hari biasa. Kalau ingin dapat foto gunung yang cerah, maka jangan berlibur ke sana waktu musim hujan. Beda kasus kalau memang ingin dapat foto dataran tinggi nan berkabut, maka justru berkunjunglah di musim hujan.


Khusus untuk contoh kedua alias area padat orang, sebenarnya ada alternatif yang bisa dicoba: foto pakai mode long exposure. Pernah lihat foto jalan yang ramai tapi yang terlihat hanya lampu-lampu kendaraan yang terlihat seperti garis? Long exposure macam itulah. Namun alih-alih ‘merekam’ lampu kendaraan, kita akan mengatur lamanya waktu supaya gerakan orang-orang menjadi halus sampai tak terlihat. Sementara itu, objek foto (orang/landmark yang kita foto) harus dalam posisi diam tak bergerak.


Di beberapa ponsel, mode long exposure seperti ini sudah ada. Tinggal atur durasi aja. Kalau nggak nemu, bisa cek mode manual terus atur shutter-nya.


Memang hasil dan prosesnya nggak selalu smooth, seperti orang yang diam terlalu lama sehingga tetap ikut terfoto, atau gerakan yang tetap terekam sehingga hasil foto jadi nggak jelas, atau ponsel/kamera yang guncang sehingga gambar yang dihasilkan nggak fokus (bisa diakalin dengan tripod atau disandarin ke sesuatu). Namun lumayan supaya foto jadi nggak ramai-ramai amat. Kalau mau clear beneran, antara datang saat sepi atau diedit.

 

 

6. Sesuaikan tujuan travelling

Apa tujuan jalan-jalannya? Sebab kalau saya, jangan sampai karena terobsesi pengin dapat foto bagus, lalu momen travelling-nya sendiri jadi kelewat. Jadi nggak bisa ngobrol dengan teman/partner travelling, lupa menikmati sajian di depan mata, dsb. Beda cerita kalau memang jalan-jalan untuk hunting foto.


Tujuan travelling masih nyambung dengan timing sebenarnya. Tergantung apa yang ingin didapat dari perjalanan, kita bisa atur timing berkunjungnya.



 

7. Diam dan rasakan

Ini bukan tips foto, sebenarnya, tapi lebih ke saran aja. Kita kan jalan-jalan untuk refreshing, maka lakukanlah hal yang bisa membuat pikiran jadi segar. Foto-foto boleh aja, tapi sediakan waktu untuk menikmati apa yang ada di sekitar. Jangan sampai kita melewatkan sensasi ada-di-sana dan baru sadar saat sudah pulang.


Ini juga pengingat buat saya untuk tetap ‘mengalami’ alih-alih hanya ‘melihat’ dari balik kamera. Tiap berburu foto sambil bepergian, saya selalu sisakan waktu untuk mematikan ponsel atau kamera, lalu benar-benar melihat sekeliling. Merasakan sensasinya. Apalagi kalau tujuan utamanya untuk bepergian dan bukan hunting foto, maka saya akan ambil beberapa foto, kemudian menyimpan ponsel/kamera, lalu menikmati ‘proses’ jalan-jalannya.


Ada sebuah kutipan yang amat sesuai dan selalu jadi pengingat saya untuk ‘diam sejenak’ ini:

Anda selalu menulis, menulis dalam buku catatan Anda. Anda perlu mengalami. Benar-benar mengalami. – dari buku Geography of Bliss


Meski, dalam kasus ini, ‘menulis’ bisa diganti dengan ‘memotret’. Kutipan ini (dan kalimat lanjutannya) jadi inspirasi dan refleksi yang pernah saya tulis di sini.

Reading Time:

Minggu, 18 Agustus 2024

Tentang Buku Save The Cat: Novel dan Skenario
Agustus 18, 20240 Comments

 

Ketika sudah ‘lumayan akrab’ dengan perpustakaan online, saya punya hobi baru: ngecek buku yang pengin dibeli. Bukan apa, tapi akhir-akhir ini saya tergolong sering nemu buku yang review-nya menarik atau selangit, tapi begitu udah beli dan baca, eh, ternyata nggak sebagus itu atau nggak sesuai selera saya.


Jadi untuk jaga-jaga, biasanya selain tanya pendapat teman yang udah baca, saya coba baca preview-nya di perpustakaan online macam iPusnas (btw ini gratis, akses gampang, perpus milik perpus nasional). Kalau belum tersedia di sana, saya baca lewat Google Books. Kalau intronya atau bab-bab awal terasa menarik, gaslah ke toko buku.


___________________________

Anw sebelum terlalu panjang karena postingan ini campur curhatan pribadi, 

yang cari review bisa lompat ke bagian ini (klik):

👉 Review Save The Cat - Blake Snyder

👉 Review "Save The Cat: Writes A Novel" - Jessica Brody

👉 Kesan tentang Save The Cat

___________________________


Sama kayak buku “Save The Cat” ini. Buku tulisan Jessica Brody ini menulis tentang teknik menulis sebuah novel yang menarik, memikat, mengikat, yang diberi nama teknik ‘Save The Cat’. Buku ini udah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tahun 2021 lalu. Dan karena di-endorse (dan udah dipraktikkan) oleh salah satu penulis favorit saya, maka saya jadi tertarik beli, ahahah.

 

Tapi...

... sebenarnya saya kurang suka ngulik metode nulis begini. Saya lebih suka nulis tanpa bikin struktur rinci, rancangannya cukup di kepala atau garis besar aja (kecuali waktu nulis non-fiksi atau tulisan yang agak panjang). Namun karena Dewi Lestari bilang bahwa ngertiin struktur bisa banget dipakai untuk ngatasi writer’s block dan cerita yang mbulet atau malah stuck (yang mana adalah masalah saya selama bertahun-tahun, huhu), jadi tertarik, deh.

 

Karena ‘khawatir’ kurang cocok inilah, saya pun cek dulu isinya lewat perpus online. (Apalagi belakangan ini banyak banget kan buku metode menulis fiksi yang membanjir tapi isinya mirip atau gitu-gitu aja. Nggak mau rugi, dong. Sayang kalau isinya sama kayak pelajaran di sekolah dulu atau bisa didapat semudah browsing internet.)

 

Tujuan pertama adalah Google Books. Seperti udah diduga, di sana memang ada tapi hanya beberapa bab (namanya juga preview). Terus terpikir, coba cari di iPusnas, ah. Siapa tahu malah ada versi full-nya? Dan...

 

Jeng-jeng! Memang ada. Nggak butuh waktu lama, saya langsung klik tombol pinjam.

 

Menelusuri daftar isi, ucapan terima kasih, kata pengantar... oke.

Tapi, eh, kok kayaknya beda dengan preview yang pernah saya baca di Google Books? Nggak apa-apalah, lanjut aja. Baru ketika bab 1 udah kelar, saya bandingin sama yang di G-Books. Eh lho, ternyata emang beda! Yang lagi saya baca adalah Save The Cat untuk skenario film besutan Blake Snyder, sedangkan versi novel yang (rencananya) pengin saya beli adalah tulisan Jessica Brody. Pantesan aja rasanya ada yang beda, karena seingat saya pengantarnya ditulis Dee Lestari, sedangkan yang sedang saya baca, ditulis Gina S. Noer (pembuat film).

 


Mengapa buku Save The Cat ada dua?

Bukan ada dua, sebenarnya. Tekniknya cuma satu. Hanya aja buku yang satu soal penyusunan skenario, satunya spesifik tentang menulis novel. Seenggaknya itu yang versi (terjemahan) Indonesia.

 

Mana yang ‘betulan’?

Dua-duanya betulan. Save The Cat-novel merupakan pemekaran dari Save The Cat-skenario.

 

Jadi ceritanya, metode Save The Cat (disingkat jadi STC aja yak) pertama digagas oleh Blake Snyder untuk penulisan skenario. Lalu murid Snyder, Jessica Brody, mempraktikkan ini dalam prosesnya nulis novel. And it worked! Jadilah Brody nyusun buku tentang STC untuk penulisan novel.

 

Dan karena saya memang sukanya nulis buku dan bukan skenario, maka sebenarnya yang pengin saya baca aslinya adalah buku susunan Brody.

 

Tapi... STC-novel ini nggak tersedia di iPusnas. Yang ada ya STC-skenario sehingga ini yang bisa dibaca lengkap. Nggak papalah, saya pikir. Kan STC-novel ‘akarnya’ dari STC-skenario ini. Pasti ada hal yang bisa diambil buat penulisan novel meski mungkin butuh penyesuaian. Let’s go!

 


Review Save The Cat – Blake Snyder

Sebelum baca bukunya, saya udah pernah cari info soal metode STC ini. Sekilas intinya kayak nempel poin-poin penting sebuah cerita dan diurutkan. Kalau lihat papan tempelannya, kelihatan penuh post-it. Memang, poin-poin di STC ini ada sampai 40. ‘Banyak banget,’ batin saya yang waktu itu lalu ‘meninggalkan’ STC karena ngerasa ribet.

 

Intinya, metode STC membagi kejadian dalam beberapa babak/poin tadi. Total ada 15 babak. Banyak? Iya. Namun kalau ditelusuri lebih dekat, 15 babak ini sebenarnya perincian dari 3-4 babak utama aja. Pernah dengar struktur 3 babak? Ini struktur umum yang isinya intro – tengah/konflik – penutup/resolusi/ending. Nah, STC merinci 3 babak ini lebih detail. Kenapa? Karena, kalau saya, nulis panjang ‘cuma’ pakai 3 babak ini masih bikin bingung ‘mau dibawa ke mana’ karena terlalu umum.


Papan Save The Cat dari studiobinder.com


Jadi STC ini merupakan rincian dari 3 babak itu. 

Btw grafik STC ini macam-macam. Makanya kalau browsing, kita akan ketemu beberapa versi. Tapi nggak usah bingung, intinya tetap sama di 15 beats itu. Bedanya cuma di peletakan di grafik aja.


 

STC-skenario menjelaskan 15 babak ini diisi apa aja. Sebuah pencerahan buat saya, karena grafik naik-turun konflik dan emosi dijelaskan rinci di sini: apa yang terjadi, gimana pergolakannya, dsb. Nah, dalam masing-masing babak ini diisi 2-4 kartu yang isinya peristiwa-peristiwa yang ingin kita masukkan dalam cerita. Kebanyakan sampai totalnya lebih dari 40? Nggak apa-apa, nanti bisa diseleksi. 40 poin/kartu ini kemudian disusun dan dirajut sedemikian rupa, detailnya di buku.

 

Adegan/peristiwa paling ujung dalam sebuah babak harus merupakan penyambung atau lontaran untuk masuk ke babak selanjutnya. Waktu baca ini, sekilas saya jadi ingat metode nulis yang dibilang Pak Gol A Gong dan A.S. Laksana. Keduanya juga menyatakan hal yang sama. Jadi ingat pula soal kohesi-koherensi kalimat.

 

Selain tentang rincian babak (atau yang di STC sering disebut beat sheet), buku ini juga punya penggolongan cerita. Pengkategorian di sini nggak sekadar genre romance, thriller, dsb, tapi lebih spesifik. Sebuah cerita cinta-cintaan dan sebuah film pencarian jati diri bisa aja termasuk ‘genre’ yang sama karena punya plot yang mirip. Oleh karena itu, banyak yang nyebut penggolongan ini sebagai ‘plotting genre’.

 

Kalau pernah dengar tipe plot macam Cinderella’s story, rags-to-riches, dsb, rasa-rasanya plotting genre yang dibahas di STC mirip dengan itu. Bedanya di STC ada 10 genre: mulai dari Golden Fleece sampai Monster In The House. Genre ini bisa ngebantu kita nentuin mana ‘perjalanan cerita’ yang cocok sama cerita kita.

 

Selain ngebahas teknik, buku ini juga ngomongin soal kesalahan yang umum dilakukan. Beberapa mungkin pernah kita dengar, antara lain:

  •  dialog bertele-tele,
  • Double Mumbo Jumbo, yang berarti kejadian fantastis yang jumlahnya kebanyakan (kayak yang sering terjadi di sinetron kita. Ujian ini ditambah peristiwa itu terus ditambah lagi sampai yang nonton overwhelmed)
  • Pope In The Pool, yang rasanya mirip tips nulis yang menggabungkan setting atau latar dengan aksi tokoh supaya nggak ngebosenin dan terlalu eksposisi (cara ini sering saya pakai kalau nulis travel-writing atau cerpen yang temanya travelling)

dsb.


Pada intinya, STC ini metode supaya kita sebagai pembaca/penonton memihak ‘Hero’ alias tokoh utama dalam cerita. Teknik ini dirinci jadi 15 babak – 40 kartu – pemilihan plotting genre tadi. Buku ini juga banyak ngebahas soal penokohan, karena poinnya adalah keberpihakan ke Hero.

 

Jadi, apa STC-skenario ini bisa dibaca untuk panduan bikin novel?

Bisa banget. Meski bukunya ngomongin skenario, tapi tekniknya applicable banget untuk novel.

 

Gimana dengan media lain, misalnya cerpen atau artikel?

Ada poin-poin yang tetap bisa banget dipakai, seperti hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penulisan atau kesalahan yang umum dilakukan tadi. Namun karena babak/beats-nya banyak, mungkin soal beats ini aja yang nggak applicable. Bikin cerpen/artikel dengan 15 beats kayaknya terlalu penuh; pakai struktur 3 babak aja cukup. Kalau novelet, masih bisalah pakai STC karena rada panjangan.

 

Setelah tamat dengan STC skenario, sekarang kita beralih ke...

 


Tentang “Save The Cat: Writes A Novel” oleh Jessica Brody

Karena buku ini belum tersedia di iPusnas dan di G-Books hanya ada preview-nya, maka ini bahasan sesuai halaman yang bisa saya ‘intip’ di sana.

 

Dilihat dari daftar isi, STC-novel ini babnya banyak dipenuhi bahasan tentang plotting genre (itu lho, yang kayak Golden Fleece atau Rags to Riches tadi). Bedanya dengan STC-skenario, di sini isinya lebih dirinci dengan elemen-elemen yang harus ada di tiap plotting genre. Contohnya genre Golden Fleece yang punya elemen cerita berupa jalan (perjalanan tokoh), tim/teman, dan hadiah.

 

Kalau browsing di tempat lain, masing-masing plotting genre punya 3 elemen. Elemen ini ngebantu banget kalau pengin mempertajam cerita. Misal, kita nulis cerita soal petualangan. Nah, supaya petualangannya lebih greget dan nggak lempeng, apa aja yang harus ada dalam cerita? Inilah yang dibahas per elemen.

 

Selain ada elemennya, STC-novel juga ngasih contoh rinci banget tentang novel/film di masing-masing genre. Benar-benar dibedah. Kayaknya ini nih yang bikin bukunya jadi tebal, karena satu novel bisa dibedah elemen dan beats-nya sampai berlembar-lembar. Di satu sisi, ini ngebantu banget buat yang nyari contoh supaya bisa lebih paham materi di bab itu. Di sisi lain, mungkin ada yang ngerasa too much, terlalu detail; termasuk saya. Bagian ini saya baca sekilas aja karena saya cuma pengin tahu tentang genre-genre ini secara umum dan pengin langsung aja ke bahasan selanjutnya.

 

Perbedaan lain antara buku STC-skenario dan STC-novel adalah buku STC untuk penulisan novel  lebih ramah pemula. Di sini diterangin dari awal tentang tetek-bengek pembabakan dan penulisan. Di STC-skenario, bahasannya langsung to the point ke perumusan babak; langsung ke teknis beat sheet. Pembahasan seperti penokohan, nama babak, dsb, tetap ada tapi rasanya nggak serinci di STC-novel. Orang yang baru pertama nyemplung di dunia tulis-menulis mungkin akan bingung begitu di lembar-lembar pertama langsung ketemu dengan berbagai istilah seperti midpoint, B-story, dsb. Kalau orang yang udah agak lama nyemplungnya, ini bukan masalah karena udah kenal istilah itu. So, STC-skenario bukunya lebih to the point.

 

Jadi untuk yang baru mulai nulis, buku Save The Cat versi novel (Jessica Brody) lebih recommended. Untuk yang udah beberapa saat nyemplung di dunia kepenulisan, versi skenario (Blake Snyder) bisa langsung dilahap. Buku STC versi skenario bisa dibaca gratis secara daring di aplikasi iPusnas.

 


Kesan tentang Save The Cat

Sebagai orang yang lebih suka nulis ngalir aja alias strukturnya ngawang di kepala, awalnya maju-mundur mau baca STC. ‘Toh udah pernah baca/ikut kelas penulisan lainnya’, pikir saya waktu itu. Namun, sebuah petuah dari (lagi-lagi) Dee membuat saya tercenung, “Kalau buntu saat nulis, itu artinya ada yang salah dengan struktur cerita.”

 

Saya melirik bab-bab tulisan yang terbengkalai lama sekali. Ya, persis, itu ‘penyakit’ saya: buntu, ngerasa tulisan kurang greget. Padahal saya udah coba beberapa teknik lain. Cuma, setelah baca STC, rasanya teknik yang pernah saya pakai itu terlalu umum; kurang detail, jadilah tulisan jadi lempeng-lempeng aja.


Jadi, apakah STC ini cocok untuk penulis model pantser?

(alias yang suka nulis ngalir tanpa bikin kerangka)

Berkaca dari saya sendiri, rasanya cocok-cocok aja. STC bisa ngebantu saat kita buntu ini cerita mau dibawa ke mana atau saat kehabisan ide dengan ngelihat 40 kartu beat sheet yang berisi momen penting. Toh bikin struktur bukan berarti itu kerangka nggak bisa diubah kalau ada yang dirasa kurang cocok. Ngelihatin list ide juga bisa bikin inspirasi terpantik. Dan, kalau buntu, kita bisa lebih mudah menelusuri bagian yang bikin cerita buntu atau nggak asyik.


Mengutip kata-kata Jessica Brody, yang kurang lebih, 

Bagi penulis tipe plotter, STC ibarat peta yang memandu mereka selama perjalanan. Bagi pantser, STC lebih seperti montir yang membantu mereka memperbaiki kendaraan bila dalam perjalanan timbul masalah.


Sejenak setelah menekuri poin-poin STC, reaksi saya, “Wah, padat banget!”

Plotnya padat seperti berkejaran. Setelah kejadian menegangkan A, masuk poin menegangkan B, dst. Sekilas kayak nggak ada jeda untuk bernapas. Namun kalau dipikir-pikir, ya emang ‘feel’ tulisannya jadi lebih dapat; lebih seru. Beberapa novel yang saya tahu dibuat dengan teknik STC pun terasa lebih asyik, page-turner banget, surprise-nya nggak habis-habis (meski kadang berasa ‘ini nggak ada istirahatnya ya?’ tapi tetap seru!).


Mungkin metode ini cocok untuk novel yang isinya padat dan butuh tempo yang cepat (untuk ‘mengikat’ pembaca). Kalau pengin nulis novel yang temponya lebih slow, mungkin bisa dikondisikan dengan utak-atik beat sheet STC atau pakai metode lain.

 

Apa teknik STC bisa digunakan untuk jenis tulisan lain?

Hmm, tergantung jenis tulisannya. Untuk tulisan pendek macam cerpen kayaknya kurang cocok karena beats-nya banyak, sedangkan ruang untuk cerpen terbatas. STC cocok untuk konflik yang kompleks berlapis, sedangkan konflik cerpen butuh selapis aja. Kalau untuk novelet, mungkin masih bisa.

 

Meski begitu, beberapa poin pembahasan di buku STC bisa banget dipakai untuk jenis tulisan lain. Contohnya tentang penokohan (bisa dipakai di cerpen), Pope In The Pool (bisa dipakai di artikel/cerpen/travel-writing), pentingnya subteks, dsb.

 

Teknik STC ini udah banyak yang bahas di internet. Grafiknya bejibun. Ada website-website yang ngebahas rinci bahkan nyediain tools gratis untuk identifikasi plotting genre tulisan kita (apalagi website berbahasa Inggris). Cuma kadang infonya terpotong-potong, jadi (kalau saya) lebih enak baca bukunya karena langsung ada di satu tempat.

 

Buku STC-novel dan STC-skenario dua-duanya sama-sama worth the time. Mungkin, inilah solusi yang saya cari selama ini, hahaha. Setelah ini mau coba ah, semoga cocok dan bisa memecahkan kebuntuan menahun ini ðŸ˜„


=    =    =    =    =


Selain buku Save The Cat, ada beberapa buku lain tentang metode menulis yang menurut saya gampang dipahami. Gampang banget bahkan untuk yang baru mulai nulis. Buku-buku inilah yang ngebantu saya nulis lebih baik di saat panduan menulis (waktu itu) hanya ada buku panduan formal sedangkan saya nulis teenlit. 

Penasaran, nggak? Semoga bisa ditulis di postingan selanjutnya, hehe. 

Reading Time:

Sabtu, 01 Juni 2024

Jejak Keraton Surabaya
Juni 01, 20240 Comments

 


‘Memangnya Surabaya punya keraton? Di mana?’ 

batin saya saat membaca tulisan seorang kakak kelas, bertahun-tahun lalu. Tulisan singkat itu membuat kening saya berkerut, lalu tertarik mengulik lebih dalam. Sekian lama tinggal di Surabaya, kayaknya nggak ada yang nyebut-nyebut keratonnya atau bekas/sisanya. Paling pol soal gedung-gedung superlawas yang dibangun era Belanda, yang sekarang wujudnya masih ada dan beberapa masih difungsikan.

 

Entah di mana kini link tulisan tersebut. Yang saya ingat, di situ disebut kalau jejaknya ada di sekitar Surabaya Pusat. Beberapa nama jalan bernuansa kerajaan seperti Jl. Kraton dan Jl. Praban ditengarai dinamakan begitu karena dulu di situlah aktivitas kerajaan berpusat.


[NB: foto pintu di atas hanya pemanis; bagian dari sebuah bangunan tua di sekitar Kampung Kraton, bukan bagian dari keratonnya sendiri] 

[NB: klik foto/gambar untuk tampilan yang lebih jelas dan detail. Nggak tahu kenapa gambarnya blur banget kalau cuma di-scroll] 

  

 

[ASAL MULA] 

[Disclaimer: postingan ini bukan tulisan sejarah yang faktual sekali. Saya bukan sejarawan, hanya hobi ngulik sejarah. Tulisan ini dibuat berdasarkan apa yang saya tahu aja: dari cerita orang, dari obrolan, artikel/berita yang pernah dibaca (yang lupa apa aja dan detailnya gimana, cuma ingat intinya), sehingga sangat mungkin terdapat kesalahan isi atau interpretasi dalam tulisan/post ini. Oleh karena itu, sebaiknya pembaca check and re-check dari sumber lain yang lebih terpercaya.]

 

Terbesit pikiran, “Kenapa Surabaya sampai punya keraton? Kan, sejak dulu dia nggak pernah berbentuk kerajaan?”

 

Karena nggak pernah jadi kerajaan inilah, mungkin pikiran bahwa pernah ada istana di Kota Pahlawan nggak pernah lewat di pikiran saya; beda dengan kota-kota yang menjadi/pernah jadi pusat kerajaan/kesultanan seperti Yogya, Cirebon, atau Mojokerto.

 

Usut punya usut, ‘keraton Surabaya’ memang bukan istana raja melainkan keraton kadipaten. Kadipaten adalah suatu wilayah pemerintahan di bawah kerajaan tertentu. Tingkatnya setara duchy yang dipimpin seorang duke. Namun untuk wilayah setingkat itu, apalagi yang menjadi salah satu pusat Jawa Timur sejak dulu, maka nggak heran kalau ‘rumah’ pemimpinnya (alias adipati) sampai bisa disebut keraton dan punya kompleks

 

Jadi, siapa yang jadi atasan adipate/duke ini? Kerajaan mana?

Kita mundur ke belakang sebentar.

 

Sejak dulu, yang saya tahu adalah Surabaya jadi wilayah milik Mataram di era kesultanan. Sebelum itu, milik Majapahit. Sebelum itu, milik kerajaan di Jawa Timur. Sebelum itu, adalah kota pelabuhan. Sebelumnya lagi, kampung tepi pantai dan muara yang ramai (cikal-bakal pelabuhan).

 

Surabaya dipercaya sempat bernama Ujunggaluh (ada yang nulis Ujung Galuh/Hujung Galuh). Namun ada pendapat bahwa Ujunggaluh ini bukan cuma Surabaya, tapi juga meliputi kota-kota pelabuhan di sekitarnya seperti Gresik, Lamongan, dsb.

 

Back to Surabaya.

Kalau dari cerita rakyat yang sering diceritakan ke anak-anak kecil, nama ‘Surabaya’ berasal dari kata (ikan/iwak) suro dan boyo (buaya). Mitosnya, dulu pernah ada perkelahian hebat antara ikan suro—yang dipercaya adalah ikan hiu—dan buaya di muara Sungai Kalimas. Berantemnya hebat banget sampai bikin masyarakat yang lihat ketenggengen.  Gara-gara kejadian ini, masyarakat menamai tempat itu ‘Surabaya’ (Suroboyo, kalau pakai logat Jatim).


Sungai Kalimas kini

Di versi lain, diceritakan bahwa pemimpin Surabaya saat itu berkelahi dengan utusan dari Majapahit. Konon berkelahinya karena pemimpin Surabaya makin kuat dan dianggap mengancam keutuhan Majapahit. Perkelahian (dan adu kesaktian, kayaknya) ini berlangsung berhari-hari di Kalimas. Ikan suro dan buaya di cerita sebelumnya diduga adalah simbol dari dua sosok ini.

 

Namun, sejarah punya pendapat lain.

Nama ‘Surabaya’ berasal dari gabungan dua kata dalam bahasa Sansekerta: ‘chura’/‘sura’ dan ‘bhaya’ yang berarti ‘selamat dari marabahaya’. Menurut sejarawan, penamaan versi ini lebih otentik daripada versi mitos tadi.

 

 


[DI MANA SISA KERATON SURABAYA?] 

Berangkat dari postingan kakak kelas yang mengangkat keraton Surabaya tadi, saya pun mulai browsing. Saya buka peta Surabaya, terutama wilayah pusat. Benar aja, di sekitar situ memang nama jalannya pakai nama-nama bernuansa keraton, antara lain: 

  • Jl. Kraton       : diduga dulu pusat keratonnya di sini
  • Jl. Praban       : kompleks untuk raja/penguasa keraton (praban = prabu = raja)
  • Jl. Maspati & Jl. Kepatian: kompleks untuk patih
  • Kebon Rojo    : kebun milik raja
  • dan jalan yang letaknya agak jauh dari pusat tadi, antara lain Jl. Keputren (tempat tinggal putra/putri), dsb. Jalan/kampung lain ada yang dinamakan sesuai fungsinya, contoh Kampung Temenggungan, Carikan, Jl. Jagalan (jagal hewan), Jl. Pandean (tempat pandai besi), dsb. Area yang sekarang jadi Tugu Pahlawan, dulunya adalah alun-alun Surabaya.

 

Kabarnya letak-letak kompleks/kampung berdasarkan fungsi ini juga ditentukan dengan khusus. Penempatannya disesuaikan dengan arah mata angin: utara, barat, timur, selatan. Tiap arah mata angin mengandung filosofi tersendiri, misalnya arah tertentu untuk fungsi kerohanian, arah yang lain untuk nilai keduniawian. Tapi saya nggak hafal arah dan perwujudan nilainya.

 


Sudah lama saya ingin blusukan ke gang-gang di jalan ini. Kalau lewat jalan besarnya, memang sering saat motoran. Nggak nyangka aja ternyata jalan yang saya lewati ratusan kali ternyata udah ada bahkan sebelum mbah saya lahir, yang di dalamnya punya kampung yang usianya juga sudah ratusan tahun meski bangunannya tampak baru. Mau blusukan sendiri rasanya kok ya sungkan karena ini kampung orang dan bukan tujuan wisata. Bukan seperti, misalnya, kampung di sekitar Tamansari Yogya yang rame. Kebayang kalau ditanya,

“Nyari apa?”

“Nggak cari apa-apa, Bu/Pak. Mau lihat-lihat aja.”

“Lha kampung gini aja, apa yang mau dilihat?”

Worst case scenario, malah dicurigai mengintai rumah untuk dimaling.

 

Kesempatan menelusuri gang-gang itu datang waktu saya nemu info walking tour. Nggak pikir panjang, saya langsung join. Seenggaknya kalau jalan berbanyak orang, mungkin dikira mahasiswa lagi cari data, hehehe.

 

Dari walking tour inilah saya tahu bahwa mulut gang yang udah bolak-balik saya lewati ternyata adalah satu-satunya sisa bangunan Keraton Surabaya yang masih ada, yaitu di salah satu mulut gang di Jl. Kramat Gantung. Bentuknya seperti gapura, warnanya putih. Modelnya sekilas mengingatkan saya pada model tembok Jokteng Yogya dan Vredeberg. Imajinasi saya berkelana, membayangkan dulu gapura ini dijaga para prajurit yang siaga dan menanyai setiap orang yang keluar-masuk; seperti gerbang kota di film-film medieval.

 

Anyway, tentang sisa tembok keraton ini juga ada perbedaan pendapat. Ada yang berpandangan bahwa belum ada cukup bukti untuk tembok ini diklaim sebagai sisa bangunan keraton. Ada yang punya persepsi bahwa ini tembok bangunan baru, yang nggak ada hubungannya dengan keraton, dan baru dibuat di era 1900-an.

 

Entah mana yang benar, saya juga nggak tahu. Namun, yang nyata diyakini adalah keraton Surabaya memang habis tak bersisa. Luluh lantak. Kok bisa?


Tembok/gerbang gang yang diduga bagian dari keraton, diapit pertokoan

Masih ingat nggak, kalau dulu Surabaya masuk jadi kadipaten di wilayah Majapahit? Setelah Majapahit runtuh, Surabaya jadi daerah independen. Setelah Kesultanan Demak berdiri, Surabaya masuk jadi wilayah Demak (apa ini karena ada Sunan Ampel di Ampel yang dekat dengan sultan Demak?). Setelah Demak runtuh, Surabaya independen lagi.

 

Saat independen ini, Surabaya sempat jadi salah satu pusat pemerintahan di Jawa Timur. Karena posisinya di pinggir laut dan jadi kota pelabuhan, maka meski dia nggak di bawah pemerintahan siapa-siapa, dia punya hubungan diplomatis dengan kota/kerajaan di luar Pulau Jawa via laut.

 

Setelah sempat independen, Surabaya masuk jadi wilayah Kesultanan Mataram di bawah pimpinan Sultan Agung. Saat itu, Keraton Surabaya diperkirakan masih berdiri.

 

Hubungan antara Surabaya dan Mataram ini punya cerita tersendiri. Rada panjang dan penuh intrik. Nanti deh diceritain di bagian akhir. Di sini ngebahas sisa bangunannya dulu.

 

Oke. Setelah jadi kadipaten di bawah Mataram, terus gimana?

Keraton masih berdiri; masih ada. Seenggaknya sampai Sultan Agung Hanyokrokusumo tutup usia. Masalah dimulai saat putranya, Amangkurat I, naik tahta.

 

Amangkurat I berkonflik dengan salah satu putranya. Putranya ini bersekutu dengan Trunojoyo, bangsawan dari Madura. Konon salah satu alasan Trunojoyo bergabung dengan putra Amangkurat I ialah karena nggak suka dengan VOC, sedangkan Amangkurat I malah dekat dengan VOC (nggak kayak bapaknya). Trunojoyo menganggap VOC menjajah Madura. 

 

Anak Amangkurat I ini kemudian berhasil jadi raja. Namun setelah itu dia bertengkar dengan Trunojoyo. Alasan pertengkaran ini sendiri punya banyak versi, salah duanya adalah sudah nggak sepaham atau menganggap Trunojoyo terlalu berkuasa di (Jawa) timur dan mengancam Mataram. Anak Amangkurat I ini kemudian balik bersekutu dengan VOC untuk memburu Trunojoyo.

 

Singkat cerita, Trunojoyo tewas. Pesisir Jawa, termasuk Surabaya, kemudian diserahkan pada VOC oleh Mataram. Konon saat perang VOC-Mataram vs Trunojoyo inilah Keraton Surabaya dihancurkan VOC, luluh-lantak tak bersisa sampai sekarang.


Dalam versi lain, Keraton Surabaya dihancurkan VOC saat VOC berperang dengan Mataram. Di sini ceritanya Mataram masih belum friend sama VOC. Tapi ending-nya sama: setelah perang, keraton hancur, dan Surabaya dikuasai VOC. 

 


 

[SURABAYA-MATARAM, KALIMAS, dan PANGERAN PEKIK]

Kita mundur sedikit ke belakang; saat Kesultanan Demak runtuh dan Surabaya jadi daerah independen, sebelum jadi bawahan Mataram.


Mataram ini sebenarnya siapa? Mataram ini kesultanan yang ada di tengah Jawa; sekarang jadi Yogya. Kalau saat sekolah dulu di pelajaran Sejarah disebut “... lalu Sultan Agung menyatukan wilayah Jawa di bawah panji Mataram...” ya inilah Mataram itu. Kalau yang pernah main ke Yogya, khususnya ke daerah Kotagede, pusat Mataram dulu ya di sana. Ada masjidnya juga. Area ini jaraknya cuma beberapa km dari Terminal Giwangan dan dekat dengan gerai Cokelat Monggo (eh kok jadi ke mana-mana).

 

Sebagai catatan, Mataram ada dua: Mataram Hindu yang membangun candi-candi besar di DIY-Jateng (termasuk Borobudur, Prambanan, dsb) dan Mataram Islam yang menjadi cikal bakal Kesultanan Yogya dan Kasunanan Surakarta. Yang dibahas di sini adalah Mataram yang kedua.

 

Sultan Agung termasuk raja besar dalam sejarah Indonesia. Perjuangannya menaklukkan daerah-daerah di Jatim-Jateng nggak sebentar. Perebutan Surabaya pun nggak ujug-ujug; ditaklukkan daerah sekitarnya dulu.

 

Setelah Demak runtuh dan Surabaya independen, saat Sultan Agung mulai ekspansi, banyak bangsawan pemimpin lokal a.k.a bupati kota lain di Jatim yang lari ke Surabaya dan berlindung di sana. Wilayah Surabaya dianggap kuat.

 

Saat menaklukkan Surabaya, pasukan Sultan Agung pun kesulitan. Gara-garanya karena (selain kuat):

  • Surabaya dikelilingi benteng yang kokoh,
  • dikelilingi sawah, hutan, dan rawa yang rapat dan susah ditembus. Jangan bayangin Surabaya seluas sekarang. Waktu itu, wilayahnya masih seluas Surabaya pusat dan utara aja. Kalau dilihat di peta lawas, sekeliling daerah itu kelihatan kayak wilayah kosong dan berair,
  • punya akses laut. Akibatnya, meskipun sudah dikepung via daratan, Surabaya masih bisa minta bantuan dari daerah lain via pelabuhannya.

 

Karena susah, pasukan Mataram akhirnya memutar otak. Mereka tahu ada satu sungai vital di Surabaya, mengalir dari luar batas kota hingga ke pelabuhannya. Sungai bernama Kalimas ini mereka cemari; dibuangi tahi dan bangkai sampai warnanya buthek kekuningan.


Atas: peta sekarang | Bawah: nama kampung di Surabaya tahun 1825, nama-namanya masih dipakai sampai sekarang.

Kejadian ini kemudian jadi (salah satu versi) penamaan Sungai Kalimas. Kali = sungai, mas = kekuningan.

 

Taktik bioweapon ini berhasil. Kota Surabaya airnya tercemar, penduduknya jadi sakit-sakitan dan kesulitan suplai air bersih. Adipati Jayalengkoro akhirnya menyerah ke tangan Mataram sekitar era 1600-an.

 

Apa udah selesai? Oh, belum.

Seperti yang jamak dilakukan saat itu, saat ada wilayah yang baru direbut, maka harus ada bukti persatuan selain perjanjian. Salah satunya dengan pernikahan. Pangeran Surabaya saat itu, Pangeran Pekik, setelah menggantikan ayahnya (Adipati Jayalengkoro), dinikahkan dengan adik Sultan Agung.

 

Hubungan pemimpin Surabaya dan Mataram, selain antara adipati dan raja, juga menjadi hubungan kekeluargaan antara adik dan kakak ipar.

 

Masalah muncul ketika Sultan Agung meninggal dan digantikan putranya, Amangkurat I. Amangkurat I tercatat sebagai raja bermasalah: dari segi pemerintahan, juga dari segi kepribadian. Singkat cerita,  Pangeran Pekik berkonflik dengan Amangkurat I ini.

 

Pertengkaran dua orang ini juga—seperti lazimnya sejarah—punya banyak versi.

Dan seperti umumnya tokoh sejarah, pertengkarannya pun 'berdarah'.

 

Versi satu, Pangeran Pekik dianggap bersalah karena menikahkan wanita yang disukai Amangkurat dengan putra sang raja (iya, Amangkurat I dan putranya suka satu perempuan yang sama; rebutan). Perempuan ini, Rara Oyi, ceritanya tragis dan sedih banget di akhir hidupnya Versi kedua, Pangeran Pekik dianggap merencanakan pembunuhan raja. Ini versi lain, sebab ada yang bilang bahwa Pangeran Pekik udah meninggal saat kejadian bapak-anak tadi berebut Rara Oyi.

 

Ending-nya sama: Pangeran Pekik dianggap bersalah, kemudian dieksekusi. Beserta keluarga dan pengikutnya. Kisah pangeran Surabaya itu pun berakhir.

 

Sampai akhir hidupnya, pangeran dari Surabaya itu nggak kembali ke Surabaya. Pangeran Pekik dimakamkan di Pesarean Banyusumurup, yang sekarang letaknya di Imogiri, Kab. Bantul, masih di D.I. Yogyakarta. Di mana itu?

 

Pernah jalan-jalan ke Kebun Buah Mangunan atau hutan pinusnya? Kalau ingat rutenya, mungkin ingat kalau sebelum jalanan mulai nanjak, ada belokan ke kanan. Di situlah Pangeran Pekik dan keluarganya dimakamkan. Makam ini nggak jauh dari Pemakaman Raja-Raja Imogiri. Kalau makam Imogiri ada di bukit, Banyusumurup berada di lembah. Konon, pesarean ini adalah kompleks pemakaman bagi mereka yang dianggap berkhianat pada raja.


Pemandangan di Kebun Buah Mangunan


Dan begitulah cerita tentang Keraton Surabaya dan pemimpinnya. Selanjutnya seperti kota-kota lain di Indonesia, Surabaya ada dalam genggaman pemerintahan kolonial Belanda, kemudian jadi salah satu kota yang paling bergejolak selama perang kemerdekaan.




=================

Catatan: peta utuh dari inset tahun 1825.


Kaart van Soerabaia 1825. Dipublikasikan/dicetak oleh G. Kolff & Co, 1931.  Diakses via Digital Collections Leiden University Libraries.



Reading Time: