Hijaubiru

Jumat, 13 Desember 2024

Hujan dan Love-Hate Relationshipnya
Desember 13, 20240 Comments


Iseng-iseng buka notes, menyadari eh ternyata di hari-hari hujan, isi notes lebih banyak. Saya emang lebih gampang nulis kalau hujan. Inspirasi lebih ngalir aja rasanya daripada waktu cuaca cerah.

 

Tapi ini bukan soal hujan, cuma preambule aja.

(Dan ini… panjang. Dan topiknya kadang lompat-lompat. So… read at your own caution?)

 

Beberapa minggu lalu, saat hari-hari hujan dimulai dan banyak orang ngomongin kesukaannya terhadap hujan, saya nemu sebuah kalimat yang menggelitik. Kurang lebih begini:

 

Orang yang bilang suka saat hujan turun itu bukan orang yang pernah ngerasain susah saat hujan.

 

Di bawahnya bermunculan jawaban, kalimat dan foto, tentang kesusahan saat hujan. Potret para pencari rezeki yang berhujan-hujanan di atas motor dengan jas hujan kelelawar, testimoni pejalan kaki yang menerjang jalanan becek dan banjir, orang-orang yang hatinya kebat-kebit takut rumahnya bocor atau kebanjiran.

 

Saat itulah saya sadar, saya pun pernah berada dalam situasi seperti yang disebutkan di atas. Dan perasaan, kok, kayaknya saya pun punya love-hate relationship sama hujan, ya?

 

Saya suka hujan. Hawanya sejuk, aroma petrichor-nya segar menenteramkan. Masih banyak segudang alasan lainnya; alasan yang simpel dan se-‘remeh’ suka ngelihat tetes air jatuh dari pucuk daun atau perasaan melankolis yang muncul saat ngelihat kaca ruangan berembun.

 

Nggak bisa dipungkiri, hujan juga jadi salah satu bahan bakar untuk nulis karena serasa adaaa aja hal-hal yang tiba-tiba terpikir. Catatan saat bulan-bulan berhujan jumlahnya jadi (jauh) lebih banyak. Ibarat tiap hari hujan bisa nulis minimal satu notes (bahkan lebih), sedangkan saat kemarau, tiga/empat catatan sebulan aja udah dianggap banyak. (Apakah ini ada hubungannya sama SAD alias Seasonal Affective Disorder? Entah)

 

Sesuka dan se-inspiring itukah hujan? Iya, bagi beberapa orang.

Namun, baca postingan medsos di atas, saya juga jadi sadar bahwa ada kalanya saya nggak suka hujan.

Bahkan, nggak suka banget.

 

Terbayang beberapa keribetan dan kesusahan yang pernah saya alami saat hujan. Kudu jalan nyeker supaya sepatu sekolah nggak basah kuyup, takut hujan ngerembes ke dalam tas meski udah dipasang rain cover, baju yang terasa lembap dikekep jas hujan karena menempuh jarak jauh dengan motor. Zaman ngekos, sering kerasa was-was kamar kos bocor. Kudu lebih hati-hati juga ngerawat rak buku karena buku jadi rentan berjamur (sempat syok awal-awal ngekos karena buku saya jadi penuh bercak hitam RIP my books).

 

Ada saat-saat ketika saya berdoa supaya nggak turun hujan. Saat-saat ini adalah momen saya langsung bad mood begitu ngelihat rintik yang masih jarang. Momen itu salah satunya saat hiking. Butuh beberapa tahun pembiasaan dan satu pendakian super-berhujan untuk berdamai dengan hujan-saat-naik-gunung. Sebelumnya, kena rintik kabut lewat aja, saya udah cemberut karena kepikir betapa perjalanan ini akan lebih sulit.

 

Hujan juga pernah jadi pengingat menyakitkan; saat lagi nge-drop dan turunnya hujan jadi pengingat kalau saya masih dalam masa penyembuhan meski udah berbulan-bulan dan hampir nggak ada yang percaya kalau saya butuh recovery selama itu.

 

Jadi… apakah masih bisa dibilang suka hujan?

Bicara soal suka, atau cinta, saya jadi keinget kutipan dari Bob Marley, penyanyi musik reggae itu.

 

 

Saya jadi mikir, sebenarnya saya beneran suka hujan atau suka sensasinya aja?

Apakah suka hujan dengan segala keindahan dan keribetannya, atau suka sensasi senangnya aja tapi kalau kena efek jeleknya kemudian nggak suka?

 

“Ngapain, sih, mikir sampai kayak gitu?”

Suara hati saya yang lain protes. So what kalau menyadari suka/nggak suka hujan, nggak ada efek signifikannya.

 

Memang enggak, tapi ini sedikit membantu saya untuk ‘nyortir’ perasaan terhadap hal lainnya. Hobi, barang yang ingin dibeli, dan in some level kekaguman dan kedekatan terhadap orang-orang tertentu. What did I say in the first paragraph: hujan cuma preambule, pembukaan aja.

 

Balik ke topik soal suka-nggak suka. Gara-gara mikir itu tadi, jadi keingat kutipan lain (banyak amat keingatnya, tapi ya gimana lagi lha kutipan tentang perasaan kayaknya emang salah satu yang mendominasi dunia per-quote-an). Kurang lebih isinya gini:


Do you really love?

Or do you just like that fluttery flitter feeling?

 

Orang Barat punya ungkapan: ketika jatuh cinta, rasanya seperti ada banyak kupu-kupu beterbangan dalam perut kita. Kalau versi Indonesianya mungkin perasaan deg-degan, gugup, dan senang kali, ya. Dan, itu emang benar, kan? Jangankan ketemu orang, nemu barang yang disukai aja rasanya excited sekali.

 

Namun, perasaan ini bisa berarti dua: suka aja, atau beneran cinta. Yang kedua, lebih butuh effort. Gampangnya, kalau diibaratkan ke soal hujan-hujanan tadi, suka itu kalau suka sensasi saat hujan aja kemudian mengutuk saat dapat keribetannya, sedangkan kalau cinta ya menerima dua-duanya; baik-buruknya.

 

Karena kalau cinta, nggak cukup pakai rasa. Juga butuh usaha.

Perasaan (that fluttery flitter feeling) bisa luntur seiring waktu kalau nggak dipupuk dan dirawat.

 

Orang-orang yang awet bersama pasangannya mungkin bisa ngasih testimoni gimana usaha mereka untuk bertahan meski diterpa berbagai badai cobaan (ceilah…). Tapi okelah, mungkin itu kejauhan, mari bicara soal yang nggak terlalu dalam aja, misalnya: hobi.

 

Hobi artinya aktivitas yang suka dilakukan di waktu luang. Semua orang suka ngelakuin hobi, betul? Baca buku, masak, nulis, sepedaan, olahraga, scrolling medsos, you name it. Namun, kalau aja butuh usaha lebih untuk ngelakuin hobi itu, apa akan tetap dilakukan?

 

Soal hobi ini pernah kejadian di saya sendiri. Alkisah saya suka motret. Kepikiranlah untuk nyambi jualan foto di platform online. Sebelum bikin akun, saya baca syarat foto yang diterima: resolusi minimal sekian, no noise, dll dsb dst—yang, ketika dicocokkan dengan koleksi potret saya, kok, rasanya banyak yang nggak memenuhi syarat meski secara jumlah ada bejibun. Oke, saya pikir, berarti saya harus upgrade skill. This is a challenge!

 

Mulailah saya berburu foto dengan mikirin segala teknisnya. Sebelum jepret satu, diem dulu nentuin angle, setting, dsb. Setelah itu pulang, transfer data, cek foto, eh… ternyata banyak yang missed. Oke, coba lagi. Dan begitu seterusnya. Sampai pada satu titik saya menyadari: kok, rasanya saya mulai nggak enjoy motret, ya?

 

Hal di atas masih saya lakukan sampai saya ‘tiba’ di titik kedua:

Kenapa ya, sekarang rasanya males motret? Kayak ada beban gitu. Beda sama dulu.

 

Oh la la~ Kamu yang sekarang sudah berubah, tidak seperti kamu yang dulu!

Kedengaran familiar? Iya, ini salah satu trope di cerita atau film romance, hahaha.

 

Sampai pada satu titik (lagi), saya menyadari bahwa kalau mau terjun ke ranah (lebih) profesional, ya memang kudu lebih effort. Meski itu berawal dari ‘sekadar’ hobi. Butuh kesabaran untuk upgrade skill, lebih disiplin, lebih rajin, dsb. Ini mirip sama kejadian ketika banyak penghobi nulis kemudian ngerasa stuck atau terbebani ketika memutuskan mau serius nulis naskah. Memang lebih berat daripada kalau menulis bebas semaunya.

 

Pada akhirnya, saya memutuskan nggak jadi jual foto. Biarlah hobi satu ini jadi pereda stres daripada nambahin stres. Upgrade skill tetap, tapi nggak se-ngoyo dulu. Biarlah fotografi ini jadi hobi aja.  Biarlah saya ambil minat lain yang kiranya saya bisa compromise ketika masuk ranah kerjaan.

 

Dan that’s okay. Punya hobi sebagai hobi aja juga nggak apa-apa. Nggak ada yang salah dengan itu.

 

Jadi, apa bisa dibilang saya mencintai fotografi?

Menurut saya, enggak. Cuma suka aja. Kalau beneran cinta, saya akan tahan itu semua kesulitan (atau tantangan) demi foto yang jauh lebih baik. Kan, memang butuh usaha, suka aja nggak cukup.

 

Jadi keingat sebuah kutipan (lagi!) yang diucapkan tokoh Rangga di film “99 Cahaya di Langit Eropa”:


Cinta itu tanggung jawab.

 

To put it to further context (sehingga paragraf ini jadi agak out-of-context, lol), kalimat tadi diucapkan Rangga saat Stefan nanya kenapa dalam Islam seorang lelaki boleh beristri 4. Rangga jawab, boleh tapi harus adil dan itu susah, makanya tetap disarankan satu aja, 4 itu kalau mampu. Stefan jawab, kalau cinta, dia yakin bisa mencintai semua sama besarnya. Rangga respons: enggak, beda, cinta itu tanggung jawab. Lalu dilanjut,

R: “Cinta itu tanggung jawab. Ibarat kuliah, kamu harus nyelesaiin semuanya.”

S: “Satu (kuliah) aja pusing.”

R: “Nah, you got the point. Satu aja pusing.”

 

Jika memang cinta sesuatu/seseorang, saat ada hambatan akan diatasi dan bukan ditinggal. Saat ada ketidakcocokan, akan dicari titik temunya, bukan menitikberatkan ke siapa masalahnya. It’s both of you vs the problem, not you vs him/her/it. Akan selalu diusahakan (within reasons tapi, selama nggak malah jadi toksik atau obsesif).

 

Jadi… apakah saya suka hujan atau cinta hujan?

Bahkan setelah refleksi berhalaman-halaman ini, saya masih diam berpikir. Iya atau nggak? Entahlah, seperti perasaan, rasanya masih nggrambyang. Kalau ini adegan di film atau novel, mungkin akan muncul ‘jawaban’ klise,

“Beri aku waktu untuk berpikir.” 😂

 

Untungnya, hujan nggak butuh jawaban. Untungnya dia bukan orang juga, kan, jadi nggak perlu dikasih kepastian. Dan lagi, emangnya dia pernah nanya? ðŸ˜‚ (PD bener, padahal nanya sendiri, jawab sendiri, hahaha)

 

And, although kind of abstract, this way of thinking helps me to sort out things more clearly.

Reading Time:

Sabtu, 07 Desember 2024

Pelajaran Perjalanan
Desember 07, 20240 Comments


 

Experience is the best teacher, katanya. Pengalaman adalah guru terbaik. Banyak orang setuju dan pernyataan itu emang benar. Sayangnya, 'guru' satu ini merupakan jenis guru yang pasti tega sama muridnya: karena mereka ngasih ujian dulu, lalu pembelajarannya belakangan.


‘Model pembelajaran’ macam ini pun nggak mengenal kata selesai, sesuai dengan ungkapan, “Tuntutlah ilmu sejak dalam buaian hingga liang lahat”. Alias nggak mengenal kata berhenti. Tiap fase hidup dan peristiwa bisa jadi ‘bahan ajar’ yang diambil hikmahnya.

 

Sama seperti peristiwa-peristiwa lain dalam hidup, perjalanan juga menyimpan pelajaran. Bahkan hal-hal yang ‘nggak hidup’—atau sering nggak kita anggap sebagai subjek dan hanya objek—bisa banget jadi sumber pembelajaran.

 


AWAL ‘PERJALANAN SEBAGAI PEMBELAJARAN’

Di zaman sekarang, kita bisa bebas jalan-jalan ke mana pun dan kapan pun. Di zaman duluuu banget, perjalanan cuma dilakukan untuk hal-hal yang penting. Hampir nggak ada perjalanan untuk wisata, beberapa abad silam. Leisure travel ditengarai muncul baru-baru aja ketika zaman udah stabil.

 

Stabil yang dimaksud adalah hal-hal semacam biaya perjalanan lebih murah, transportasi lebih memadai, keamanan lebih terjamin, dsb. Makanya kalau kita cari-cari catatan perjalanan zaman dulu banget, penulisnya seringkali adalah orang-orang yang memang perlu melakukan perjalanan, contohnya pelaut, pedagang, wartawan, ilmuwan yang cari bahan riset, murid yang sedang cari guru untuk belajar, dan semacamnya; bahkan para pengelana yang membawa misi kolonial.

 

Di Eropa sendiri, perjalanan awalnya memang untuk belajar. Para pemuda kaya atau bangsawan melakukan grand tour, melawat ke daratan Eropa lainnya untuk belajar. Belajarnya nggak hanya di kelas, tapi lebih pada kunjungan ke berbagai tempat asing untuk menambah pengetahuan. Kalau di Indonesia dan sekitarnya mungkin kita akrab dengan cerita kolosal yang sering menyebut tokoh A berkelana untuk berguru pada tokoh X, dan semacamnya.

 

Kalau di masa kini, apa saja yang bisa kita jadikan ‘guru’ dalam perjalanan?

 


‘GURU’ DALAM PERJALANAN

Sebagai catatan, beberapa poin di daftar ini ‘menjadi guru’ karena keterkaitannya dengan manusia atau masyrakat. Jadi memang ada yang nggak berdiri sendiri. Sepertinya udah sifat ilmu untuk saling terkait.

 

1. PERENCANAAN: Sebuah Awal Proses Menemukan

Sebelum melakukan perjalanan atau pergi wisata, biasanya kita akan ngerencanain dulu. Kalau panjang atau jauh, kita akan bikin planning atau itinerary. Penyusunan rencana ini tentu butuh proses mencari tahu atau riset istilah kerennya. Kita bisa cari info dengan tanya orang lain, berselancar di website, atau tanya langsung ke tempat (misal: stasiun, hotel, dsb).

 

Dalam proses perencanaan ini, seringkali saya juga ‘menemukan diri sendiri’ dengan mengetahui hal-hal yang saya butuhkan atau inginkan. Kita juga bisa tahu style seseorang dari planning-nya, baik itu style perjalanannya atau style secara umum. (Style di sini maksudnya bukan gaya berpakaian, yaa.)

 

Soal menemukan diri sendiri, kadang hal ini juga bisa direfleksikan pada kehidupan sehari-hari sehingga kemudian bikin sadar, “Oh, ternyata aku butuh ini, ternyata aku seperti ini.”

 

2. ALAM

> Tentang Sifat Manusia

Back to nature! Konon, di alam kita bisa melihat diri kita yang sebenarnya. Dan memang betul. Beberapa kali dalam kondisi terdesak atau kondisi yang super-duper nggak nyaman, sifat asli saya dan teman-teman jadi kelihatan. Bahkan sifat-sifat jeleknya bisa keluar semua. Poin belajarnya adalah gimana mengatasi bad mood dan bad condition serta tetap berkomunikasi baik dengan teman-teman supaya keadaan nggak makin runyam atau pertemanan jadi nggak nyaman.

 

Ketika sudah saling tahu bahwa ada berbagai macam sifat dan gimana cara ngehadapinnya, pengalaman ini bisa juga kita pakai di kehidupan sehari-hari.

 

> Tentang Alam

Alam ini hebat karena Pembuatnya amat hebat. Banyak hal yang bisa kita pelajari dari fenomena-fenomena alam selama perjalanan. Bahkan nggak hanya dalam perjalanan, fenomena alam di sekitar kita pun bisa banget kita ambil hikmahnya.

 

Hal yang paling saya sukai adalah ketika menemukan sesuatu yang pernah saya dapat dari bangku sekolah atau buku. Menemukan lumut yang bisa diperas untuk diambil airnya, seperti yang diajarkan dalam survival. Melihat tingkat-tingkat batuan berbagai motif dan gradasi hasil patahan dsb, seperti dalam pelajaran Geografi. Merasakan angin laut dan angin darat yang super semriwing di kulit, seperti di pelajaran IPA. Dan masih banyak lainnya.

 

Saya sendiri paling suka bila ketemu fenomena alam yang terhubung dengan pelajaran atau textbook. Rasanya kayak makin nyata aja. Beda, kan, sensasi memahami dari buku aja dengan mengalami sendiri. Lebih nyantol aja kalau pakai mengalami. Oleh karena itulah ada praktikum di sekolah: karena kalau praktik biasanya lebih nyantol.

 

Ini juga bisa mematahkan omongan macam, “Hal yang dipelajari di sekolah itu nggak guna, mending belajar di kehidupan nyata”. Nyatanya, dua hal ini berhubungan banget. Mustahil kita bisa paham fenomena di sekitar kita kalau nggak dapat dasarnya dari para guru sekolah (kalau pun nggak sekolah, at least tetap dari proses belajar, nggak ujug-ujug paham).

 

Dalam kehidupan sehari-hari apa contohnya?

Sederhana aja. Misal, tahu bahwa lama waktu untuk merebus air saja sampai mendidih itu lebih cepat dibanding air+bumbu/gula karena titik didihnya berbeda (ini ada di bab Tf/Tb Kimia). Atau, sesimpel tahu bahwa hewan-hewan yang ada di sekitar rumah kita itu bisa jadi hama, tapi juga bisa jadi penyelamat ekosistem sekitar lewat siklus yang berkelanjutan.

 

Science is everywhere around us.

Sains selalu ada di sekitar kita, selama kita tahu ke mana harus melihatnya.

 


3. MASYARAKAT DAN MANUSIA

Topik masyarakat dan manusia sangat nyambung dengan ‘tempat’, karena seringkali tempat bisa banyak dipelajari saat ada manusia atau masyarakatnya.

 

> Masyarakat

Masyarakat bisa banget jadi guru dalam perjalanan. Bahkan jadi guru yang paling besar. Banyak cerita-cerita perjalanan dan travel writer yang kisahnya banyak berputar pada kehidupan warga di tempat perjalanannya. Topik budaya sudah bukan lagi barang asing dalam perjalanan dan pembelajaran.

 

Mengetahui budaya dan style masyarakat di tempat kita melakukan perjalanan, bisa banget tambah ilmu untuk kita. Sesimpel tahu hal yang dianggap sopan di masyarakat A tapi dianggap enggak di masyarakat B, dsb. Lain tempat, lain perspektif. Beda perspektif, beda cara pikir.

 

Ngomong-ngomong, ada suatu episode di sebuah anime yang eye-opening banget buat saya. Iya, nggak salah, saya dapat perspektif ini dari nonton kartun. Ceritanya, ada seorang mata-mata negara lain yang mampir di sebuah resto kecil (mungkin di kita dianggap warung?). Dia memesan makanan dari resto itu. Dari bahan makanan dan bumbunya aja, dia bisa analisis flow perdagangan negara itu dan pengaruhnya ke negara-negara lain.

 

Simpelnya gini:

Lihat makanan > makanannya dari bahan segar > padahal bahan segar susah didapat > berarti rantai distribusinya bagus. Resto kecil aja bisa beli bahan segar > harga di negara itu terjangkau > sumber bahannya banyak > negaranya kaya.

Ada lagi adegan si mata-mata nemu merica dalam makanannya. Dia syok abis karena merica di sana harganya setara emas. Dia mikir, “Kalau warung kecil murah aja bisa nyediain merica, apalagi resto besar dan orang-orang kaya. Sekaya apa ini negara?”

 

Di kehidupan sehari-hari, insight seperti di atas juga bisa banget kita dapatkan. Kalau dulu semacam: oh Indonesia produk agrikulturnya banyak, makanya dibilang negara agraris. Dalam beberapa travel notes yang saya baca, semacam: oh ini kota orangnya pakaiannya warna-warni dan bagus karena dulu jadi Jalur Sutra jadi banyak pedagang negara lain yang lewat dan jualan di sini.

 

> Orang

Ini juga salah satu poin menarik dari berbagai travel notes. Banyak perspektif, cerita, fakta, pelajaran, yang bisa didapat dari ngobrol dengan orang. Biasanya, warga lokal.

 

Dari warga lokal, biasanya kita bisa tahu lebih banyak daripada hal-hal yang ada di internet. Dari seorang ibu, kami jadi tahu bahwa kelapa di sebuah daerah selatan Jatim segar banget sampai dijual ke kota besar (dan ditawari, “Mau minum? Saya bukakan!”). Dari seorang kang ojek, kami jadi tahu ada mitos yang beredar di antara warga lokal di sekitar sebuah danau di Jabar (“Warna danaunya bisa ganti-ganti karena dijaga bidadari”). Bahkan info penginapan, makanan enak, dan spot bagus juga bisa didapat dari obrolan bareng warga sekitar.

 

Bahkan percakapan dengan orang yang sedang sama-sama dalam perjalanan, seringnya sama-sama dalam kendaraan, juga bisa jadi penambah pengalaman. Kalau cari teman barengan, juga bisa dapat dari ngobrol-ngobrol ini. Dulu seringnya kalau cari kendaraan carteran, supaya murah jadi kami gabung sama rombongan lain. Sebelum bareng, tentu ngobrol dulu. Di kendaraan juga ngobrol tukar info. Kadang, hidup memang sebagian besar diisi dengan obrolan.

 

> Guru/Mentor

Kali ini untuk yang memang niat berguru; mendatangi orang-orang tertentu untuk minta diajari, dsb. Sebelum saya pertama naik gunung bertahun-tahun lalu, saya dan teman-teman diajari berbagai ilmu oleh para senior dan kakak-kakak kelas. Pengetahuan yang dibutuhkan supaya tetap hidup atau hiking dengan nyaman, mereka ajarkan. Bentuk belajarnya sendiri kadang materi di kelas, sharing santai, simulasi sederhana, atau praktik langsung di alam.

 

Dalam perjalanan, gurunya juga banyak. Beberapa pejalan mengatakan bahwa guru perjalanan mereka adalah dosen semasa kuliah. Beberapa travel writer bilang bahwa mereka belajar menulis dan berjalan dari mentor mereka, para penulis/jurnalis senior.


 

 

Dalam hidup, manusia nggak mungkin terlepas dari pengajaran para guru. Bahkan sejak dalam kandungan, bayi pun sudah belajar dari ‘guru’ terdekatnya, yaitu orang tuanya. Sejak dalam buaian hingga masuk liang peristirahatan, selama manusia terus berjalan, ia akan terus mendapat pelajaran dari berbagai macam guru; guru di bangku pendidikan maupun guru kehidupan.


Perbedaannya adalah apakah seseorang bisa memetik buah pengalaman untuk dijadikan pembelajaran,

atau

memilih abai dan menganggap itu semua hanya kejadian biasa tanpa makna. 






Picture from Favim.com
Reading Time:

Jumat, 06 Desember 2024

Resep Cokelat Panas
Desember 06, 20240 Comments


Sebenarnya ini bukan rencana post pekan ini. Namun karena tulisan yang satu itu perlu diedit karena acakadul sekali dan pikiran ini juga sedang acakadul karena gejala flu, ya sudah mari nulis post tentang sesuatu yang berhasil bikin badan jadi agak mendingan.


Kali ini saya akan nulis soal... resep.

Resep minuman cokelat hangat tepatnya, alias hot chocolate. 


Long story short, habis lihat video tentang tingkatan-tingkatan hot chocolate beserta resepnya. Duh, dingin-dingin gini, mana hujan dan kerongkongan (bukan tenggorokan!) serak, paling enak minum yang hangat-hangat lah, ya!


Ini dia resepnya:

- susu cair (tawar)

- kayu manis

- cengkeh

- bubuk coklat (dark chocolate)

- gula + garam 


Semua bahan dicampur, panaskan pakai api kecil selama 10 menitan atau secukupnya sambil diaduk terus. Dah, terus diminum!


Resep ini nggak persis sama dengan video. Di rekaman itu, kalau nggak salah, rempahnya pakai kayu manis (cinnamon), kapulaga (cardamom), plus kembang lawang (star anise). Namun karena saya nggak punya, jadilah rempah apa aja yang ada di kotak (kebetulan milihin rempah di set wedang uwuh) saya ambil. Jadinya pakai kayu manis plus cengkeh. Bubuk cokelat yang dipakai bukan susu cokelat, tapi bubuk dari biji. Kalau pakai susu cokelat, nanti kemanisan dan beda gitu rasanya. 


Rasanya minumannya gimana? Lebih enak!

Ya karena ada aroma dan rasa rempahnya. Rupanya ini rahasia cokelat panas yang nikmat. Soalnya beberapa kali saya bikin dari susu + bubuk cokelat aja, rasanya masih kurang mantap. Oh ya, yang bikin rasanya lebih enak juga karena dikasih garam sedikit. Jadi nggak dominan manis yang eneg gitu.


Jadi pengin minum lagi.... Bikin, ah. 


==========


 Update! 

  • Kemarin akhirnya nyoba ditambah kapulaga. Rasanya... hm... gimana, ya. Kalau di lidah saya berasa kurang mantap dibanding kayu manis+cengkeh aja. Waktu minta orang lain nyobain, komentarnya:
    "Berasa bukan cokelat, tapi kayak teh rempah."
    Hari ini saya minum teh arab di tempat makan Timur Tengah, eh, kok rasanya memang mirip. Beda dikit. 
    Jadi kesimpulannya: kalau kebanyakan rempah, rasanya lebih mirip teh.
    Kesimpulan kedua: mending cuma pakai kayu manis + cengkeh aja.
  • Baru nyadar kalau kapulaga ada bermacam-macam jenis. Di Indonesia, kapulaga yang paling gampang ditemui di pasar adalah jenis kapulaga jawa. Bentuknya lebih bulat. Di sisi lain, kapulaga di video yang saya tonton warnanya kehijauan dan bentuknya oval, di sini beberapa orang nyebut kapulaga arab/kapulaga india. Yang sering muncul di video-video dari Barat alias yang biasa mereka sebut cardamom, ya yang kedua ini.



Photo by M. Bazzocco on Unsplash 

Reading Time:

Jumat, 29 November 2024

Ketika Bunga Tabebuya Mekar Bersama-sama
November 29, 2024 4 Comments

 

‘November but last year’. Stiker Instagram itu membuat saya membuka-buka galeri di ponsel, melihat-lihat foto tahun lalu. Satu tanggal menarik mata karena foto-fotonya paling banyak, hahaha. Foto itu adalah kumpulan potret pohon tabebuya yang sedang mekar.

 

Bunga tabebuya tampak spesial karena saat berbunga, bunganya rimbun banget memenuhi seluruh pohon. Tahu seperti apa bunga sakura saat mekar? Yup, tabebuya yang mekar pun sama seperti itu. Nggak heran kalau dulu saat awal popularitasnya di Indonesia mulai naik, ada orang yang menyebutnya ‘sakuranya Surabaya’.

 

Apa cuma ada di Surabaya aja?

Enggak. Di kota-kota lain juga ada dan rimbun juga, seperti Malang, Magelang, Batu. Namun mungkin karena ketika pertama viral, banyak yang posting dari Surabaya, maka ada yang nyebut ini ‘sakuranya Surabaya’.

 

Jadi, apa tabebuya adalah ‘kembaran’ pohon sakura?

 

 

Asal-Usul Tabebuya



Bukan, tabebuya malahan nggak punya hubungan kekerabatan sama sekali dengan pohon sakura (kecuali bahwa mereka sama-sama angiosperma). Nggak sekadar beda spesies, dari genus aja mereka sudah lain: genusnya Tabebuia sedangkan sakura bergenus Prunus. 

 

Bila silsilahnya ditelusuri, tabebuya termasuk dalam golongan pohon-berbunga-seperti-terompet. Makanya kalau dilihat lebih detail, bunga tabebuya ya, bentuknya seperti terompet. Oleh karena itu, dalam bahasa Inggris ada yang menyebut tabebuya sebagai ‘trumpet tree’.

 

Tabebuya sebenarnya bukan pohon asli Indonesia. Mungkin itu sebabnya ia baru banyak dikenal di Indonesia beberapa tahun terakhir. Ya karena ditanam di sini baru beberapa tahun belakangan ini.

 

Tabebuya sendiri berasal dari Amerika Tengah dan Selatan. Daerah-daerah tersebut punya iklim yang mirip dengan Indonesia, yaitu iklim tropis. Karena itulah tabebuya bisa tumbuh dan berbunga dengan semarak di sini; karena iklimnya sama dan ia suka suhu cenderung panas.

 

Tahu sendiri, suhu Indonesia (apalagi Surabaya) panasnya seperti apa. Di tengah suhu panas yang menyiksa inilah tabebuya akan berbunga. Mungkin suhu tinggi akan memicu pembungaan? Atau lama intensitas matahari yang jadi pemantiknya? Entahlah, kayaknya saya harus searching lagi soal ini. Bakal di-update kalau sudah nemu, hahahah.


Oleh karena itulah kalau sudah masuk bulan berakhiran -ber dan suhu makin panas, biasanya pertanda tabebuya akan segera berbunga. Inilah yang jadi sering jadi bahan selorohan saya dan teman-teman ketika posting kalau tabebuya sudah berkembang.

 

Tahun ini, tabebuya mekar lebih awal. Bila tahun lalu mereka berbunga saat pertengahan November, maka tahun ini mereka sudah semarak di pertengahan Oktober. Sekarang bunganya sudah habis dan menyisakan daun aja, sehingga tampak nggak ada beda sam pohon lainnya. Meski, itu beruntung juga karena artinya musim hujan tahun ini datang lebih cepat daripada tahun lalu. Awal Desember tahun lalu, langit masih full biru!

 

“Cakep banget!”

“Cantik banget bunganya.”

“Jadi kayak di Jepang.”

Dan kalimat-kalimat bernada serupa. Saya membenarkan ucapan mereka karena... emang cantik banget! Seluruh kota jadi cakep! Minusnya ‘cuma' temperatur (dan kelembapan) yang tinggi sehingga cuaca jadi sumuk pol.

 

Cuaca yang panas juga jadi alasan mengapa saya memilih waktu pagi-pagi untuk keliling hunting foto tabebuya atau pohon berbunga lainnya. Biasanya saya berangkat jam 6. Itu pun matahari udah tinggi dan udah lumayan terasa panas. Jam 9 atau mentok jam 10, saya udah pulang.

 

Selain karena udah terasa panas (dan kulit pasti akan gosong kalau diterusin nangkring di pinggir jalan), saya perhatikan cahayanya juga udah mulai kurang menarik. Akibatnya foto yang dihasilkan pun jadi kurang estetik.

 

Kalau pengin menghindar dari cuaca panas sama sekali, saran saya adalah berburu potret tabebuya di kota lain; jangan Surabaya. Di jalan besar di Magelang ada deretan tabebuya. Waktu saya ke Malang dan Batu pun ada. Namun di kota-kota ini saya kurang tahu apa penanda waktu berbunganya karena nggak sepanas di Surabaya. Mungkin lebih awal? Soalnya tahun ini, saya dapat kabar dari teman di Kota Malang bahwa di sana sudah berbunga. 1-2 minggu kemudian, di Surabaya baru rimbun-rimbunnya.

 


Tips Berburu (Potret) Tabebuya

Dibilang tips sebenarnya juga bukan sih, lebih ke saran aja supaya lebih enjoy (versi saya tentunya, haha). Kalau nggak pengin berburu potret dan pengin ngelihat bunganya aja juga bisa. Ini dia sarannya:

 

1. Pilih waktu dan kenali kapan tabebuya berbunga

Kerimbunan bunga tabebuya nggak berlangsung lama, hanya sekitar 1-2 minggu. Di akhir pekan kedua, bunganya masih lumayan rimbun tapi lebih kerontang. Jadi kalau pengin lihat/motret pas rimbun-rimbunnya, paling pas di pekan pertama.

 

Tahun sebelumnya saya pernah coba hunting foto di pekan kedua. Alasannya karena kalau pekan pertama, kepikir kalau banyak juga orang yang hunting sehingga bakal ramai. Ternyata di akhir pekan kedua ini bunganya udah nggak serimbun di awal. Akhirnya foto yang dihasilkan pun kurang memuaskan.

 

Namun kalau untuk jalan-jalan/lihat-lihat aja, masih bisa, sih. Apalagi kalau cuaca panasnya ternyata masih berlanjut, ada kemungkinan bunganya mekar lagi. Seperti tahun ini. Setelah saya hunting, cuaca mendung beberapa hari dan tabebuya gugur, tapi lalu puanasss lagi. Beberapa tabebuya pun mekar lagi memenuhi pohon. Yah meski nggak seramai pekan sebelumnya.

 

Kapan tabebuya berbunga rimbun kayak sakura?

Kalau di kota lain, saya kurang tahu. Kalau di Surabaya, beberapa tahun terakhir ini biasanya di bulan akhiran -ber dan saat cuaca sedang panas-panasnya. Tahun ini sih saat suhu 30°++ Celsius dan feels like 37°++.

 

Kapan waktu terbaik untuk motret atau menikmati bunga?

Pagi. Hari libur. Kalau hari kerja, beuh jam 6 aja udah ramai. Jadi nggak bisa santai atau menikmati. Plus, di pagi hari masih lebih nggak panas. Kalau sore gimana? Bisa sih, tapi biasanya sore hari masih ‘tercampur’ udara siang sehingga rasanya masih panas.

 

2. Spot bunga tabebuya


Di Surabaya sendiri sebenarnya nggak ada spot khusus karena pohon ini ditanam di pinggir-pinggir jalan, di jalur pedestrian. Ada, sih, beberapa yang ditanam di taman tapi nggak sampai berderet-deret. Mungkin karena kanopinya kurang lebat dan menyejukkan sehingga kurang pas kalau untuk peneduh taman (ada yang bilang kurang pas buat peneduh jalan juga, sih).

 

Di sepanjang jalan besar biasanya ada deretan tabebuya, antara lain di Jl. A. Yani, Jl. HR. Muhammad, dan MERR. Di jalan-jalan kecil juga ada, tapi nggak sebanyak di jalan-jalan besar tadi. Saya pernah nemu di pojokan jalan dekat area KODAM V Brawijaya, dekat Kebun Bibit Taman Flora, dsb. Di ruas-ruas jalan lain juga banyak, kayaknya nggak bisa disebut satu per satu.

 

Sedikit tips(?) bila hunting foto di jalan:

  • perhatikan sekeliling. Karena di jalan, harus lebih hati-hati. Baik hati-hati mematuhi traffic dan jaga diri dari kendaraan yang lewat atau hati-hati menjaga barang
  • terutama di jalan besar, banyak rambu dilarang berhenti. Patuhi. Berhentilah di tempat-tempat yang diperbolehkan; ada kok.
  • kalau mau lebih enak, cari tempat parkir. Parkirkan kendaraan di sana, lalu jalan kaki menyusuri jalur pedestrian. Ini lebih santai.

 

3. Siapkan ‘perbekalan’

Kayaknya ini buat yang motret aja, karena durasi hanya lihat-lihat mungkin nggak selama kalau keasyikan motret.

 

Bekal yang selalu saya bawa: air putih. Supaya nggak kliyengan atau kehausan di tengah cuaca panas dan aktivitas berdiri/jalan terus-terusan. Kalau mau, bisa juga bawa topi supaya nggak kepanasan. Jangan lupa sebelumnya pakai tabir surya/sunblock. Oh, dan jangan lupa sarapan dulu supaya nggak lemas setelah hunting. Sesimpel snack atau jajanan pasar aja udah cukup.

 

Apa lagi ya...

 

 

Macam-Macam Bunga Tabebuya



Kalau dilihat-lihat kayaknya bunga (pohon) tabebuya ini ada bermacam-macam. Dari warna bunganya ada putih, merah muda, dan kuning. Dua warna pertama jumlahnya lebih banyak daripada yang kuning. Dua warna ini jugalah yang membuat kesan seakan jadi pohon sakura; karena warnanya mirip sakura.

 

Ngomong-ngomong soal putih-merah muda dan kuning, kayaknya kok daunnya juga beda, ya? Pada pohon yang berbunga putih/merah muda, daunnya lebih hijau. Pada pohon berbunga kuning, warna daunnya lebih pudar kayak hijau tua hampir kusam gitu. Apa karena beda varietas atau spesies? Harus saya gali lagi, hehe.

 

 

Pohon Berbunga Lainnya

Di bulan-bulan ini, sebenarnya ada bunga dan pohon lainnya yang mekar selain tabebuya. Sebut aja bugenvil, flamboyan, kembang bungur, jacaranda. Memang nggak serimbun tabebuya yang sampai menutupi seluruh ‘badan’ pohonnya, tapi tetap rimbun sampai memenuhi dahan-dahan.

 

Bedanya, bila kembang tabebuya sampai merontokkan (hampir) seluruh daunnya, bunga-bunga lainnya enggak. Daunnya masih ada. Buat yang suka hijau-hijau, bunga-bunga ini jadi pemanis daun-daun hijau. Bila bunganya berwarna mencolok, bakal cakep banget kelihatan kontras dengan daunnya.

 

Selain bunga/pohon yang disebut di atas, masih ada bunga-bunga lain yang saat berbunga nggak kalah menarik dan rimbun dibanding tabebuya. Bunga/pohon ini tersebar di beberapa daerah di Indonesia, bahkan native sana.

 

Mungkin lain kesempatan dibuat kompilasi aja kali, ya? 😄

Reading Time:

Rabu, 20 November 2024

Kustbatterij Kedung Cowek, Bekas Benteng Belanda yang Tersisa di Surabaya
November 20, 2024 8 Comments


Mumpung masih November dan vibes-nya masih Hari Pahlawan, jadi keingat kalau tahun lalu pengin posting tentang Benteng Kedung Cowek. Benteng di pucuk Surabaya ini jadi saksi bisu berbagai pertempuran: mulai dari Belanda vs Jepang hingga Indonesia vs Belanda-Sekutu. Kejadian yang disebut kedua inilah yang termasuk dalam rangkaian peristiwa 10 November; yang diperingati sebagai Hari Pahlawan dan bikin Surabaya punya julukan “Kota Pahlawan”.

 

Benteng Kedung Cowek berlokasi di ujung utara Kota Surabaya, berhadapan dengan Pulau Madura. Pas banget di pinggir. Dari sini kita bisa nyentuh langsung air lautnya Selat Madura. Bahkan daratan Madura di seberang samar-samar bisa terlihat. Jembatan Suramadu? Kelihatan jelas banget!

 

Benteng Kedung Cowek memang sengaja dibangun di pinggir laut oleh Belanda sebagai mekanisme pertahanan untuk menghadapi musuh dari laut.

 

Nama Benteng Kedung Cowek, kayaknya, baru ramai di khalayak umum sepuluhan tahun belakangan. Saya sendiri pertama dengar soal benteng ini beberapa tahun lalu dari surat kabar. Pertama tahu, saya langsung tertarik. Soalnya baru kali itu saya dengar ada benteng di Surabaya. Sebelum itu, saya ngira udah nggak ada sisa.

 

Bicara soal benteng, yang terlewat di pikiran adalah bangunan ‘melingkar’ macam Fort Vredeberg di Yogya atau Fort Rotterdam di Makassar. Bangunan segede itu di Surabaya, di mana? Sekian lama tinggal di sini kayaknya saya nggak pernah lihat atau tahu kalau ada benteng. Pernah sih, ada benteng: Fort Prins Hendrik. Namun bangunan itu udah nggak ada sejak dulu banget.

 

Fort/citadel Prins Hendrik, Surabaya.
Inset dari peta tahun 1866 (Leiden University Library)


So, saat dengar ada benteng di sini, tertariklah saya untuk datang melihat. Namun waktu itu Benteng Kedung Cowek belum dibuka untuk umum karena baru diungkap. Bangunan ini pun terletak di tanah milik TNI yang akses keluar-masuknya jelas dibatasi. Pengin ngelihat dari jauh atau luar, rasanya sungkan dan nggak nyaman. Jadi ketika saya tahu kalau tempat ini udah dibuka untuk umum dan lumayan ramai orang, berangkatlah saya ke sana.

 

[ Disclaimer:

Meski tulisan ini dibuat berdasarkan referensi, bisa jadi ada kelirunya terutama mengenai sejarahnya. Antara saya yang salah nangkap isi referensi atau keliru ambil sumber, saya juga bukan akademisi bidang Sejarah. Pembaca disarankan untuk check and recheck lagi atau cari sumber lain yang lebih pasti. ]


 

 DAFTAR ISI 

 (klik poin untuk menuju bagian tertentu di halaman ini)

(Nggak tahu kenapa hyperlink-nya nggak bisa diubah biru, hfft)



RUTE KE BENTENG KEDUNG COWEK 

Benteng Kedung Cowek terletak di ujung utara Kota Surabaya; bersebelahan dengan pintu masuk Jembatan Suramadu. Benteng ini bukan tempat wisata. Maksudnya, saat ini memang nggak difungsikan sebagai tempat wisata, tapi oleh TNI (selaku pemilik lahan di mana benteng ini berdiri) dibuka untuk umum/boleh dikunjungi oleh masyarakat umum. Jadi jangan heran bila penampilannya apa adanya. 


Untuk mencapai lokasi dengan kendaraan pribadi, lurus aja menyusuri Jl. Kedung Cowek. Jalan terus ke arah utara/Suramadu. Rute ini sudah terpampang jelas di Google Maps sehingga relatif mudah diikuti.

 

Namun hati-hati, beberapa puluh meter sebelum mencapai gerbang Suramadu, kita harus ambil lajur kiri ke arah Tambak Wedi. Lurus dikit sampai ketemu putar balik (di bawah jalan Suramadu). Setelah putar balik, jalan lurus sambil ambil kiri karena jalan masuk ke benteng terletak cuma 200-300 meteran kemudian. Biasanya di situ banyak orang jualan. Belok kiri sesuai Google Maps, lalu lurus terus sampai ketemu jalan kecil dan tempat parkir motor seadanya.

 

Soal putar balikan tadi, saya sering deg-degan kalau lewat sana, hehe. Soalnya, lupa ambil kiri sedikit, bisa masuk gerbang Suramadu. Mana bisa putar balik kalau udah masuk situ.... Akhirnya kalau udah hampir dekat ujung, saya nyetir motornya pelaaan banget dan kiri banget sampai ketemu pedagang kaki lima. Kalau udah ketemu mereka, berarti saya udah di jalan yang benar sebelum putar balikan, haha. Bila jalannya terlihat bersih dan steril, itu berarti mau masuk gerbang Suramadu.

 

Balik ke tempat parkir. Sebenarnya saya terakhir pergi ke sini udah hampir dua tahunan lalu jadi mungkin ada info yang kurang update.

 

Kalau nggak salah ingat, masuk ke area bentengnya sendiri nggak bayar. Cuma bayar parkir kendaraan aja. Rp2.000 atau Rp5.000 per motor, kalau nggak salah.

 

Dari parkiran, benteng nggak terlihat sama sekali karena tertutup pepohonan. Di dekat gerbang parkir, ada jalan setapak di sebelah kiri (arah utara). Itulah salah satu jalan masuk menuju benteng.

 

Kalau naik kendaraan umum gimana?

Dulu ada teman yang rumahnya daerah sana, dia pulang-pergi sekolah naik bemo (mikrolet). Sekarang kurang tahu. Mungkin dilewatin bus atau feeder Wira-Wiri?

 

 

BENTENG KEDUNG COWEK, WAJAHNYA KINI 

Benteng Kedung Cowek, sering juga disebut 'gudang peluru'

Musim masih kemarau ketika saya berkunjung ke sini. Meski ada banyak pohon, hawa panas khas pantai (dan khas Surabaya banget, hahaha) tetap menerpa kepala. Suasana itu makin terasa saat mata ini tertumbuk pada rerumputan kuning nan kering-kerontang di pinggir jalan setapak.

 

Betul-betul setapak karena hanya cukup dilewati satu-dua orang aja. Jalan tanah ini membentang membelah rawa-rawa (atau tambak?). Tampak beberapa pemuda setempat duduk di tepian sambil memegang joran pancing.

 

Jalan setapak ini nggak panjang. Nggak sampai tiga menit dan kami sudah berdiri di hadapan/belakang kustbatterij.

 

Seperti yang disebut di awal, benteng ini bentuknya nggak melingkar seperti puri, tapi mendatar seperti tembok lurus. Dindingnya berwarna putih-kekuningan. Gurat-gurat hitam melapisi tepian tembok; entah itu cendawan atau bagian yang lapuk kena hujan.

 

Sekali lihat, dalam pandangan saya vibes-nya ‘dapet banget’.

Rasanya kayak berada dalam film fiksi sejarah di mana kita menemukan puing-puing kuno.

 

Perasaan itu mungkin muncul karena melihat tumbuhan liar yang merambati dinding luar benteng, menutupi hampir seluruh ujung bangunan. Bahkan ada pohon tinggi besar yang tampak seperti tumbuh di atasnya. Saya mendekat, melihat daun air-mata-pengantin (Antigonon leptopus) menjalari permukaan tembok dan menyembulkan bunga-bunga merah muda.


Pohon dan semak menutupi bagian luar benteng

Daun dan bunga air-mata-pengantin (Antigonon leptopus) di sisi luar bangunan


It felt whimsical. Kayak ngelihat puri cantik yang dipenuhi bunga-bunga.

Namun kisah di sini nggak seindah cerita dalam dongeng kerajaan.

 

Vibes whimsical itu menguap seketika saat kami masuk ke ruangan dalam benteng. Gelap, sempit, berlangit-langit rendah. Langsung terasa pengap. Nggak kebayang kalau harus berada dalam ruangan ini di masa itu: entah lagi jaga atau nyalurin amunisi atau sekadar duduk rehat sebentar. Belum lagi was-was mendengar rentetan suara senapan atau dentum meriam.

 

Kami berjalan memutar ke ‘depan’, yaitu arah benteng ini dihadapkan (arah laut). Gundukan tanah setinggi dua lantai ‘membentengi’ bangunan. Mungkin supaya benteng lebih terlindungi dari hantaman artileri musuh. Terdapat sebuah celah horisontal supersempit di dinding.

 

“Kalau kamu di dalam (ruangan benteng) dan aku ngintip dari sini, yang kelihatan cuma matamu,” gurau seorang partner jalan kali ini.

 

“Ini kayak yang di film-film itu nggak, sih?” sahut rekan lain. “Tempat naruh moncong flamethrower. Jadi kalau musuh udah dekat, lebih gampang ‘ngehabisin’-nya.”

 

Wah, seram juga percakapan ini.

 

Kami balik ke sisi satunya tadi, sisi dari mana kami datang. Di sini terlihat bahwa Benteng Kedung Cowek terdiri dari dua lantai. Lantai bawah berupa ruangan-ruangan tadi, sedangkan lantai atas berupa sisi terbuka. Di sinilah para tentara menembaki musuh dari laut dengan berbagai senjata, termasuk meriam.

 

Di bagian luar terdapat terundak untuk naik ke lantai dua. Di sisi terundak terdapat lubang kotak yang terhubung dengan ruangan lantai satu. Diduga dari lubang inilah amunisi dari gudang bawah diserahkan pada mereka yang bertugas di lantai atas.


Tampak luar bangunan dan tangga serta ceruk

(Kemungkinan) lubang-lubang bekas tembakan dan perbandingan ukurannya dengan badan manusia
 

Kami bergerak menuju sisi atas, melalui tangga sempit dan (rada) curam. Dinding di sisi tangga tampak bocel di banyak tempat. Mungkin inilah jejak tembakan peluru dari zaman itu. Tangan saya meraba dinding, memperhatikan lubang-lubang tak beraturan. Ada yang ukurannya sebesar jempol hingga segede kepala orang dewasa. Waw...

 

Kami pun sampai di atas, di struktur bundar dengan dinding rendah yang menghadap lautan. Tak lama lalu kami turun dan melanjutkan perjalanan ke Benteng Kedung Cowek yang lain lagi.

 

Lah, bentengnya ada berapa?

 

 

BANGUNAN-BANGUNAN KOMPLEKS BENTENG KEDUNG COWEK 

Kompleksnya memang satu, tapi bangunannya ada banyak dan menyebar di beberapa titik. Correct me if I’m wrong, mungkin ini alasan mengapa Belanda nyebut bangunan ini ‘batterij’ dan bukan ‘fort’?

 

Asal-Muasal Nama

Belanda menyebut tempat ini sebagai batterij atau kustbatterij Kedoeng-Tjowek, bukan ‘fort’ yang berarti ‘benteng’. Mengapa?

 

Itu salah satu pertanyaan yang muncul di benak saya sebelum sampai ke lokasi. Begitu sampai dan ngelihat sendiri, pikiran yang tebersit, “Oh mungkin karena bentuk bangunannya.”

 

Beda dengan benteng (at least yang saya tahu) yang bentuknya seperti bangunan-bangunan yang berpusat di satu tempat dan dikelilingi tembok, Benteng Kedung Cowek bentuknya menyebar. Di sepanjang garis pantai, di sepanjang itulah bangunannya dibangun. Alih-alih ‘melingkar’ seperti benteng—misalnya Vredeberg—, ia berbentuk ‘garis’.

 

Letak benteng dilihat dari Google Maps, berada di sepanjang tepi pantai
(NB: garis kuning nggak menandakan letak dan ukuran benteng secara pasti, hanya penanda kalau bangunannya berada di sekitaran situ)

Benteng dan kemampuan arah serangannya untuk mempertahankan daratan (oleh TNI AD, diakses dari Giffari & Soekardi, 2021)

 

Bangunan-bangunan tadi berbentuk bak garis yang memagari batas pantai dan daratan. Usut punya usut, tujuan pembangunannya memang sebagai ‘pagar’. Bangunan ini berfungsi untuk melindungi daratan dari serangan dari arah laut. Supaya perlindungannya bisa mengkover area yang luas, maka bangunannya pun panjang.

 

Yup, fungsi utama bangunan ini memang untuk coastal defense alias pertahanan tepi pantai. Itulah asal namanya.

kust = coast = tepi pantai

batterij = battery = baterai

NL – ENG – IDN

 

Secara istilah, batterij/battery bermakna kumpulan unit artileri (senjata), seringnya dijajar dalam baris-baris, untuk pertahanan. Beberapa lainnya menyebut bahwa bisa juga berarti bangunan-bangunan ‘kecil’ untuk pertahanan yang tidak saling terhubung layaknya fortress. Istilah ternyata juga udah masuk KBBI dengan entri ‘baterai’, juga punya arti yang sama.

 

Bangunan Lain

Bangunan-bangunan lain di area benteng, berdiri sendiri
 

Semakin jauh berjalan ke area pesisir alias ke arah kanan dari jalan masuk, kita akan menemukan beberapa bangunan. Semak-semak makin rimbun, tapi aroma khas air laut yang asin dan udaranya yang panas dan lengket tetap terasa. Di sini, nggak cuma bertemu dengan ‘tembok’ memanjang lagi, ada juga bangunan-bangunan tunggal yang berdiri sendiri bak pion catur dalam petak-petak berbeda.

 

Bentuk bangunan ini macam-macam. Fungsinya pun macam-macam. Di masa lalu, reruntuhan yang dirambati tumbuhan liar dan ‘dihiasi’ grafiti warna-warni ini ada yang berfungsi sebagai gudang diesel, gudang amunisi, dsb. Maka nggak heran bila warga lokal juga menjuluki tempat ini gudang peluru.

 

Kami melihat di atas sebuah bangunan terdapat semacam alur rel.

“Mungkin ini bekas jalur buat meriam,” ujar seorang rekan.

Saya kurang tahu wujud sesungguhnya. Yang kebayang adalah semacam jalur untuk geret-geret meriam untuk mengarahkannya ke arah tertentu. Karena kalau nggak pakai roda/tuas, meski berbanyak orang, pasti berat banget! Berapa ton itu?

 

Dari atas bangunan, tampak sekeliling yang didominasi semak-semak (yang saat itu berbunga cantik banget!) dan pohon-pohon setinggi bangunan tiga lantai. Dari sini terlihat beberapa bangunan tunggal lainnya. Di antara bangunan tampak genangan air yang mungkin adalah sisa rawa payau yang mengering.

 

Tepi pantai Surabaya, tampak perahu nelayan dan Jembatan Suramadu

Jalan setapak di jalan masuk menuju benteng

 Jadi kalau dirangkum, sejak pintu masuk tadi ada dua bangunan memanjang. Yang satu (saat itu) terlihat lebih terawat karena kayaknya dicat, warna kuning krem. Bangunan memanjang lainnya terlihat lebih lawas karena lebih bebercak hitam. Dua-duanya juga bebercak, sih. Keduanya juga dirambati tumbuhan liar dan pohon, juga dicoreti grafiti. Bangunan-bangunan lainnya, yang berdiri tunggal, juga bernasib sama.

 

Benteng Kedung Cowek sepertinya memang nggak difungsikan sebagai tempat wisata. Hanya dibuka untuk umum aja, baik untuk jalan-jalan atau untuk orang yang penasaran sama bangunan di masa lalu. Spot untuk prewedding juga. Beberapa bagian juga tampaknya dimanfaatkan oleh warga sekitar.

 

Dulu pernah dengar ada rencana bakal direvitalisasi, tapi sepertinya belum jadi. Terlaksana pun, prosesnya pasti lama karena nggak kayak membuka wahana wisata, preservasi sejarahnya juga nggak kalah penting.

 

Oh iya, selain Kustbatterij Kedoeng Tjowek, di Indonesia juga terdapat kustbatterij lainnya, antara lain Kustbatterij op de Landtong te Cilacap alias Benteng Pendem Cilacap.

 

 

KUSTBATTERIJ KEDUNG COWEK DI MASA LALU DAN 10 NOVEMBER 

Artikel  surat kabar tentang peristiwa 10 November 

 

Jadi, apa hubungan benteng ini dengan pertempuran 10 November? Sebentar. Mari mundur dulu ke masa ketika benteng ini dibangun.

 

Benteng ini dibangun di atas lahan seluas 7 hektar dan dibuat sekitar era 1900-an oleh pemerintah Hindia-Belanda untuk coastal defense. Konon benteng untuk defense ini nggak hanya di Kedung Cowek, tapi juga di beberapa titik lain di Surabaya dan Pulau Madura. Beberapa sumber menyebut daerah Semambung (Gresik), Kali Dawir (Surabaya), Tanjung Perak (Surabaya), dan Ujung Piring (Madura). Kalau dilihat di peta, benteng-benteng ini berada di daratan sekitar Selat Madura.

 

Mengapa Selat Madura?

Karena Surabaya merupakan kota pelabuhan dan kota penting. Selain penting dalam logistik dan pemerintahan, militernya juga berpusat di sini. Pintu masuk dari pulau lain pun di sini, lewat Pelabuhan Tanjung Perak (yang ada di Selat Madura). Sejak zaman sebelum Majapahit sampai sekarang masih begitu.

 

Dari ‘pintu’ inilah Jepang merangsek masuk ketika PD II.

Dari ‘pintu’ ini jugalah Belanda dan Inggris yang tergabung dalam Blok Sekutu (Allied Powers) masuk di era '45.

 

Kalau dibuat kronologi, jadi seperti ini: 

  • 1900-an kustbatterij Kedung Cowek dibangun
  • 1942 Jepang masuk. Perang Belanda vs Jepang. Belanda kalah
  • 1945 Agustus Jepang kalah Perang Dunia II > Belanda + Sekutu masuk > perang Belanda+Sekutu vs Indonesia.

Peristiwa era 1945 inilah yang memicu peristiwa 10 November.

 

Setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh Amerika Serikat pada bulan Agustus 1945, Jepang memutuskan menyerah dari kancah Perang Dunia. Ngelihat situasi seperti itu, Indonesia pun memproklamasikan kemerdekaan. Senjata dan logistik Jepang diambil alih oleh pemuda Indonesia.

 

Sementara itu, Jepang setuju untuk menyerahkan tawanan perang pada Sekutu. Alasan itulah yang bikin Sekutu datang lagi ke Indonesia: ngurusin orang-orangnya. Namun dalam praktiknya ternyata motifnya nambah-nambah, yaitu ngambil kekuasaan lagi.

 

Pasca Sekutu balik ke Indonesia di bulan September, ada banyak pembicaraan dan perundingan antara pihak Indonesia dan Belanda+Sekutu yang makin panas. Situasi ‘panas’ ini sebenarnya terjadi di banyak wilayah di Indonesia. Beberapa di antaranya sering kita temui di buku Sejarah zaman sekolah, contohnya peristiwa Medan Area dan Pertempuran Ambarawa.

 

Jalan Tunjungan dan gedung Tunjungan Plaza alias TP. Hotel Majapahit terletak di jalan ini, tinggal lurus dikit. Tunjungan sering ramai apalagi pas malam mingguan.

 

Di Surabaya sendiri, salah satu puncaknya kejadian di 19 September, waktu Belanda mengibarkan bendera merah-putih-biru di Hotel Yamato/Oranje/Majapahit di Jl. Tunjungan (yang sekarang makin hits itu). Warga yang ngamuk pun manjat itu tiang dan nyobek warna birunya. Kejadian ini disebut Insiden Bendera atau Het Vlag Incident.

 

Nah, makin panas tuh keadaan. Namun masih diredam-redam.

 

Akhir Oktober, panasnya sudah nggak terbendung. Sekutu menyebar selebaran dari atas pesawat yang berisi ultimatum: pemuda/pejuang Indonesia menyerah atau kota dihancurleburkan. Orang kita menolak. Pertempuran pun meletus.

 

Hm... jadi ingat berita beberapa bulan/setahun lalu saat ada negara yang juga nyebarin selebaran lewat pesawat. Isinya juga ultimatum ke warga lokal: pergi dari sini karena mau dibom. Mirip-mirip kelakuan.

 

History always does repeat itself.

Action-nya mirip, motifnya mirip, pemainnya aja yang ganti-ganti.

 

Oke, balik. Konon peristiwa di balik layar sebelum perang meletus ini tarik-ulur. Ada perundingan, pembicaraan, you name it. Petinggi Indonesia—mulai dari petinggi pasukan sampai gubernur—juga minta pemuda menahan diri dan nggak open fire duluan. Namun Sekutu nembak duluan sehingga pecahlah pertikaian hingga Jenderal Mallaby tewas.

 

Saya pernah dengar kalau larangan bagi orang Indonesia supaya nggak nembak/berantem duluan meski dipancing-pancing ini sangat ditekankan oleh beberapa petinggi/tokoh perjuangan Indonesia waktu itu. Kenapa? Karena saat itu, di media/kalangan orang Barat disebarkan kesan bahwa orang Indonesia itu barbar dan sadis sehingga harus ‘diatur’ supaya ‘beradab’. Cap negatif macam teroris dan ekstremis pun disematkan, termasuk pada tokoh-tokoh perjuangan Indonesia.

 

Kayaknya ada yang pernah upload potongan koran lawas itu di medsos dan rame banget tanggapannya. Jadi pelarangan tadi itu untuk nunjukin bahwa orang Indonesia itu nggak barbar atau menyerang tanpa alasan, tapi sebab menginginkan kemerdekaan.

 

Dalam orasinya, Bung Tomo juga menyerukan hal serupa:

... Saudara-Saudara, rakyat Surabaya, siaplah!

Keadaan genting!

Tetapi saya peringatkan sekali lagi, jangan mulai menembak.

Baru kalau kita ditembak maka kita akan ganti menyerang mereka itu.

Kita tunjukkan bahwa kita ini adalah benar-benar orang yang ingin merdeka ... 

  Potongan pidato Bung Tomo, 1945

 

(By the way, perjuangan orang Indonesia pun ada noktah gelapnya. Maksudnya, ada oknum pejuang yang kelakuannya emang buruk, seperti terlalu temperamental sampai menyasar orang asing sipil atau sengaja cari keuntungan dalam kesempitan. Mungkin tipe mereka inilah yang di-highlight media luar era tsb.)  

 

Pasca tewasnya Mallaby, Sekutu ngasih ultimatum lagi supaya rakyat Surabaya menyerah. Para warga dan pemuda nggak mau. Pada 10 November, Sekutu membombardir Surabaya dari darat, laut, dan udara.

 

Pada saat kejadian, Benteng Kedung Cowek masih menyimpan banyak artileri milik Jepang (yang sudah diambil alih Indonesia). Meriam, senapan, peluru, you name it. Pejuang Indonesia memanfaatkan amunisi beserta benteng ini untuk mempertahankan kota ketika kapal-kapal perang Inggris/Sekutu menembaki Surabaya dari arah laut. Kelompok pejuang yang bertempur di sini adalah Batalion Sriwijaya, orang Indonesia yang sebelumnya tergabung dalam Heiho (tentara) era Jepang dan banyak berasal dari daerah-daerah luar Jawa.

 

Saat ikut pertemuan yang ngebahas Pertempuran 10 November, ada salah satu kalimat yang membekas tentang Batalion Sriwijaya ini, yang intinya:

“Mereka yang lahir dan besar di luar Surabaya, bahkan luar Jawa, nggak segan langsung pasang badan begitu ngehadapi musuh dari luar. Indonesia baru seumur jagung, tapi bhinneka tunggal ika-nya langsung dipraktikkan tanpa ragu.”

 

Ratusan orang—lebih dari sepertiga Batalion Sriwijaya—gugur di Benteng Kedung Cowek selama Pertempuran 10 November. Mereka gugur tanpa nisan untuk mempertahankan kemerdekaan, hingga Sekutu mundur dari Surabaya dan kota-kota lainnya.

 

Tapi pantai Surabaya tampak damai kini.  Dulu, dari arah inilah kapal-kapal perang Sekutu menembaki para pejuang.

 

Pertempuran 10 November juga menjadi salah satu pertempuran besar Indonesia. Meski yang diperingati hanya satu tanggal, durasi perangnya berpekan-pekan. Korbannya pun besar. Pengorbanan yang besar untuk kemenangan sebuah kedaulatan.

 

Kini, Benteng Kedung Cowek berdiri dalam diam; tertutup semak dan pepohonan di tepi pantai. Dengan Jembatan Suramadu di hadapan, ia seperti mengamati kemajuan negara tempatnya berdiri hampir seabad lalu, meski ia sendiri terperangkap waktu.


 

💡 TIPS JALAN-JALAN 

Apa tips mengunjungi Benteng/gudang peluru Kedung Cowek?

Biasa aja sebetulnya, ini cuma saran aja karena ngelakuin ini bikin saya enjoy saat berkunjung ke sana. 

👉 Waktu: lebih baik berkunjung saat musim kemarau. Karena jalannya tanah, kebayang kalau hujan pasti becek. Meski saat hujan pemandangannya beda dengan saat kemarau kering.

👉 Jam: lebih baik berkunjung saat pagi, lalu pulang menjelang siang. Panasnya Surabaya luar biasa, nggak cuma gosong tapi juga kliyengan kalau berkunjung di siang bolong. Kalau sore gimana? Saya belum pernah coba, sih. Tapi kepikir kalau sore nggak bisa lama, karena kayaknya penerangannya masih terbatas. Dan kalau keburu malam, rawan nyamuk juga.

👉 Bawa topi dan air putih, apalagi kalau berencana menyusuri agak lama, supaya nggak kehausan dan kekeringan. Bawa lotion anti-nyamuk kalau butuh. Pakai tabir surya alias sunblock. Pakai celana panjang kalau bisa, karena kalau mau lihat beberapa bangunan lebih dekat harus jalan rada mbrasak ke semak-semak.


Laut. Dilihat dari atas salah satu bangunan benteng. Mungkin mirip inilah pemandangan yang dilihat para tentara zaman dulu, tapi dengan riuhnya suasana pertempuran.



===============






Referensi:

Giffari, R.A. dan K.Y. Soekardi. 2021. Component analysis at Fort Kedung Cowek buildings in Surabaya, East Java: observation on panopticon concept. Internasional Review of Humanities Studies (6): 428-452.

Hapsari, N. 2018. Fragmented continuum concept museum of Kedung cowek Fortification. Tugas akhir, ITS.

Ministry of Colonial Affairs(?). 1909. Koloniaal Verslag van 1909.

Priyambodo, U. 2021. Granat di Benteng Kedungcowek dan Robohnya Cagar Budaya Kota Pahlawan. National Geographic Indonesia. https://nationalgeographic.grid.id/read/132983266/granat-di-benteng-kedungcowek-dan-robohnya-cagar-budaya-kota-pahlawan?page=all

Setyawan, A. 2019. Benteng Kedungcowek, Tantangan Pemerintah Kota dan Tim Ahli Cagar Budaya Menemukan Kembali Jiwa Kota Pahlawan Pada Hari Jadi ke 726. https://roodebrugsoerabaia.com/2019/05/benteng-kedungcowek-tantangan-pemerintah-kota-dan-tim-ahli-cagar-budaya-menemukan-kembali-jiwa-kota-pahlawan-pada-hari-jadi-ke-726/

Setyawan, A. 2022. Literasi Sejarah: Arek Jawa Timur Menapak Jejak Jasa dan Cita Para Pahlawan. Webinar Disperpusip Jatim.

SRM. 2020. Kisah 200 Pasukan Sriwijaya, Bertempur Sampai Mati Melawan Sekutu di Surabaya. https://www.infokomando.id/2018/05/kisah-200-pasukan-sriwijaya-bertempur.html

Tim Salute. 2016. Coastal Batteries Then and Now. https://salute.co.in/coastal-batteries-then-and-now/

Waid, A. 2019. Bung Tomo. Penerbit Laksana, Yogyakarta.

Widyaningrum, G.L. 2020. Awal Perjalanan Benteng Kedungcowek Menjadi Pusaka Kota Surabaya. National Geographic Indonesia. https://nationalgeographic.grid.id/read/132147941/awal-perjalanan-benteng-kedungcowek-menjadi-pusaka-kota-surabaya?page=all


Reading Time: