Hijaubiru

Selasa, 28 Januari 2025

Kilas Balik 3 Ranu di Lumajang: Ranu Klakah, Pakis, Bedali
Januari 28, 20250 Comments



Kalau dengar kata ‘ranu’, yang terbetik di benak sebagian orang mungkin adalah Ranu Kumbolo, sebuah danau yang terletak di trek pendakian Gunung Semeru. Namun sebenarnya ada banyak danau lain yang punya nama depan ‘ranu’. Ranu Klakah, Ranu Pakis, dan Ranu Bedali di Kabupaten Lumajang contohnya.

 

Kata ‘ranu’ sendiri punya arti ‘danau’ dalam bahasa Jawa. Nggak tahu ini istilah khusus di Jawa Timur aja atau ada juga di Jawa bagian lainnya. Soalnya kayaknya saya nggak/belum pernah dengar istilah ini dipakai di danau Jateng/DIY.

 

Di Jatim ada banyak danau yang disebut ranu. Maksudnya, nama resminya memang pakai ‘ranu’ di depannya. Dan—nggak tahu ini saya kebetulan nemunya yang kayak gini semua atau emang semua ranu seperti ini—ranu-ranu ini terbentuk akibat aktivitas vulkanik a.k.a aktivitas gunung berapi. Termasuk tiga ranu yang bakal kita obrolin sekarang.

 

Perjalanan ke Segitiga Ranu itu sebenarnya nggak direncanakan. Waktu itu diajakin jalan, ditawarin antara ke Pacet-Trawas (Mojokerto) atau Malang. Saya nggak mau dan nawarin tempat yang belum pernah dikunjungi sebelumnya: Lumajang. Tujuan utamanya: Ranu Klakah.

 

“Jauh itu. Kita naik motor, lho,” sanggah partner jalan saat itu.

“Terus ke mana? Lumajang pemandangannya juga bagus-bagus, lho.”

Pendek kata, berangkat juga kami ke salah satu kota di Kawasan Tapal Kuda itu dengan ‘iming-iming’: tempatnya bagus dan nggak begitu ramai jadi bisa lebih santai.

 

Itu percakapan beberapa tahun lalu. So, perjalanan ini emang kejadiannya nggak barusan di 2025 atau 2024, tapi udah lumayan lama sebelum itu. Jadi beberapa info terkait tempat-tempat ini, terutama view secara visual, bisa jadi udah berubah banyak. Namun karena momennya pas, jadi pengin nostalgia nyeritain jalan-jalan ke tempat cakep ini.

 

Pemandangan alam Kabupaten Lumajang emang bagus-bagus, nggak kalah sama kota wisata lain di Jatim. Bahkan sebagian area Semeru dan Ranu Pani-Regulo-Kumbolo (ada yang nyebut ini sebagai Segitiga Ranu-nya Senduro) pun secara administratif masuk ke Lumajang. Air terjun Tumpak Sewu, air terjun Kapas Biru, dan pemandangan Mahameru dari Pronojiwo juga kayaknya kece abis (jadi makin pengin ke sana, hehe).

 

Cuma mungkin nama Lumajang kurang akrab aja di sebagai tujuan wisatawan apalagi yang berasal dari luar Jatim. Yang paling terkenal, ya, sekitaran Surabaya atau Malang/Batu. Sekarang mungkin ketambahan Banyuwangi dan sekitarnya, karena kayaknya belakangan pariwisata mereka lagi digenjot. Namun kalau nyari tujuan yang lebih tenang, Lumajang bisa banget jadi tujuan.



 DAFTAR ISI 

  • Segitiga Ranu Lumajang
  • Naik Apa?
  • Cerita dari Jalan
  • Ranu Bedali dalam Sunyi
  • Ranu Klakah dan Geliatnya
  • Ranu Pakis dan view Semeru

 
[Meski data dalam tulisan ini diambil berdasarkan referensi, bisa jadi ada yang kurang tepat. Entah karena data yang diambil sudah terlalu lama, sumber yang diambil keliru, atau saya yang salah interpretasi. Oleh karena itu pembaca disarankan untuk check and recheck atau cari sumber lain yang lebih pasti]

 

 

Segitiga Ranu Lumajang

Ranu Klakah, Ranu Pakis, dan Ranu Bedali disebut ‘Segitiga Ranu Lumajang’ karena letaknya yang dekat satu sama lain. Jarak Ranu Klakah ke Ranu Pakis kurang lebih cuma 1 km, sedangkan Ranu Klakah ke Ranu Bedali cuma 5 km-an.

 

Kalau ngelihat data di file foto, perjalanan Ranu Klakah-Pakis cuma 5 menitan. Jam 5.50-an WIB masih ambil foto di Ranu Klakah, jam 6 pas udah siap berpose di Ranu Pakis. Padahal waktu itu nyetir motornya nyantai banget.

(Aslinya mah saya nggak begitu merhatiin seberapa jauh/lama perjalanannya, haha. Cuma rasanya emang cepat. Akhirnya cek properties di file foto buat ngecek waktu pengambilan. Ternyata tips nulis catatan perjalanan yang pernah dibahas ðŸ”—di postingan ini berguna juga buat nguprek-uprek perjalanan meski udah lamaaa banget jalan-jalannya).

 

Ranu Klakah berlokasi di antara Ranu Pakis dan Bedali. Apa titik lokasi tiga ranu ini membentuk segitiga? Nggak juga. Kalau ditarik garis malah lebih mirip satu garis lurus. Kemungkinan dinamain segitiga karena lokasinya yang dekat banget. Jadi sekali jalan, bisa berkunjung ke tiga danau sekaligus.

 

Selain tiga ranu ini, di Kab. Lumajang sebenarnya punya banyak ranu lainnya. Begitu juga di kabupaten tetangganya. Uniknya, banyak di antara ranu-ranu ini yang kayak muncul mengelilingi kaki Gunung Lemongan. Nah, Gunung Lemongan ini adalah gunung berapi yang lokasinya di sebelah Ranu Klakah.

 

Klik foto untuk tampilan lebih jelas

 

Fenomena gunung yang dikelilingi banyak danau ini disebut-sebut cukup unik oleh para geolog. Soalnya, danau yang mengelilingi G. Lemongan ini banyak banget: ada 27 biji. Di antara 27 itu, 13 ranu masih terisi air seenggaknya sampai tahun 1990. Namun dengar-dengar makin ke sini makin susut airnya.

 

Kenapa bisa banyak danaunya gitu?

Karena ranu-ranu itu emang hasil aktivitas vulkanik Gunung Lemongan. Makanya mereka disebut juga sebagai danau maar. Letak danau-danau ini ada di kaki gunung karena aktivitas G. Lemongan cukup aktif sampai ke dasar gunung; nggak di puncaknya aja tapi ‘tepi’-nya juga.

 

Franz Wilhelm Junghuhn (seorang naturalis Jerman yang direkrut Belanda untuk mengeksplor nusantara) mengajukan pendapat bahwa ranu-ranu ini sepertinya bukan hasil/bekas kawah yang meledak, tapi lebih karena ada tumpukan material vulkanik hasil erupsi gunung yang kemudian (1) runtuh di bagian yang berpori, atau (2) mengalami penurunan tanah secara tiba-tiba, kemungkinan akibat gempa.

 

Makanya, menurut Junghuhn, ranu-ranu di sekitar G. Lemongan ini berbentuk telaga kecil dan cekung yang serupa mangkuk di sekitar tanah datar, sedangkan dindingnya curam. Telaga-telaga ini terletak di kaki gunung dan tersembunyi di antara hutan.

 

Kalau dilihat-lihat, memang iya. Ranu Bedali jadi salah satu yang paling memenuhi deskripsi di atas. Di sisi lain, Ranu Klakah nggak punya ‘dinding’ dan kelihatan kayak danau ‘biasa’. Ranu Pakis? Kombinasi keduanya.

 

Kayak gimana, sih, penampakan danaunya? Sebelum ke arah sana, kita bahas dulu gimana caranya ke sana. (Kalau pengin langsung ke bagian danau bisa langsung scroll atau klik poin di daftar isi di atas) 

 


Naik Apa ke Sana?

Karena ini catatan perjalanan, maka selain ngomongin lokasinya, kita juga ngomongin gimana perjalanannya. Keep in mind kalau ini berdasarkan yang saya lakuin bertahun-tahun lalu, jadi sekarang mungkin banget udah berubah.

 

Ada beberapa opsi: kereta api, mobil, atau motor.

 

Buat kereta api, enaknya adalah kita nggak capek di jalan. Tinggal duduk dan kemudian sampai di Stasiun Klakah, yang masih satu kecamatan sama segitiga ranu ini. Kekurangannya adalah begitu sampai di sana, kita harus sewa kendaraan untuk muter-muter. Naik transpor umum atau angkot kayaknya nggak ngatasin karena beberapa tempat lokasinya masuk banget alias mblusuk sehingga nggak kekover angkot. Waktu itu sempat ngobrol sama mas-mas di dekat Pasar Klakah, dia bilang di sekitar situ ada persewaan tapi mobil aja, motor nggak ada. Jadi mungkin opsi ini lebih cocok buat yang jalan ramean supaya biaya patungan sewa mobilnya lebih murah. (Meski waktu itu teman jalan sempat nyeletuk, “Minta tolong petugas hotel aja, siapa tahu bisa nyewa motornya”. Yaa bisa dicoba, tapi nggak menjamin pasti akan dipinjamin.)

(NB: nggak semua kereta berhenti di Stasiun Klakah)

 

Buat mobil dan motor, rasa-rasanya mirip-mirip. Minus pakai motor pasti lebih capek. Jalan yang ditempuh juga sama. Waktu itu tolnya belum selesai, jadi mobil ya lewat jalan biasa. Namun sekarang tolnya udah sampai Probolinggo, sehingga bisa lebih cepat mobilan sampai Leces (Probolinggo) terus keluar ke arah Klakah.

 

Oh iya, untuk travelling di Lumajang juga bisa pakai jasa open trip. Jadi peserta tinggal saling ketemuan aja di meeting point yang ditentuin agen tur, terus nanti mobilan bareng. Opsi open trip ini lebih murah daripada nyewa mobil dan cocok buat yang pengin nyantai tanpa ngatur itinerary. Di sisi lain, kekurangannya adalah tujuannya udah fixed sehingga kurang cocok untuk yang pengin travelling sambil eksplor tempat-tempat lain. Waktunya juga terbatas. Beberapa tujuan yang sering saya temuin di iklan tur wisata biasanya ke tempat-tempat yang amat happening seperti air terjun Tumpak Sewu atau Kapas Biru. Jadi tiga ranu ini biasanya nggak termasuk.

 

Kalau naik motor, enaknya adalah kita bisa eksplor sampai ke tempat-tempat yang mblusuk bahkan jalannya nggak aspal. Namun risikonya ya itu... capek. Perjalanan Surabaya-Lumajangnya aja udah makan waktu sepagian.

 

Waktu itu kami juga naik motor. Kami cabut dari Surabaya jam 06.00-an pagi dan sampai Ranu Bedali jam 10.30-an. Ini pakai kecepatan standar dan nyetirnya santai, plus sempat berhenti 30 menitan di rest area.

 

Lewat mana? Cukup ikuti petunjuk di Google Maps. Jalan arah Lumajang ini jalan gede (banget); termasuk jalur lintas-kota dan lintas-provinsi. Jadi untuk sampai sana akan kecil kemungkinan nyasar karena ada papan petunjuk hijau gede-gede.

 

👉 RUTE: 

Sepanjang jalan ini ada beberapa tempat/daerah yang kami jadiin checkpoint (supaya antartitik nggak berasa jauh-jauh amat, hehehe). Rutenya yaitu (nama kota digaris bawah): Surabaya > Sidoarjo > Gempol > belok kiri > Bangil > Pasuruan > Grati (ada ranunya juga di sini!) > Tongas > Probolinggo > Leces > Klakah (Lumajang).

 

Kalau dilihat di peta, ini perjalanan arahnya ke selatan (bawah) sampai Sidoarjo, lalu belok ke timur, lalu belok lagi ke selatan.

 

Waktu itu musim hujan. Cuaca mendung sejak jam enam, tapi untungnya nggak hujan. Malah di beberapa daerah tepi pantai macam Pasuruan, matahari terik banget sampai pengin rasanya lepas jaket.

 

Kami menyusuri jalan-jalan amat lebar. Kadang di sisi kanan jalan barengan dengan truk atau kontainer. Kadang ngeri-ngeri sedap rasanya, meski antarkendaraan ada jarak dan nggak mepet-mepet banget.

 

Di kiri-kanan sering nampak rest area dari kecil sampai besar. Saya ngebayangin pas musim mudik lebaran, ini rest area pasti penuh orang. Beda sama sekarang yang sepi mamring. Di sebelah kiri, beberapa kali kami berkendara bersisian dengan kereta yang sedang melaju. Sepertinya itu kereta tujuannya kalau nggak ke Jember ya Banyuwangi. Sempat saya tangkap tulisan “Sri Tanjung” di badan kereta; kereta yang beberapa kali saya naiki kalau ke Yogya.

 


Cerita dari Jalan

Debu halus beterbangan, terasa lengket di kulit. Meski slayer menutupi separuh wajah, tetap aja kening rasanya kotor. Jalan masih lebar memanjang di depan mata.

 

Jalan lintas provinsi ini memang ramai dan jadi jalur transportasi utama sejak berabad-abad lalu. Yes, you guess it right, ini adalah potongan Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) yang diperbagus tim Daendels di era 1800-an. Lintasan ini mengular sepanjang Pulau Jawa; dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Jatim).

 

Sebelum era Daendels, jalan-jalan ini udah ada. Malah, beberapa ruas jalan ditengarai udah sering dipakai sejak kerajaaan-kerajaan di Pulau Jawa sedang jaya-jayanya. Nah di era Daendels jadi gubernur jenderal Hindia-Belanda, jalan-jalan ini dibagusin (dan beberapa ruas disambungin) supaya jalur komunikasi dia dengan staf-stafnya lebih lancar dan lebih gampang ngirim barang atau mobilisasi pasukan.

 

Jadi jangan takut nyasar di area ini karena sejak zaman kerajaan aja jalurnya udah jelas. Apalagi sekarang.

 

Jejak-jejak masa lalu masih bisa kita lihat sepanjang perjalanan. Kadang berkelebat di antara gedung dan bangunan lawas yang gayanya vintage banget. Apalagi ketika jalan ini sedang membawa kita melintasi area-area kota lama seperti daerah Bangil, misalnya. Bangunan-bangunan tumbuh berderet berdempetan dengan warna hampir seragam; putih kekuningan atau kecokelatan.

 

Kadang rasanya kayak ‘diizinkan’ menyibak tabir waktu ketika daerah-daerah itu sedang hidup di awal 1900-an atau 1990-an. Vibes-nya... khas.

 

Saya beruntung di perjalanan kali ini jadi pihak yang membonceng di jok belakang, sehingga bisa lebih santai lihat pemandangan. Kalau nyetir kayaknya nggak bisa sesantai itu karena harus fokus di lalu lintas padat ini. Gimana enggak, belum sampai Leces aja kami udah ngelihat dua kecelakaan.

 

Macet onok opo, Mas? Truk mogok ta?” tanya pengendara di dekat kami pada seorang pemuda yang membantu mengatur kendaraan.

 

“Gak, onok sing tabrakan.”

 

Mendapati beberapa kecelakaan dalam satu lintasan, tak pelak muncul rasa ngeri. Yah, beberapa titik di jalur perjalanan ini emang udah terkenal sebagai ‘jalur tengkorak’ sejak lama, alias titik yang rawan/sering terjadi kecelakaan.

 

Berhasil menerobos kemacetan, motor pun kembali melaju.

 

Matahari sudah tinggi ketika kami bertemu dengan plang besar bertuliskan ‘Bromo’. Ah, akhirnya sampai juga di Probolinggo. Sebentar lagi udah Lumajang.

 

Pintu masuk Bromo yang paling terkenal (dan paling gampang diakses transum, kayaknya) memang via Malang. Namun, TNBTS (Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru) sebenarnya punya empat pintu masuk lewat empat kota berbeda, Probolinggo salah satunya.

 

Jalur masuk lewat Probolinggo itu bisa dicapai via daerah bernama Tongas. Di pinggir jalan ada penunjuk arah untuk masuk Tongas.

 

Ngomong-ngomong soal Tongas, jadi ingat cerita yang bilang bahwa Patih Gajahmada dulu juga lewat daerah ini untuk mencapai Bromo. Untuk mencapai Air Terjun Madakaripura tepatnya, yang jadi tempat terakhir ia terlihat dan konon jadi tempat ia moksa setelah pensiun dari jabatannya di Majapahit.

 

Beberapa tempat memang seperti melampaui batas waktu.

Sudah ada sejak dulu dan bertahan dengan nama yang sama hingga sekarang.

 

Tentunya Tongas (dan jalanan) di masa itu beda banget sama sekarang. Lebih padat hutannya, lebih sepi perkampungannya.

 

Oke, balik ke masa kini. Singkat cerita sampailah kami di (daerah kecamatan) Klakah. Tujuan pertama memang ke Ranu Klakah. Namun, rencana itu berubah setelah saya ngecek GPS dan melihat ada dua bulatan warna biru lainnya di dekat Ranu Klakah.

 

“Ada satu danau lagi, nih, yang lebih dekat. Mau ke sana dulu, nggak?” tawar saya.


“Ya udah. Tapi kasih tahu jalan yang bener, ya.”


“Iyaaa,” saya menjawab dengan nada sewot. Dari tadi juga gue yang jadi navigator ngelihatin jalan, kan? Kagak nyasar juga, kan?

 

Kesewotan saya udah bermula sejak pertengahan perjalanan sebenarnya, ketika partner jalan kali ini bolak-balik meragukan jalan yang saya tunjukin. “Bener ini jalannya?” tanyanya bolak-balik. Ya Gusti... kalau ini jalan kecil mah saya paham kalau dia nggak yakin mulu. Tapi tadi kan jalan GEDE banget, banyak plang pula. Meski G**gle Maps sering nyasarin orang, tapi di jalan seluas itu jelas masih bisa dipercaya, deh.

 

Tarik napas, embuskan...

Inget, kamu ke sini buat jalan-jalan, bukan buat nambah stres, saya berkali-kali mengingatkan diri sendiri.

 

 

Ranu Bedali

Iya, perjalanan ke Ranu Bedali dan Ranu Pakis bukan sebuah perjalanan yang direncanakan karena aslinya mau pergi ke Ranu Klakah doang. Namun karena ngelihat GPS tadi jadi ngeh ada danau lain di sekitar situ dan bisa dikunjungi. So, here we go!

 

Tips kali ini mungkin ini:

Kalau mau eksplor, waktu lihat peta jangan terpaku ke tempat tujuan aja. Lihat penanda atau simbol di sekitar, siapa tahu ada tempat lain yang nggak kalah asyiknya.

 

Di jalan raya sebelum belokan ke Ranu Bedali, kami ketemu satu kecelakaan lagi.

 

Meninggalkan jalan raya, kendaraan masuk ke jalan yang lebih kecil dan rimbun dengan semak tinggi. Kali ini, pertanyaan (berulang) partner yaitu, “Beneran, nih, ini jalannya?” nggak lagi bikin sewot karena saya pun mulai ragu. Ya sudah, mari cari warga lokal dan tanya jalan.

 

Nuwun sewu...,” partner menyapa warga yang kebetulan lewat.

“Nggih...”

Fyuh, untunglah bapaknya bisa bahasa Jawa. Kalau beliau bisanya bahasa Madura, mandeklah komunikasi kami karena saya nggak bisa bahasa Madura. Lumajang, sebagai salah satu Kawasan Tapal Kuda, lazim menggunakan bahasa Madura.

 

Dari penuturan bapak tersebut, memang benar ini jalannya. Oke lanjut.

 

Sekitar lima menit kemudian, sampailah kami di tempat dengan penanda ‘Ranu Bedali’. Motor kami parkir (Rp2.000,00 kalau nggak salah), kemudian setelah bayar tiket Rp5.000,00 per orang, kami pun masuk.

 

Danaunya nggak terlihat langsung dari sisi ini. Meski, nanti setelah kami melanjutkan perjalanan, sempat terlihat kelebatannya dari pinggir jalan.

 

Namun Ranu Bedali tetap bisa dilihat dari atas. Setelah masuk, kami berjalan sedikit. Di dekat warung jajanan, ada sebuah platform kayu yang menjorok ke tepi tebing. Ketika berdiri di sanalah, seluruh lanskap ranu terlihat jelas.

 

 

Permukaan air yang kehijauan menyeruak di tengah lebat hutan dan vegetasi yang rapat. Tepiannya dikelilingi pohon-pohon yang menjulang seperti dinding dan semak-semak yang sepertinya hampir setinggi orang dewasa, bahkan lebih. Persis deskripsi Junghuhn, ‘seperti mangkuk dengan dinding’. []

  

Untuk menuju tepian danau, kita harus jalan sedikit. Dari parkiran kami turun ke bawah. Jalan berpavingnya waktu itu cukup licin, kombinasi rada berlumut dan rada gerimis. Saat udah turun ini, tepi danaunya udah kelihatan sebenarnya. Namun karena pengin cari spot yang bagus dan lebih nyaman buat duduk, akhirnya kami jalan ke sisi danau lainnya. Cukup jauh dan panjang kayaknya, karena partner bolak-balik minta berhenti karena capek.

 

Kami berjalan dari sisi satu ke sisi lain danau. Kalau diukur perkiraan lewat Google Maps, ada kali 500 meteran. Pantesan capek.

 

💡 Sebuah tips:

Bawa air minum dan jajan supaya bisa isi energi lagi setelah jalan jauh. Di jalan setapak ini nggak ada warung jualan.

 

Tepian danau amat rimbun. Sangking rimbunnya, jalan setapak tertutup kanopi pepohonan sehingga adem dan sejuk. Namun selain pohon, semak-semak juga menutupi tepian. Akhirnya butuh berjalan 10-15 menit sampai kami nemu tanah datar yang nggak tertutup semak, tapi rumput aja, sehingga bisa duduk sebentar.

 

Danau yang dikelola oleh kelompok wisata/pokdarwis setempat ini tampak masih alami. Biasanya kan danau wisata ada jejeran warungnya atau ada frame foto atau pagarnya dicat warna-warni, di sini enggak (ada tempat foto dan platform tapi di atas, dekat parkiran).

 

Tepi danaunya ‘dipagari’ rumput berbunga dan semak. Warna airnya hijau. Sekelilingnya tertutup dataran yang lebih tinggi dan pohon-pohon besar yang menjulang. Kayak danau muncul dari balik hutan aja gitu. Cantiknya alami!

 

Kami berjalan sampai ketemu gazebo bambu. Di sana ada seorang bapak yang sedang duduk-duduk setelah cari rumput. Setelah saling sapa, larutlah kami dalam obrolan ngalor-ngidul.

 

Dari bapak tersebutlah kami jadi tahu asal-muasal nama ‘Bedali’. Ceritanya dulu zaman Majapahit, ada pejabat pusat yang inspeksi ke Lumajang. Waktu itu namanya masih Lamajang. Rombongan kerajaan ini berhenti sebentar di dekat danau untuk istirahat. Nah, Ranu Bedali itu kan letaknya di cekungan; jadi danaunya di bawah, di sekelilingnya/di atas ada dataran tempat orang biasa lewat. Rombongan itu berhenti di satu pohon besar di atas. Namun, saat kuda-kuda tunggangan mereka berhenti, kuda-kuda itu langsung lari ke arah danau. Mungkin karena saking hausnya sehingga nggak sabar minum air segar. Tingkah kuda-kuda ini disebut ‘mbedhal’ (bahasa Jawa), yang artinya kurang lebih ‘melepaskan diri dari kendali (pegangan/kekangan, terutama tali)’. Dari peristiwa inilah konon kemudian danau tempat kejadiannya dinamakan ‘Ranu Bedali’.

 

Beliau juga mengatakan bahwa di daerah sini dulu ada danau lain juga, namanya Ranu Yoso. Sekarang nama ini udah jadi nama kecamatan di mana Ranu Bedali berlokasi, sedangkan ranunya sendiri sudah nggak ada. Hilang, mungkin kering. Sekarang hanya tersisa genangan-genangan pada sawah atau tanah.

 

Peta kawasan Ranu Bedali & Ranu Yoso, 1875



Di daerah ini memang ada banyak danau. Ranu Bedali-Ranu Pakis-Ranu Klakah sendiri ada yang menyebut sebagai ‘Segitiga Ranu’ di Lumajang. Jaraknya juga relatif dekat satu sama lain, nggak lebih dari 10 km.

 

Apa ada hubungannya dengan  aktivitas vulkanis yang ada di sini, mengingat lokasi ranu yang dekat banget dengan Gunung Lemongan yang dulu pernah aktif sampai meletus?

 

Kami ngobrol dan bersantai beberapa saat. Kesalahan, karena cuma bawa air minum satu botol tanpa jajan. Akhirnya setelah puas duduk-duduk, foto-foto, dan bengong dilihatin kumpulan monyet dan anak-anaknya, kami pun memutuskan keluar cari bakso.

 

Oh iya, di area Ranu Bedali ini juga ada air terjunnya. Sayang waktu itu nggak ke sana karena menurut bapak tadi sedang kering. Kalau dari parkiran tadi, arahnya turun ke bawah > jalan terus ke kanan sampai ke pinggiran sebelah timur > jalan ke utara.

 

 

Ranu Klakah

Saya pertama kali tahu tentang Ranu Klakah dari... komik Webtoon. Waktu itu masih suka baca Webtoon, nungguin update-an harian, hahaha. Salah satu komik yang saya baca (kalau nggak salah) Dracko Diary. Komik tentang keseharian komikusnya ini ber-setting di Lumajang, kota tempat dia tinggal. Ada beberapa episode yang nyeritain Dracko sepedaan sore ke Ranu Klakah. Karena namanya mirip Ranu Kumbolo yang saya suka (sama-sama ada ‘ranu’-nya, hehehe), saya jadi tertarik pergi ke sana.

Terima kasih udah mengenalkan Ranu Klakah, Mas Drack!



Pendek cerita, setelah dari Ranu Bedali, kami cari makan siang di sekitar situ. Nemulah warung bakso. Setelah makan, kami mulai cari penginapan. Awalnya kami nggak niat bermalam, tapi ngelihat jarak perjalanan yang lama dan panjang, kayaknya bakal kecapekan kalau dipaksa balik Surabaya hari itu juga. Apalagi kami belum lihat Ranu Klakah dan Ranu Pakis.

 

Cari penginapan di area ini serasa harap-harap cemas. Bukan apa, tapi ini kan bukan tempat wisata ramai yang banyak orang, yang artinya nggak banyak ada penginapan. Bahkan kami sempat bertanya-tanya, jangankan sedikit, penginapannya ada atau nggak? Habislah kalau ternyata nggak ada dan kami harus nginap di Lumajang kota, yang jaraknya ada kali 15 km.

 

Untunglah ada warga yang menginfokan bahwa tersedia penginapan di dekat jalan raya besar. Akhirnya kami pergi ke penginapannya dulu, memastikan penginapannya buka. Setelah check in, saya pun lega. Seenggaknya malam ini bisa istirahat tenang supaya fresh buat balik besok.

 

Setelah dapat penginapan, kami pun pergi ke Ranu Klakah. Inilah alasan utama kami main ke Lumajang kali ini; selain menuntaskan penasaran karena di beberapa episode Dracko Diary kayaknya ayem banget jalan-jalan sore ke Ranu Klakah.

 

 Ranu Klakah, lukisan Junghuhn

Ranu Klakah juga menarik perhatian saya karena sketsanya muncul di catatan perjalanan Junghuhn (tahun 1852). Di gambar itu terlihat sebuah danau dengan gunung di belakangnya. Gunung ini namanya Gunung Lemongan. Dan sama seperti di sketsa, kita juga bisa melihat danau luas dengan background gunung yang menjulang. Dramatis!

 

Gunung tadi ada yang menyebutnya Gunung Lamongan, ada yang Lemongan. Meski ada yang nyebut Gunung Lamongan, tapi letaknya jauh banget dari Lamongan yang jadi kota asal soto lamongan legendaris itu. Gunung ini pernah aktif, tapi terakhir meletus udah dulu banget.


 Ranu Klakah dan Gunung Lemongan. Arsip KITLV, 1920


Ranu Klakah jauh lebih ramai dari Ranu Bedali. Bahkan jalan menuju Ranu Klakah pun penuh rumah dan bangunan, rada beda dengan Ranu Bedali yang dominan tumbuhan. Satu hal yang menarik mata saya selama di perjalanan: hampir tiap rumah punya pohon buah naga. Mana lagi Januari kan, pada banyak yang ngembang dan berbuah. Kelopak putih dan buah-buah merah menyala menyembul dari balik hijaunya halaman rumah.

 

Tiket masuk Ranu Klakah seharga Rp4.000,00 per orang. Kecuali warga, gratis. Nggak ada tempat parkir khusus seperti Ranu Bedali karena kendaraan bisa kita kendarai menyusuri tepian danau. Seenggaknya, menyusuri di bagian sini karena di sisi kiri dan ke arah gunung, jalannya tanah kerikil.

 

Warung-warung berjejer di sisi danau. Di sisi lain terlihat keramba-keramba untuk budidaya ikan. Kami duduk-duduk aja nikmatin angin sambil tunggu matahari terbenam. Tapi matahari terbenamnya nggak kelihatan, karena area danau ini menghadap timur.

 

Usai dari Ranu Klakah, kami balik hotel sebentar. Rebahan, mandi, dan sholat, lalu keluar lagi usai magrib. Cari makan, hehe. Untungnya karena ini jalan raya, relatif gampang nemu warung. Mampirlah kami ke sebuah warung tenda yang menyediakan ayam dan ikan.

 

Warung ini, seperti juga warung makan lainnya di sekitar Ranu Klakah, mendapat suplai ikan dari danau tersebut. Saya lupa apa aja jenisnya, tapi ada ikan yang fresh dari ranu dan ada jenis ikan yang ambil dari daerah lain karena nggak dibudidayakan di ranu.

 

Gimana rasanya? Karena saya bukan penghobi wisata kuliner, saya cuma bisa bilang ini: enak, selayaknya ikan bakar biasanya.

 

Setelah cari biskuit dan minuman botol di minimarket lokal, kami pun balik ke penginapan. Malam itu ditutup dengan mainan HP dan nonton berita lokal. 

 

 

Ranu Pakis

Besoknya, pagi-pagi kami udah keluar hotel karena pengin lihat sunrise dari balik Gunung Lemongan. Sayang, mendung... Binar oranyenya kelihatan, tapi sosok si matahari sendiri nggak kelihatan.

 

Mungkin karena kami datang terlalu pagi, loket masih tutup dan penjaganya nggak ada. Jadi kami masuk gratis seperti warga setempat.

 

Supaya nggak kemalaman di perjalanan, kami langsung tancap ke lokasi selanjutnya: Ranu Pakis. Danau satu ini letaknya lebih dekat ke Ranu Klakah daripada Bedali-Klakah.

 

Jalan ke Ranu Pakis saat itu sudah aspal semua, meski ada lubang di beberapa tempat. Mendekati Ranu Pakis, jalannya mulai kerikil berpasir yang bikin saya ragu apa ini beneran jalannya atau nggak. Namun setelah berpapasan dengan para penghobi sepeda yang full gear, kami jadi yakin ini jalannya. Hanya saja mungkin karena jarang dilewati.

 


Suasana di Ranu Pakis sekilas seperti di Ranu Bedali: sepi, sejuk, banyak pohon tinggi. Kami memutuskan berhenti di pinggir jalan, di tempat yang agak tinggi supaya bisa melihat danau dari ketinggian. Airnya beriak tenang berwarna biru. Nelayan setempat mulai menebar jaring. Di kejauhan, deretan Pegunungan Tengger melintang seperti pagar. Bila kita melihat lebih teliti, puncak Gunung Semeru yang legendaris itu kelihatan. Tampak kecil banget dari sini.

 

Lumajang sendiri jadi daerah yang paling terdampak erupsi Semeru 2021 silam. Aliran lahar dari Semeru memang mengarah ke Lumajang, kemudian mengalir ke selatan hingga Samudra Hindia.

 

Lumajang memang dikelilingi gunung-gunung aktif. Bahkan di antara tiga ranu yang saya kunjungi kali ini ada yang terbentuk karena aktivitas vulkanik di masa lalu. Menurut Van Bemmelen, seorang ahli geologi, Ranu Pakis dulu pernah menjadi tempat aliran lahar dari erupsi pegunungan Tengger-Semeru.

 

Kalau ngelihat suasananya, Ranu Pakis sepertinya memang bukan tempat wisata. Maksudnya beda dengan dua danau sebelumnya yang ada peruntukan wisatanya selain fungsi budidaya dsb. Jadi emang sepi dan kalau mau nikmatin pemandangan bisa dari tepi danau atau tepi jalan, nggak ada tempat khususnya. Tapi emang kadang enak gini, sih. Makin kerasa alaminya. 

 

 

 

 

 

 

 [in editing]

Reading Time:

Jumat, 24 Januari 2025

Bioakumulator
Januari 24, 20250 Comments

Bioakumulator secara sederhana punya arti organisme yang bisa mengumpulkan suatu zat tertentu dalam tubuhnya. Organisme ini bisa berupa hewan atau tumbuhan. Zat yang bisa mereka kumpulkan ini bermacam-macam dan biasanya merujuk pada zat-zat beracun atau merusak yang terdapat dalam lingkungan. Contohnya logam berat, pestisida, senyawa radioaktif, dsb.

 

Ngomong-ngomong, postingan bertajuk bioakumulator ini terpantik karena ngelihat suatu share-share-an di medsos yang mengajak berhati-hati supaya nggak banyak-banyak makan kerang karena merupakan bioakumulator logam berat. Posting-annya sendiri biasa aja sebenarnya, yang menggelitik adalah beberapa respons dan komentar yang (menurut saya) berlebihan. Beberapa di antaranya panik karena pernah makan kerang, beberapa menyatakan nggak akan pernah makan kerang lagi.

 

Respons yang cukup... ekstrem. Di satu sisi, saya paham bahwa pada beberapa kalangan, artikel atau posting-an senada akan ditanggapi dengan reaktif atau drastis karena merupakan topik yang kurang familiar bagi masyarakat.

 

Oke, balik ke bioakumulator. Pada dasarnya, beberapa tumbuhan dan hewan bisa menjadi bioakumulator. Bahkan tumbuhan/hewan yang buat kita umum banget. Contohnya adalah kerang hijau dan kerang darah yang bisa menyerap logam berat. Contoh rada ekstrem adalah bunga matahari (iya, bunga yang kece abis itu) yang bisa menyerap cemaran limbah radioaktif. 

 

Hewan/tumbuhan bioakumulator ini sudah jamak digunakan sebagai agen bioremediasi. Maksudnya gimana? Hewan/tumbuhan ini bisa dipakai untuk mengatasi cemaran polusi yang ada di lingkungan (remediasi). Contohnya penanaman jenis pohon tertentu untuk mengatasi pencemaran tanah akibat aktivitas pertambangan. Beberapa di antaranya malah menggunakan tumbuhan yang kelihatannya ‘remeh’ seperti rumput dsb; karena mereka ini adalah organisme perintis yang bisa hidup di lingkungan ekstrem/tercemar (tentang tumbuhan perintis bisa dibaca ðŸ”— di sini).

 

Lalu gimana, apakah artinya hewan/tumbuhan itu nggak boleh dimakan?

Tergantung.


Sebab semua yang bisa jadi bioakumulator tidak lantas otomatis menjadi tidak layak konsumsi.

 


Supaya gampang, kita pakai contoh kerang tadi aja.

Betul bahwa kerang bisa jadi bioakumulator logam. Dia menyerap logam berat yang jika kerangnya kita makan, maka logam berat itu akan masuk ke tubuh thus membahayakan kesehatan kita. Namun bukan berarti semua kerang lalu berbahaya dimakan. Kalau kerangnya hidup di lingkungan yang tercemar, tentu bahaya bila dikonsumsi. Kalau kerangnya hidup di lingkungan yang baik, ya aman-aman aja untuk kita makan. Mengapa? Karena kan lingkungannya bersih, nggak ada cemaran logam berat; sehingga kerang itu nggak menyerap logam (karena nggak tersedia). Hal yang sama juga berlaku pada hewan/tumbuhan lainnya.

 

Soal mau tetap mengonsumsi atau enggak, itu pilihan pribadi. Namun ada baiknya untuk mengingat bahwa kalau sama sekali nggak mau mengonsumsi hewan/tumbuhan yang bisa menyerap polutan (bukan sudah menyerap), wah... ini banyak dan panjang banget daftarnya. Bisa-bisa pola makannya lebih strict daripada orang yang sedang diet mati-matian karena daging/sayur yang umum pun bisa jadi bioakumulator. Kangkung aja bisa. 


(Of course, penghindaran sama sekali ini bisa dipahami kalau ada kondisi tubuh tertentu. Misal alergi, punya badan yang rentan sakit, sedang hamil, dan semacamnya.)

 

Intinya tergantung pada tercemar/enggaknya tempat tumbuh mereka.


Mungkin ibarat tisu.

Tisu bisa menyerap zat cair. Tisu bisa nyerap air bersih, tapi juga bisa nyerap air kencing. Tisu yang ketetesan air bersih tentu aman-aman aja kita pegang biasa, tapi tisu yang ketetesan air kencing tentu kotor kalau dipegang tangan telanjang. Namun apa itu artinya semua tisu pasti kotor? Kan enggak. Secara default, biasa aja; kemudian tergantung dia menyerap zat apa.

 

Itulah mengapa di beberapa tempat yang emang berfungsi untuk bioremediasi atau sedang di-bioremediasi, tumbuhannya dilarang diambil apalagi untuk dikonsumsi. Selain supaya nggak ganggu proses remediasi (dan nggak ngambil yang bukan miliknya), karena alasan kesehatan juga. Misalnya di lahan bekas tambang atau lahan dekat pabrik.

 

Saya nggak lihat sendiri, sih, cuma pernah dengar dari cerita teman. Ada pabrik yang menyediakan lahan khusus untuk remediasi limbahnya. Di lahan itu ditanami beberapa pohon dan semak, terus dikasih papan “dilarang mengambil” dan semacamnya. Tujuannya ya supaya tumbuhan di situ nggak diambil (baik dimakan atau diambil kayunya untuk furnitur), karena kan mereka memang ‘bertugas’ menyerap polutan. Kalau diambil, polutannya nggak terolah dengan baik dan orang yang ngambil bisa terpapar cemarannya.

 

Polutannya sendiri juga bervariasi. Tumbuhan/hewan A bisa nyerap logam/polutan X, belum tentu tumbuhan/hewan B bisa juga. Bahkan jika mereka berkerabat. Misalnya, kerang darah bisa nyerap kadmium (jenis logam berat). Tapi kerang bambu, meski sama-sama jenis kerang, belum tentu nyerap itu juga.

 

Ini baru jenis polutannya/pencemarnya, belum lagi ‘ketersediaan’ polutan itu sendiri (ada dalam bentuk ‘tersedia’ atau siap diserap organisme atau nggak). Beda ‘bentuk’ udah menentukan bakal diserap atau enggak meski ‘intinya’ sama. Misal, organisme A bisa nyerap besi yang bentuknya Fe2+ aja, tapi nggak bisa nyerap Fe3+. Jadi misal di lingkungannya banyak besi Fe3+, si A nggak akan nyerap itu besi. (Ini misalnya, ya. Kalau yang betulan saya nggak hafal apa aja reaksi kimianya, wkwkwk). Supaya bisa diserap si A, polutannya harus berubah dulu jadi Fe2+.

 

Hubungan bioakumulator dan polutan ini seringkali spesifik, kadang jadi pembatas untuk bioremediasi. Pathway alias alur metabolisme tiap senyawa dan tiap organisme pun bisa beda-beda. Kalau diingat-ingat, lumayan ribet dan bikin mumet, hahaha. Tapi asyik kalau udah kadung dikulik (meski tetap mumet juga, wkwkwk).

 

Postingan ini nggak bermaksud untuk menegasikan bahaya polutan yang masuk ke sumber makanan, tapi ngasih gambaran aja supaya nggak memukul rata kejadian-kejadian yang sekilas tampak mirip. Kalau makanan kena cemaran, gimana-gimana juga tetap bahaya; dan kita memang harus hati-hati dan kritis tentang makanan yang masuk ke tubuh kita.


Reading Time:

Jumat, 17 Januari 2025

Makanan Khas Jawa Timur: Rawon
Januari 17, 20250 Comments


Kalau ada teman yang sedang berkunjung ke Jatim dan nanya ke saya,
"Makanan apa yang kudu dicobain di sini?"
maka 
rawon pasti jadi salah satu hidangan di antara deretan makanan khas Jatim lainnya yang saya rekomendasikan. Namun sebelumnya saya pastikan lagi ke yang bersangkutan,
"Kamu kalau makan rada
adventurous, nggak?"

 

Bukan apa-apa, tapi kadang rawon cukup 'menantang' buat yang pertama nyobain. Bukan rasanya, tapi lebih ke tampilannya. Kuah hitam-coklat dengan potongan daging berwarna senada itu cukup menimbulkan tanda tanya karena beda banget dari tampilan makanan pada umumnya. Beberapa kali saya ketemu orang yang nggak makan rawon karena nggak selera duluan ngelihat bentukannya.


(Sementara baru kemarin saya habis dua piring sekali makan...)

 

Jadi, gimana rasa rawon?

Asin dan gurih, khas citarasa makanan dari Jawa Timur. Rawon terdiri dari kuah, potongan daging sapi, dan kecambah pendek. Kecambah pendek ini nambahin tekstur crunchy dan rasa segar karena dia mentah (jangan diganti kecambah panjang atau kecambah direbus! Aneh banget nanti). Biasanya ditambahkan juga sambal, bawang goreng, telur asin, atau kerupuk (bisa putih atau kerupuk udang).

 

Semua komponen di atas rasanya gurih banget. Jadi bisa dibayangin seberapa gurih kalau dikombinasikan dalam satu  masakan. Kalau kata orang sekarang mungkin, "Umami-nya kerasa banget." Meski dominan asin-gurih, rasa rawon tetap balance. Maksudnya bukan yang asin banget gitu, tapi seimbang. Ada manisnya, tapi dikit banget.

 

Kuah rawon yang warnanya hitam itu terbuat dari kaldu daging sapi yang diberi bumbu rempah-rempah. Saya nggak hafal bumbunya apa aja karena banyak, lumayan kompleks. Dan ternyata tiap daerah atau bahkan tiap keluarga resepnya bisa rada beda. Namun, komposisi utamanya tetap sama.

 

Satu hal yang orang Jatim setuju: rawon itu warnanya harus hitam. Kalau nggak hitam, namanya bukan rawon. Awalnya saya heran, "Emang ada rawon yang nggak hitam?" Sampai kemudian seorang teman yang merantau ke Jakarta bercerita kalau dia pernah nemu rawon yang warnanya kuning.

 

Like... whaaat?

 

"Iya beneran, aku nunjuk makanannya terus ibu yang jual bilang jelas kalau itu rawon," katanya saat saya menyangsikan ceritanya, berpikir kalau ia salah dengar.


"Terus kon tuku?" (Lalu kamu beli?)

"Gaklah! Rawon opo kok gak ireng. Yok opo iku engkok rasane, lak gak mantep." (Nggaklah! Rawon apa kok nggak hitam. Gimana nanti rasanya, pasti nggak mantap)

 

Seperti dia dan sebagian besar warga Jatim lainnya, saya juga menganut konsep bahwa rawon harus hitam. Pasalnya, kemantapan rasanya ini bergantung pada 'si pemberi warna hitam' pada rawon, yakni kluwek.

 

 

Kluwek/Keluak, Bumbu Utama Rawon

Kluwek/kluwak (Wikimedia Commons Image). Bagian hitamnya itu yang dipakai untuk bumbu masakan

Orang Jawa menyebutnya 'kluwek/keluwek', Kamus Besar Bahasa Indonesia mengejanya 'keluak'. Kluwek adalah buah dari sebuah pohon tinggi berkayu, Pangium edule. Orang Sunda menyebutnya pucung atau picung. Orang lain ada yang menyebutnya buah kepayang.

 

Konon istilah 'mabuk kepayang' berasal dari buah kepayang/kluwek ini. Buah kluwek yang dimakan mentah tanpa diolah bisa menimbulkan mabuk/teler atau gejala keracunan. Hal ini karena buahnya memang mengandung racun. Jadi, sebelum dikonsumsi memang harus diproses dulu supaya racunnya hilang.

 

Prosesnya seperti apa?

Saya sendiri kurang tahu persisnya, tapi yang jelas ada proses fermentasi di sana. Kayaknya terjadi alami; maksudnya tanpa nambahin starter atau semacamnya. Yang saya tahu hanyalah: ada proses pendiaman selama beberapa hari, pemasakan, perebusan, lalu entah apa lagi.

 

Buah yang 'sudah jadi' bisa dibelah dan isinya berupa 'daging buah' yang relatif empuk dan berwarna hitam. Warna hitam dari kluwek inilah yang membuat kuah rawon jadi hitam.

 

(By the way, soal asal-usul istilah mabuk kepayang punya beberapa versi. Penjelasan di atas cuma salah satunya. Ada lagi versi menarik lainnya tentang daerah bernama mirip di Pulau Sumatra, yang nanti nyambung ke buah ini juga.)

 

Lalu gimana dengan dagingnya, apa hitam karena kluwek juga?

 

 

Rawon dan Daging Rawonan

Ada dua versi penyajian daging dalam rawon: dimasak sekalian dalam kuahnya atau dijadikan empal. Untuk yang empal, kayaknya warna hitamnya bukan dari kluwek karena setahu saya bumbu empal nggak ada kluweknya. Jadi mungkin ‘hitam’/cokelatnya karena bumbu lain dan proses penggorengan? Jika dagingnya dimasak sekaligus dalam kuah, maka warna hitamnya jelas dari kluwek di kuah.

 

Ngomong-ngomong soal daging, ada istilah ‘daging rawonan’. Entah di daerah lain, tapi di tempat saya, istilah ini nggak merujuk secara khusus pada daging yang digunakan untuk rawon. Daging rawonan adalah jenis daging yang nggak daging ‘aja’, alias ada gajih/lemaknya, jaringan lunak, dsb. Beda dengan empal yang tersusun atas daging aja (kalau di tempat saya istilahnya ‘daging bagus’/’daging apik’. Teksturnya mirip daging buat steak).

 

Daging rawonan ini juga bisa digunakan untuk rawon. Famili saya malah ada yang lebih suka makan rawon dengan daging rawonan, bukan daging ‘aja’. Lebih gurih dan mantap katanya. Kalau dirasa-rasain, memang iya. Mungkin karena lemak dsb-nya yang menempel kemudian luruh bercampur dengan kuah; beda dengan ‘daging aja’ yang nggak berlemak.

 

Saya jadi kepikir, apa masakan ‘rawon’ kuning itu asal mulanya dari daging rawonan ini? Karena daging yang dipakai (kelihatannya) adalah daging jenis rawonan, sehingga nyebut daging yang dikuahin itu jadi rawon? Entahlah.

 

 

Rawon Instan

Ketika merantau, rawon adalah salah satu makanan yang saya kangenin karena susah banget nemunya di luar Jatim. Ada, sih, beberapa tempat makan yang nyediain rawon (karena emang jual makanan khas Jatim). Alhamdulillah kalau nemu yang mantap, apes aja kalau nemu yang enggak. Mana harganya di luar Jatim relatif mahal, lagi. Dan dagingnya sedikit, hiks.

 

Akhirnya beberapa kali saya ngide bikin sendiri. Namun karena bumbunya banyak, kompleks, dan makan waktu apalagi saya masak buat seorang aja, saya pun memilih pakai bumbu instan. Pilihan saya jatuh pada bumbu instan Bamboe yang bentuknya pasta. Dirasa-rasa, kayaknya itu yang paling mendekati rasa rawon buatan rumah (meski ya tetap beda).

 

Intermezzo dikit, entah kenapa bumbu instan yang bentuknya pasta (bumbu basah) pasti lebih mantap daripada yang bentuknya bubuk. Mau rawon, soto lamongan, kare, gule, dsb.

 

Balik ke rawon. Apa pakai bumbu instan sudah cukup? Sayangnya belum. Kalau menurut saya, rasanya udah mirip tapi masih kurang medok. Kayaknya emang masih harus ditambahin rempah-rempah lagi supaya lebih mantap. Namun kalau baru pengin coba, bisalah dipakai. Jika mau agak lebih mantap, airnya pakai kaldu betulan dan tambahan sereh.

 

 

Jadi gimana, setelah ini apakah tertarik coba rawon? Atau malah udah pernah?

 

(Ngomong-ngomong soal rawon, saya jadi keingat brongkos. Makanan khas Yogya ini warnanya rada mirip rawon; cokelat kehitaman. Tapi rasanya beda jauh; manis pol. Waktu pertama makan brongkos, saya kira rasanya bakal kayak rawon. Kagetlah ini lidah saat di suapan pertama.

Reading Time: